youngster.id - Tenun adalah ekonomi kreatif yang menjadi kekayaan budaya provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kini kearifan lokal ini semakin mendunia dalam berbagai produk yang dikemas secara kekinian.
Kini, perdagangan kain tenun makin banyak dilakukan, bahkan penetrasinya sudah sanggup menembus pasar global. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, nilai ekspor kain tenun pada 2015 mencapai US$ 2,6 juta, dengan tujuan utama ekspor ke Eropa. Termasuk kain tenun dari NTB.
Nah, jika selama ini tenun dari NTB dikenal dalam bentuk kain untuk busana, maka berkat kreativitas sekelompok anak muda, tenun ini dihadirkan dalam bentuk sepatu sneaker. Adalah M. Firdaus Abdulloh dan tiga rekannya, yang punya ide kreatif untuk mengembangkan sepatu sneaker berbahan tenun. Mengusung merek Selo, sepatu bikinan Firdaus ini tak hanya tampil gaya, tapi juga mengandung filosofi etnik. Bahkan, sepatu Selo siap memasuki pasar ekspor.
“Selain produk asli dalam negeri, apa yang kami lakukan di sini juga dapat menyerap tenaga kerja dan menjadikan daerah Turida, di kota Mataram ini sebagai kampung industri sepatu. Dengan begitu, dari produk yang kami buat ini, secara tidak langsung dapat membantu perekonomian pengrajin tenun di daerah. Dengan begitu, kearifan dan budaya yang kita miliki ini bisa terus turun–temurun ke generasi berikutnya,” papar Firdaus kepada Youngsters.id saat ditemui di acara Inacraft 2017 di JCC Senayan Jakarta belum lama ini.
Selo ini merupakan sepatu sneakers yang populer di kalangan remaja. Menurut Firdaus, pemilihan model sneaker ini karena dia melihat tingginya pengguna sepatu sneakers di Indonesia. Di sisi lain, berupaya pula menampilkan budaya local dalam kekinian.
“Dari situlah muncul ide untuk memadukan sepatu sneakers dengan kearifan lokal berbasis produk kreatif berkualitas,” ungkapnya.
Lomba Desain
Sejatinya, ide mengembangkan usaha sepatu etnik tersebut bermula dari lomba desain sepatu tingkat nasional yang diadakan Universitas Diponegoro tahun 2016. Ketika itu Firdaus bersama tiga rekannya Annisah Raudatul Jannah, Rosmalia Tri Susanti dan Sultan Ardhi P yang mewakili Universitas Mataram, mendesain sepatu yang mengangkat kearifan lokal. Mereka membuat sepatu dari bahan kain tenun Pringgasela Lombok Timur.
Dari pencapaian itulah, Firdaus dan kawan-kawannya memutuskan untuk meneruskan menjadi usaha yang serius.
“Setelah menang kompetisi dan kami mendapat dana, kami terpikir untuk merealisasikannya. Jadi apa yang pernah kami tulis saat di lomba karya tulis, segera kami lakukan. Karena ini produk terbaru, saat itu Juri dalam kompetisi tersebut juga menyarankan agar kami segera merealisasikan. Dan, akhirnya terciptalah sneakers Selo asli buatan anak bangsa,’ ungkap Firdaus bangga.
Respon Positif
Untuk memulai usaha ini Firdaus dan kawan-kawannya mengumpulkan uang secara swadana.
“Modal awalnya kami patungan berempat. Setiap pemilik sepatu Selo etnik ini menambahkan modal per orang sebesar Rp 2 juta. Jadi modal awal kami membuka usaha ini hanya dengan uang sebesar Rp 9 juta,” ungkapnya.
Mereka juga memutuskan mengambil nama brand Selo, yang berasal dari Sepatu Etnik Original. Untuk produksinya, wirausahawan muda ini bekerjasama dengan produsen sepatu di Jawa Timur. Pasalnya, di Kota Mataram tidak ada industri sepatu sneaker.
“Karena setelah kami survey di pasaran, sepatu sneakers semacam ini belum banyak di pasaran. Hal itu terus membuat kami yakin, ke depannya akan lebih membesarkan produk ini,” terang sang CEO Selo.
Sedangkan untuk kain tenun di sepatu mereka terlebih dahulu melakukan survey ke beberapa sentra kerajinan tenun untuk mendapatkan kain tenun yang cocok. Firdaus menjamin bahan kain tenun yang dipakai kualitasnya bagus dengan harga yang relatif sama dengan sepatu sneaker lainnya.
Produksi pertama sepatu Selo dilakukan awal bulan Februari. Ketika mereka mulai memasarkan produknya, langsung direspon baik oleh pasar. Terbukti, sekitar 100 pasang sepatu mampu terjual. “Alhamdulillah, belum lama diproduksi, produk kami ini sudah terjual 100 pasang ketika bulan Februari. Bagi kami sudah sangat lumayan untuk tahap awal,” ujarnya.
Menurut Firdaus, keunggulan produk ini ada pada model sneaker yang unik dengan proses pengerjaan tanpa menggunakan mesin. Keunggulan lain dari sepatu ini, selain modelnya keren dan trendi, stokya terbatas sehingga tidak banyak sama dengan pengguna yang lain. Lagi, harganya relatif terjangkau untuk pasar kalangan pelajar dan mahasiswa. Sepasang sepatu etnik Selo dibanderol, mulai dari harga Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu.
Sebelum memasarkan secara luas, mereka menjajal pasar di kampus. Ternyata peminat akan produk ini mulai dari mahasiswa hingga para dosen. Akhirnya setelah melakukan berbagai survey untuk mendapatkan kualitas produk, brand ini resmi diluncurkan ke pasar yang lebih luas pada 3 Februari 2017. Sebanyak 120 pasang sepatu diproduksi setiap bulannya.
