youngster.id - Indonesia merupakan negara penghasil biji kopi ke-empat terbesar di dunia dengan pertumbuhan industri pengolahan kopi yang sangat pesat di beberapa tahun terakhir. Beraneka gerai kopi lahir dan tumbuh di seluruh Indonesia. Sebagian besar menggunakan kopi lokal untuk memikat pasar.
Indonesia disebut-sebut sebagai negara penghasil kopi terbesar setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia. Di mana pada 2019, produksi biji kopi Indonesia mencapai 729,1 ribu ton, dengan nilai ekspor produk kopi olahan sebesar US$ 610,89 juta Dengan kondisi tersebut, produk biji kopi dan kopi olahan Indonesia begitu melimpah. Namun ternyata, jaringan bisnis makanan dan minuman masih mengandalkan pasokan kopi impor sebagai bahan bakunya.
Adapun, pertumbuhan kedai kopi di Indonesia sangat pesat. Pada 2016, kedai kopi di Indonesia masih berkisar 1.000 kedai saja, namun jumlahnya meningkat menjadi kurang lebih 2.950 kedai pada Agustus 2019.
Hal ini membuktikan industri kopi Indonesia yang sangat menjanjikan. Namun jika bahan bakunya masih impor, tentu tidak akan ada nilai tambah yang bisa dibanggakan.
Meski demikian, data kementerian perindustrian menyebut saat ini terdapat 1.204 industri kecil dan menengah (IKM) pelaku usaha kopi yang mengolah biji kopi lokal dari para petani di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Tahta Coffee.
“Kami menggunakan bahan baku yang berasal dari produsen kopi lokal. Bahkan, bukan hanya kopi saja, namun semua bahan baku makanan dan minuman berasal dari UMKM di daerah. Kami juga ingin memberdayakan sumber daya manusia dari anak-anak muda lokal yang kami didik dan latih untuk mengelola bisnis ini,” ungkap Andreas Chang, Co-founder dan CEO Tahta Coffee kepada youngster.id.
Andreas menegaskan, semua produk yang tersaji di lima gerai Tahta Coffee berasal dari sumber daya lokal. Mulai dari kopi yang menjadi produk utama dengan sumber yang berasal dari para petani Bali. Demikian juga untuk minuman cokelat yang bersumber dari sejumlah daerah di Jawa, hingga produk inovasi mereka yaitu es krim durian dan milkshake papaya yang buahnya yang berasal dari Medan dan Bogor. Selain itu ada juga pilihan snack tradisional seperti cireng, dan singkong.
“Kami memang menargetkan pasar milenial yang suka dengan minuman kopi dan berani mencoba aneka minuman inovasi lain. Jika gerai lain mengeluarkan aneka minuman impor kami cukup percaya diri dengan produk lokal karena kami yakin akan rasa dan kualitasnya,” ungkap Andreas.
Tahta Coffee yang berdiri tahun 2019, saat ini telah memiliki 7 gerai yang berlokasi di seputar Jabodetabek. Di antaranya di daerah Sudirman, Jakarta Selatan dan Bogor.
“Saya yakin market masih kuat. Konsumsi kopi ready to drink bisa melonjak tiga kali lipat berdasarkan studi yang saya temukan. Jadi ini gap-nya masih sangat jauh, sehingga bisnis ini masih emerging,” jelasnya.
Banting Stir
Pria asal Dumai ini mengaku awalnya tidak mengenal bisnis kopi. Lulusan Bachelor of Science University of Technology and Innovation di Malaysia ini sebelumnya berkecimpung di bisnis gaya hidup bersama Naughty Accessories.
Namun dorongan dari rekan-rekannya seperti Chris, Sasa, Vivi dan Grace Tahir yang akhirnya membuat Andreas memutuskan banting stir dan terjun ke bisnis kopi. “Kami melihat tren konsumsi kopi yang meningkat di Indonesia. Dan ini adalah peluang sekaligus tantangan. Apalagi misi kami adalah meningkatkan kemitraan dengan pelaku UMKM di daerah,” ujarnya.
Oleh karena itu, sedari awal usaha kedai kopi berbendera PT Tahta Kopi Gravitas ini menetapkan untuk menggunakan bahan baku makanan dan minuman lokal. Sayangnya, Andreas enggan menyebut jumlah modal awal dari perusahaan rintisan ini. “Modalnya cukup besar dan kami mendapat dukungan dari banyak pihak dan tentu semua co-founder,” ujarnya.
