Gusmantara Ekamukti Himawan : Tawarkan Energi Alternatif Teknologi Panel Surya

Gusmantara Ekamukti Himawan, Co-founder dan Managing Director Xurya (PT Xurya Daya Indonesia) (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Belakangan ini seruan untuk bertranformasi ke energi terbarukan dan meninggalkan energi fosil terus bergaung. Salah satunya dalam hal sumber daya listrik. Potensi ini pun dilirik oleh pelaku startup, salah satunya Xurya.

Listrik merupakan salah satu kebutuhan mendasar di era teknologi digital sekarang ini. Namun, pemenuhan energi listrik masih sangat bergantung pada energi fosil. Data dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebut, dari kapasitas 68 GW terpasang, 88% masih energi kotor, 64% batubara, sisanya minyak.  Sedang energi terbarukan baru sekitar 12%.

Sejatinya, Indonesia sejak lama menyadari soal keterbatasan energi fosil. Pada 1981, sudah lahir kebijakan umum bidang energi (KUBE) dengan gagasan sejak 1976. KUBE muncul berdasarkan kesadaran kalau cadangan energi fosil–kala itu, minyak bumi–terbatas.

Selanjutnya, pada 2014 pertama kali kebijakan energi nasional (KEN) masuk dalam regulasi, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014, antara lain mengatur pemanfaatan energi terbarukan dan membatasi laju penggunaan energi fosil.

Namun dari 34 provinsi di Indonesia, sampai Agustus 2019, baru ada lima yang memiliki rencana umum energi daerah (RUED). Kelima provinsi itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur.

Salah satu sumber energi yang tersedia untuk dikelola adalah matahari (solar). Listrik solar seharusnya menjadi pilihan yang wajar untuk Indonesia yang bermandikan matahari sepanjang tahun. Tetapi, Indonesia hingga kini baru bisa membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan produksi energi 80-130 MW, jauh dibanding Jerman, sudah 40 GW. Padahal radiasi matahari Indonesia, dua kali lebih banyak.

Potensi bisnis dari pengembangan pembangkit listrik bertenaga surya ini mendorong Gusmantara Ekamukti Himawan dan Edwin Widjonarko mendirikan usaha rintisan Xurya, di bawah bendera PT Xurya Daya Indonesia. Ini adalah startup yang bergerak di bisnis energi terbarukan PLTS Atap, dengan layanan berupa penyewaan, pemasangan hingga peralatan dan pemeliharaan instalasi panel surya.

“Kebutuhan panel surya di Indonesia akan semakin meningkat di dalam beberapa waktu mendatang. Karena itu kami ingin ikut terlibat dalam mendorong para pelaku bisnis di Indonesia untuk mengadopsi energi solar untuk menerapkan efisensi energi yang bersih, berkelanjutan serta berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan karena mengurangi produksi CO2,” kata pria yang akrab disapa Eka ini kepada youngster.id saat ditemui baru-baru ini di Jakarta.

Co-founder dan Managing Director Xurya ini mengklaim, startup energi terbarukan yang dibangun bersama temannya ini memelopori metode DP 0 dalam pembiayaan PLTS Atap. Mereka telah menggandeng lebih dari 20 pelaku industri dan bisnis dalam menggunakan PLTS Atap di fasilitas mereka. Para pelaku industri dan bisnis terdiri dari pabrik, pusat perbelanjaan, gudang pendingin, bangunan perkantoran, dan perusahaan logistik.

Menurut Eka, bisnis pengembangan energi baru terbarukan ini juga sudah mendapat dukungan dari pemerintah. Penggunaan PLTS Atap untuk industri dan bisnis juga telah mendapatkan dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12/2019 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri Yang Dilaksanakan Berdasarkan Izin Operasi dan revisi Peraturan Menteri ESDM nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN dengan peraturan perubahannya Peraturan Menteri ESDM nomor 13/2019 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16/2019.

“Ini meningkatkan gairah para pelaku industri dan bisnis untuk memasang PLTS Atap di fasilitas mereka. Kami akan memberikan akses green-financing murah, proses instalasi hingga perawatan PLTS Atap yang sudah terpasang di pelanggan kami,” kata Eka.

 

Xurya telah berkolaborasi dengan Kementerian ESDM RI untuk mencapai target di Indonesia mengajak masyarakat turut menggunakan enerji terbarukan dalam bentuk solar panel (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Potensi dan Efisiensi

Sesungguhnya bisnis PLTS Atap sudah popular di luar negeri. Namun Eka baru mendirikan Xurya pada tahun 2018. Sebelumnya lulusan electrical engineering di Universitas Purdue, Amerika Serikat ini sempat menjadi professional di bidang keuangan. Termasuk menjadi fund manager di perusahaan pengelola investasi global.

Perkenalannya dengan energi terbarukan, ketika dia diminta membuat kajian tentang potensi pengembangan energi alternatif non-fosil.  “Saya pun melakukan kajian tentang tenaga surya (solar), tenaga angin (wind power), panas bumi (geothermal), dan lain-lain di Colorado, yang merupakan basis pengembangan energi alternatif. Pada waktu itulah saya mulai mengenal dan tertarik pada pengembangan tenaga surya,” ungkapnya.

