youngster.id - Bisnis kedai kopi di Indonesia menjadi emerging business yang muncul seperti cendawan di musim penghujan. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kedai kopi di Indonesia secara signifikan dalam tiga tahun terahir, dan naiknya konsumsi domestik kopi di Indonesia. Akankah kopi Indonesia mendunia?
Hasil riset TOFFIN, menunjukkan jumlah kedai kopi di Indonesia pada Agustus 2019 mencapai lebih dari 2950 gerai, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada 2016 yang hanya sekitar 1000. Namun itu bukan angka sesunguhnya, karena sensus kedai kopi itu hanya mencakup gerai-gerai berjaringan di kota-kota besar, tidak termasuk kedai-kedai kopi independen yang modern maupun trandisional di berbagai daerah.
Di sisi lain, konsumsi kopi domestik Indonesia juga terus meningkat. Data Tahunan Konsumsi Kopi Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh Global Agricultural Information Network menunjukkan proyeksi konsumsi domestik (Coffee Domestic Consumption) pada 2019/2020 mencapai 294.000 ton atau meningkat sekitar 13.9% dibandingkan konsumsi pada 2018/2019 yang mencapai 258.000 ton.
Namun konsumsi kopi masyarakat Indonesia per kapita relatif masih rendah dibandingkan negara lain, yaitu hanya sekitar 1 kilogram (2018). Bandingkan dengan Vietnam—yang tingkat pendapatannya di bawah Indonesia—yang konsumsi kopi per kapitanya mencapai 1.5 kilogram pada tahun yang sama.
Namun para pelaku bisnis kopi optimis bahwa bisnis kopi masih “moncer”. Evani Jesslyn, Founder of First Crack Coffee, mengatakan Indonesia memiliki hasil alam kopi yang luar biasa.
“Saya optimis perpaduan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dari hulu sampai hilir dapat dioptimalkan sehingga bisa menghasilkan kualitas kopi nomor satu di dunia,” ungkap Evani saat ditemui di BrewFest 2020 event Urban Coffee & Tea Festival yang digelar di Senayan City Jakarta baru-baru ini.
Perempuan kelahiran Semarang, 18 Agustus 1990 ini merupakan pengusaha, sekaligus barista dengan sertifikat internasional. Bahkan ia jadi finalis mewakili Indonesia dan menjadi satu-satunya peserta dari Asia di ajang bergengsi Barista & Farmer 2016 yang berlangsung di Sao Paulo, Brazil.
Kini dia punya empat kedai kopi. Strada Coffee dibuka di Semarang dan Jambi. Kemudian First Crack Coffee di Sunter dan di SCBD di Jakarta.
“Dengan perpaduan antara biji terbaik dari negara penghasil kopi yang juga berkualitas terbaik, ditambah teknologi yang dihasilkan oleh negara-negara maju, saya percaya saya bisa ‘mengabdi’ kepada negara ini dengan memberikan kopi hasil bumi Indonesia kepada masyarakat Indonesia sendiri. Pada akhirnya saya harap itu bisa menumbuhkan rasa cinta produk dalam negeri terutama kopi bagi masyarakat Indonesia,” kata Evani penuh semangat.
Dulu Tidak Suka Kopi
Sesungguhnya Evani tidak pernah bercita-cita jadi barista ataupun terjun ke bisnis kopi. Perempuan lulusan University of California Berkeley ini sempat bekerja sebagai akuntan public internasional selama satu tahun di perusahaan akuntan public di Amerika. Bahkan, Evani mengaku saat itu dia tidak begitu menyukai kopi. Tetapi saat bekerja dia berada di satu ruangan dengan rekan-rekan yang menyukai kopi, dan aroma kopi membuat dia penasaran.
“Saya yang dulunya sama sekali tidak suka kopi, mau nggak mau, akhirnya kepo juga. Pas saya cobain, kok ternyata enak. Sejak dari situ, saya mulai suka pergi ke beberapa coffee shop. Hampir semua kedai kopi di Amerika bilang kalau mereka pakai kopi Indonesia atau ada campuran kopi Indonesia. Saya jadi mikir, hebat juga ya produk Indonesia, sampai diakui di Amerika,” kisahnya.
Menariknya, waktu pulang ke di Indonesia dia tidak menemukan kopi yang seenak seperti yang dia nikmati di Amerika. Padahal kopi yang digunakan sama. “Saya berpikir apakah cara membuatnya yang berbeda sehingga hasilnya tidak sebagus di sana,” kisahnya.
Karena penasaran, dia pun memutuskan untuk sekolah barista di Singapura. Di sana dia menemukan bahwa kopi memiliki beragam rasa yang menakjubkan. Itu membuat dia semakin jatuh cinta pada kopi. Evani yakin bisa membuat kopi sendiri yang enak.
Tapi kenyataannya, saat dia menggunakan kopi asli yang diperoleh di pasar lokal kembali ia tidak memberi rasa yang sama. Evani bingung dan semakin bertanya. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan sebagai akuntan public dan serius untuk mencari ilmu tentang kopi.
“Saya semakin mendalami dunia kopi dengan banyak membaca dan melakukan riset online, juga pergi ke kebun-kebun kopi di Sumatera. Dari sana jugalah saya tahu soal grade-grade kopi dan kemana saja distribusinya. Sejak itu saya memutuskan, beli langsung dari petaninya sehingga bisa betul-betul tahu kualitas biji yang mereka olah. Tahu filosofi di masing-masing biji kopi yang saya ambil,” ungkapnya.