Tak serta merta lancar. Andreas mengaku, banyak belajar ketika bisnis ini dimulai. Bahkan dia ikut belajar meracik kopi. Dari sini dia mencari signature dari produk yang akan menjadi andalan. Sampai akhirnya dihasilkan produk seperti kopi tahta yaitu campuran kopi, susu dan gula aren. Lalu Pawpay-ya atau papaya milkshake, dan es krim durian.
“Menu yang kami sajikan telah melalui proses brewing oleh barista yang telah dilatih secara intensif, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal,” tegasnya.
Demikian juga dengan gerai terus mengalami perubahan. Menurut Andreas di awal mereka menerapkan model bisnis grab and go. Tetapi melihat tren gaya hidup yand dinamis serta lokasi gerai yang berada di pusat perkantoran, akhirnya di awal 2020 Tahta Coffee mengusung konsep semi outdoor dan membidik kelompok pekerja kantoran usia dewasa muda. “Konsep yang kami pilih adalah modern dengan segmen kaum muda milenial,” ujar Andreas.
Dengan mengusung tema #naikTahta, Tahta Coffee menjadikan area gerainya tidak hanya untuk tempat nongkrong casual, namun menjadi tempat membangun relasi dan menambah wawasan ilmu dengan diadakannya sharing session bersama pakar dari beragam industri. “Coffee Shop ini bukan hanya memasilitasi penikmat kopi saja, tapi juga merupakan ruang untuk berkumpul dan sharing untuk berbagai komunitas,” ujar pria asal Medan ini.
Andreas juga melihat dominasi populasi anak muda Indonesia (Generasi Y dan Z) yang menciptakan gaya hidup baru dalam mengonsumsi kopi. Lalu, kehadiran media sosial yang memudahkan pebisnis kedai kopi melakukan aktivitas marketing dan promosi, serta kehadiran platform ride-hailing yang memudahkan proses penjualan.
“Tidak hanya itu, rendahnya entries barriers dalam bisnis kopi yang ditunjang dengan ketersediaan pasokan bahan baku, peralatan (mesin kopi), dan sumber daya untuk membangun bisnis kedai kopi, dan margin bisnis kedai kopi yang relatif cukup tinggi, juga menjadi faktor pendorong bisnis ini berkembang,” ungkapnya.
Kreatif dan Inovasi
Menurut pria berusia 31 tahun ini, industri kopi dituntut untuk terus berpikir kreatif dan adaptif. Bahkan di tengah krisis yang tidak pasti, seperti kondisi saat ini. “Nah, industri kopi juga harus tetap kreatif dan adaptif sehingga bisnis tetap berjalan dan berkembang dengan baik,” paparnya.
Dia optimis perkembangan industri kopi olahan di dalam negeri masih sangat menjanjikan. Hal itu seiring konsumsi kopi per kapita masyarakat Indonesia yang relatif masih rendah yaitu sekitar 1,4 kg.
Andreas juga menyadari bahwa persaingan di pasar industri olahan kopi cukup ketat. Namun dia merasa bahwa itu bukan jadi kendala. “Kami terus belajar dan memperbaiki banyak hal agar bisnis bisa berkembang. Bahkan gara-gara Tahta saya jadi pecinta kopi. Kami berani karena kami mengutamakan kualitas dan rasa yang enak,” kata Andreas.
Inovasi yang mereka lakuan adalah dalam hal produk. Andreas mengaku mengikuti tren yang ada. Ketika tren matcha maka mereka pun menyediakan produk berbahan matcha. Demikian juga ketika tren kopi gula aren. “Kami fokus pada apa yang kami punya. Kami mencari produk apa yang kami sendiri juga bakal konsumsi setiap hari. Kami juga terus mengikuti permintaan pasar sehingga bisnis ini bisa terus berkembang,” ucapnya.
Di sisi lain, dengan menyasar milenial maka perusahaan ini juga menerapkan semua sistem pembayaran termasuk cashless. Tahta juga mendorong pemesanan melalui jaringan online dengan memanfaatkan layanan pemesanan yang tersedia di aplikasi on-demand.
=======================
Andreas Chang
Tempat Tanggal Lahir : Dumai, 1989
Pendidikan Terakhir : Bachelor of Science University of Technology and Innovation, Malaysia
Usaha yang dikembangkan : Kedai kopi
Nama Perusahaan : PT Tahta Kopi Gravitas
Nama Merek Usaha : Tahta Coffee
Mulai Usaha : 2019
Jumlah Karyawan : 35 Orang
Jumlah Gerai : 7 Gerai (Jabodetabek)
Jabatan : CEO dan Co-founder
======================
STEVY WIDIA
Discussion about this post