Sejak itu, Eka terus menghitung kapan bisnis sistem atap surya (solar rooftop) bisa ‘rasional’ di Indonesia. “Bagi saya, 2018 adalah waktu yang tepat, sehingga pada tahun itulah kami mendirikan Xurya,” ujarnya.

Menurut Eka, karena mereka melihat energi surya memiliki potensi paling besar dibandingkan energi baru dan terbarukan lainnya. Tepatnya, lebih dari 200.000 MW dan kapasitas terpasang per tahun 2018 masih 90 MWp. Tentu saja, akan menjadi mubazir jika pihaknya tidak secara maksimal memanfaatkan energi yang berpotensi ini.

“Agar energi surya dapat dimanfaatkan dengan maksimal, kami memperkenalkan Xurya Lease. Ini merupakan sebuah skema dimana calon pengguna sistem PLTS atap mendapatkan opsi untuk dibebaskan dari kewajiban pembayaran upfront cost yang biasanya menjadi momok,” jelas Eka.

Eka menilai bahwa pemanfaatan energi surya relatif masih minim dari total potensi yang tersedia di Indonesia. Sebagai perbandingan, ia menyebutkan bahwa pemanfaatan energi surya di Thailand mencapai 3,2%, Vietnam 2,6%, sementara Indonesia baru sebesar 0,04%.

“Di Indonesia sendiri angkanya masih rendah sekali, baru sebesar 78,5 mega watt (MW) dari total potensi yang ada sebesar 207.898 MW. Sementara di dunia rata-rata pemanfaatannya sebesar 2,6%. Jerman yang paling besar di dunia mencapai 14%,” ungkapnya.

Di sisi lain, dia juga melihat pesatnya pertumbuhan bisnis terutama usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Berdasarkan Badan Pusat Statistik pada Sensus Ekonomi 2016, saat ini Indonesia memiliki 26,7 juta usaha. Hal ini mendorong bauran energi baru dan terbarukan.

“Jika dihitung dan dioperasikan dengan seksama, besar penghematan bagi bisnis dan industri bisa mencapai 30%. Pengguna sistem PLTS atap dengan skema Xurya Lease dapat merasakan langsung efisiensi sistem ini pada bulan pertama,” klaim Eka.

Selain itu, startup ini punya visi mulia yakni mengurangi dampak buruk perubahan iklim. “Saya benar-benar terpanggil karena Indonesia memiliki emisi karbondioksida paling kotor di dunia,” tegas Eka.

 

Ke depan, Eka menargetkan Xurya bisa sampai ke daerah Indonesia Timur, termasuk Sumatera dan Kalimantan (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

DNA Startup

Eka mengaku, awalnya sulit untuk membangun kepercayaan masyarakat akan produk yang ditawarkan Xurya. Namun seiring dengan meningkatnya kekhawatiran masyarakat dunia terhadap perubahan iklum, maka penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya mulai meningkat.

“Kami terus melakukan pendekatan persuasif dengan menyampaikan bahwa dengan penggunaan tenaga surya tentu saja akan dapat menghemat biaya listrik di industri hingga mencapai sebesar 20%,” ungkapnya.

Semangat sebagai perusahaan startup membuat mereka yakin bahwa bisnis yang dikembangkan ini akan berhasil. “Kami adalah perusahaan yang masih muda. DNA kami adalah startup sehingga kami lincah bergerak. Kami memakai teknologi untuk mempersingkat proses dan mengurangi pekerjaan manual,” ujarnya.

Diklaim Eka, keunggulan dari Xurya, selain fokus pada pengadaan, operasional, dan pemeliharaan instalasi sistem PLTS atap di Indonesia. Selain itu, produk dari Xurya didukung dengan teknologi Internet of Things (IoT). “Sehingga peralatan PLTS yang dipasang di atap, nantinya bisa dikendalikan dari jarak jauh. Jadi kalau ada masalah tentu bisa dengan mudah diketahui penyebabnya,” jamin Eka.

Dia menegaskan, saat ini Xurya memiliki fokus untuk dapat mengenalkan teknologi panel surya lewat kantor yang berlokasi di Jakarta dan Surabaya. “Ke depannya, kami ingin bisa sampai ke daerah Indonesia Timur, termasuk Sumatera dan Kalimantan,” ujarnya.

Selain itu, Xurya telah berkolaborasi dengan Kementerian ESDM RI untuk mencapai target di Indonesia mengajak masyarakat turut menggunakan enerji terbarukan dalam bentuk solar panel.

“Kolaborasi Xurya dengan ESDM salah satunya. Dari segi regulasi dengan Kementrian ESDM itu kami implementasikan, dan mereka juga minta pelaporan karena kami juga harus ada targetnya. Itu harus tercapai. Jadi kami bantu semua laporan dan semua lokasi kepada ESDM untuk mencapai hasil itu,” jelasnya.

Eka bercita-cita Xurya dapat menjadi ujung tombak revolusi tenaga surya. “Karena distribusi dan penyimpanan solar merupakan kunci bagi kemandirian energi Indonesia dan bagian penting dari teka-teki masalah perubahan iklim dunia,” pungkasnya.

 

=======================

Gusmantara Ekamukti Himawan

=======================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version