Dia menambah ilmu dengan mengambil Roasting Class di San Francisco. Tak berhenti sampai kelas roasting, ia juga mengambil sertifikasi Q-Grader dari SCAA di Amerika. Ini adalah sertifikat untuk menguji kopi. Di saat inilah dia mengikuti ajang Barista & Farmer 2016.
“Menjadi satu-satunya orang Asia, sejujurnya agak grogi juga. Apalagi kontestan lain ada yang menjadi juara barista di negara masing-masing. Dari acara itu pula saya belajar bahwa tugas petani itu tidak mudah,” ucapnya.
Oleh karena itu, ketika dia membuka bisnis kopi, Evani menerapkan filosofi memelihara lingkungan sekitar. “Oleh karena itu kami memilih untuk me-roasting kopi yang kami beli dari petani dengan harga yang adil atau distributor yang terpercaya,” katanya lagi.
Berbagi Ilmu
Dengan ilmu dan pengalaman tentang kopi, Evani pun jadi percaya diri untuk terjun ke bisnis kopi. Ia juga mendorong siapapun untuk membangun passion melalui bisnis kedai kopi yang dapat dijalankan dengan tiga modal utama yakni focus, passion, dan persistence.
“Untuk menghasilkan secangkir kopi yang baik, dibutuhkan usaha luar biasa mulai dari proses penanaman, pemetikan, proses pascapanen, roasting dan brewing. Dari sana saya belajar bahwa kita harus bisa menghargai secangkir kopi yang ada di depan kita, karena tanpa kerja keras orang-orang di dunia kopi, maka tidak akan ada namanya kopi nikmat yang bisa memanjakan lidah kita,” ujarnya.
Evani mendirikan kedai kopi pertama bernama Strada Coffee di kota kelahirannya Semarang, yang kemudian juga dibuka di Jambi. Selanjutnya, dia membuka First Crack Coffee di dua lokasi di Jakarta.
Menurut Evani, kedua gerai ini memiliki visi yang berbeda. Strada Coffee yang didirikan September 2013 ditujukan untuk memperkenalkan kopi dengan kualitas tertinggi terutama bagi anak-anak muda. Sedangkan First Crack lebih pada pasar yang lebih matang yang ingin mendapat pengetahuan lebih mengenai kopi dan membuat terobosan-terobosan baru.
“Kami hanya membeli kopi dengan nilai 80 ke atas, yakni kopi-kopi yang masuk golongan specialty coffee. Setelah itu kami akan meneliti kembali setiap batch kopi yang kami beli untuk memastikan biji kopi yang kami beli tergolong dalam specialty coffee. Terakhir, kami akan melakukan proses evaluasi dari segi aroma dan rasa untuk memastikan kualitas dan konsistensi kopi kami,” kata barista cantik itu.
Menurut Evani, untuk mendapat hasil terbaik, dia terus melakukan proses uji coba hingga menemukan profil yang terbaik. Tujuannya, untuk menciptakan produk-produk yang bisa membuat pelanggan memahami cerita sebuah kopi: darimana dia berasal, dari ketinggian berapa, dan proses apa saja yang ia lalui.
“Kami juga mempelajari seni dari roast kopi dalam skala kecil, bagaimana cara mengeluarkan personalitas unik dari tiap bean, yang dapat diduplikasi dalam tiap-tiap batch. Kami betul-betul menganalisa setiap batch green bean yang kami beli sebelum mengeroast dan menjualnya ke masyarakat,” ungkapnya.
Sedang untuk First Crack Coffee yang didirikan April 2017, perempuan yang pernah membuatkan Presiden Joko Widodo kopi ini memiliki konsep menarik. Ia menggabungkan kedai dan laboratorium kopi. Di sini dia juga menggelar Akademi Kopi, yaitu kursus barista selama sepekan. Lewat presentasi modul dan praktik singkat, peserta akan mendapat pemahaman cara mengikuti sertifikasi Coffee Diploma-brevet prestisius yang dikeluarkan Specialty Coffee Association.
“Misi akademi kopi yaitu mengangkat keunggulan kopi Indonesia. Sebab, makin banyak orang Indonesia punya brevet Coffee Diploma, kopi Indonesia akan makin terkenal. Dengan sertifikat itu, makin banyak orang yang bisa menjelaskan secara ilmiah dan kredibel soal kopi Indonesia,” kata Evani menegaskan.
Dia berhasil membuktikan tidak ada yang salah dari menemukan passion yang bertentangan dengan latar pendidikan. “Belajar adalah proses yang tidak ada habisnya. Tidak menggeluti profesi yang sesuai pendidikan bukan berarti ilmunya sia-sia,” ujarnya.
=====================
Evani Jesslyn
- Tempat Tanggal Lahir : Semarang 18 Agustus 1990
- Pendidikan Terakhir : University of California, Berkeley – Bachelor of Science
- Usaha yang dikembangkan : Membangun bisnis kedai kopi
- Mulai Usaha : 2013
- Nama merek usaha : Strada Coffee dan First Crack Coffee
- Jabatan : Founder & CEO
Prestasi :
- Finalis Barista & Farmer 2016
- Sertifikasi Q-Grader
=====================
STEVY WIDIA
Discussion about this post