“Alhamdulillah respon masyarakat cukup baik dan hasil kerja kami diterima masyarakat, termasuk yang dari luar daerah,” ujarnya.
Pemuda kelahiran Mojokerto, 9 September 1993 ini menuturkan: dua bulan sejak sepatu etnik Selo dilempar ke pasaran, respon dari masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa sangat antusias dan baik tanggapannya.
“Karena di Lombok dan Mataram jarang industri sepatu yang seperti ini. Bersyukurnya, begitu melihat sepatu etnik ini para mahasiswa dan pelajar mengaku sangat suka untuk memilikinya. Apalagi ketika mereka keluar kota saat mengenakan sneaker ini, pastinya akan membuat mereka bangga dengan daerahnya sendiri,” katanya dengan nada bangga.
Tantangan
Untuk saat ini, dalam pengerjaan produksi sepatu, Firdaus mengaku baru mempekerjakan 2 pengrajin.
“Jumlah karyawan yang kami miliki baru dua orang pengrajin sepatu. Selebihnya untuk pekerjaan lain dikerjakan oleh kami berempat, mulai dari desain, QC dan packing. Semua turun tangan,” imbuhnya.
Selain itu, Firdaus mengaku masih kesulitan dalam hal bahan baku dan persaingan. “Di NTB ini bahan baku masih sangat sulit didapat, terutama untuk bagian alas. Selama ini, kami bisa dapat dari pulau Jawa. Apalagi pabrik di sana kan juga nggak ada. Selain itu, mesin-mesin di sana belum ada. Makanya 100 persen dibuat dengan tangan dalam pengerjaannya. Tapi ke depan kami berharap ada mesin untuk dapat mengefesienkan waktu pengerjaannya,” terang Firdaus.
Tak mengherankan, untuk proses produksi 1 kodi atau sebanyak 20 pasang sepatu Selo bisa memakan satu minggu. Padahal, di Jawa, pengerjaan sepatu untuk 1 kodi ini bisa diselesaikan dalam waktu satu hari saja.
Mahasiwa Fakultas Ekonomi ini tidak memungkiri, dalam setiap usaha pasti menemukan pesaing. Namun begitu, Firdaus bersama rekannya melakukan strategi dengan selalu berinovasi agar produknya tetap disukai semua khalayak.
“Pasti dalam sebuah usaha ada pesaing. Namun kami selalu berinovasi, dan hampir setiap bulannya kami selalu memunculkan model-model baru dan mengikuti tren yang ada. Selain itu, kami juga terus membekali diri, apalagi kami ini masih baru, dan butuh sekali yang namanya mentor. Pastinya kami akan merangkul mereka semua untuk belajar agar usaha yang kami tekuni ini bisa terus berjalan dan berkembang,” ujar Firdaus.
Firdaus optimis produk sepatu etnik Selo akan berkembang. Apalagi saat Inacraft sejumlah pengunjung yang datang memberi tanggapan postif. Termasuk para pembeli yang datang dari Mesir dan Jepang. “Sampai saat ini belum ada complain dari pembeli. Kalaupun nanti ada, itu akan menjadi masukan bagi kami ke depannya untuk memperbaiki apa yang perlu kami perbaiki, terutama untuk kemajuan usaha kami ini,” tegasnya.
Firdaus mengaku omset Selo setiap bulannya selalu bertambah. “Kemarin kalau bulan Februari itu kami dapat Rp 20 juta, dan bulan Maret naik menjadi Rp 30 juta. Alhamdulillah, produk kami bisa diterima pasar, “ ujar Firdaus bangga.
Dalam waktu dekat Firdaus dan rekannya memiliki rencana memasarkan sepatu etnik Selo ini ke pasar mancanegara, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
“Pastinya, kami kan punya visi bisa mendunia dengan tenun. Jadi biar tenun hasil pengrajin Nusa Tenggara Barat ini bisa dikenal sama dunia. Apalagi di NTB sendiri industrinya masih kurang, lapangan pekerjaan pun masih kurang. Kebanyakan mereka yang sekolah, setelah lulus malah pergi ke pulau Jawa, kenapa kita nggak memiliki industri sendiri. Apalagi kalau dilihat Lombok sangat meningkat industri pariwisatanya sekarang ini bagi wisatawan. Jadi kenapa tidak kami mencoba untuk menjadi tuan rumah yang baik dengan menyediakan produk-produk lokal untuk wisatawan,” paparnya.
Walaupun keuntungan menjadi orientasi bagi setiap pengusaha, toh Firdaus berharap pengembangan bisnis yang dilakukannya bisa memberi manfaat bagi orang lain. Ini sejalan dengan filosofi bisnisnya: bisa menebar manfaat baik bagi banyak orang dengan apa yang dilakukannya.
“Intinya, apa yang kami lakukan harus banyak menebar manfaat bagi orang lain. Misalnya banyak membuka lapangan pekerjaan. Melihat banyak pengrajin tenun asal NTB yang mati karena tidak memiliki inovasi, kami mencoba mengangkatnya kembali sehingga mereka kembali bersemangat lagi untuk menciptakan tenun dengan yang baru,” pungkasnya.
============================================
Firdaus Abdulloh
- Tempat Tanggal Lahir : Mojokerto, 9 September 1993
- Pendidikan : Mahasiswa Universitas Mataram, Jurusan Ekonomi dan Bisnis
- Jabatan : Founder & CEO sepatu etnik “Selo”
- Modal Awal : Rp 9 juta
- Omset : Rp 20 – Rp 30 juta per bulan
- Alamat web : www.selosepatuetnik.com
===============================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post