Melie Indarto : Mengembangkan Bisnis Fesyen Berkelanjutan dengan Memberdayakan Komunitas Lokal

Melie Indarto, Direktur & Founder KaIND (Foto: Dok. Pribadi)

youngster.id - Sustainability di industri fesyen bukan lagi sekadar proyek sosial, tapi adalah model bisnis sekaligus pola konsumsi yang harus segera diterapkan. Pasalnya, limbah fesyen merupakan salah satu penyumbang kerusakan bumi.

Selama era modernisasi, kita mengenal adanya industri pakaian cepat (fast fashion), di mana industri ini berjalan masif untuk mengakomodasi permintaan dan kebutuhan manusia yang besar. Namun industri ini memberi dampak besar pada lingkungan. Industri fesyen dalam jumlah massal ternyata memiliki jejak emisi karbon yang tinggi. Proses produksinya sering dianggap menimbulkan banyak polusi. Selain itu industri ini terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan.

Kondisi ini rupanya mendorong, Melie Indarto mengembangkan bisnis fesyen berbasis sustainability bernama KaIND (Kain Indonesia) di Pasuruan Jawa Timur.

“Keresahan-keresahan inilah yang mendorong saya untuk mencari solusi dengan membuat sebuah brand fashion  yang menerapkan sustainable. Jadi semua proses dan bahannya kita benar-benar zero waste dan turut serta melestarikan budaya membatik dan menenun,” kata Melie, Founder dan Direktur KaIND kepada youngster.id saat ditemui dalam peluncuran Tokopedia Hijau baru-baru ini di Jakarta.

Fesyen yang berkelanjutan, antara lain bisa dilihat dari pemilihan bahan dan pola pengemasan yang memperhatikan kelestarian lingkungan hingga transparansi proses pembuatan produk fesyen tersebut, praktik kerja yang sehat, serta dapat ditelusuri informasinya oleh konsumen (traceability). Konsep sustainable fashion model industri yang berfokus pada Recycle (daur ulang produk), Repurpose (produk yang bisa didaur ulang) dan Repeat (mengulang proses daur ulang).

Selain itu Melie mengungkapkan, dia juga punya keresahan lain. Saat perempuan yang lama berkecimpung di industri fesyen di Jakarta itu pulang ke kampung halaman di Pasuruan, Jawa Timur, ia mendapati sejumlah kampung yang identik dengan komunitas pembatik dan penenun nyaris mati. Tidak ada pasar lokal yang mengakomodasi, ditambah nihilnya regenerasi angkatan senior pembatik dan penenun.

“Saya mendapati jumlah pembatik dan penenun menurun drastis selama 20 tahun ke belakang dan menyisakan sekitar 10% pengrajin berusia lanjut. Bahkan sejumlah desa penenun di Pasuruan terbilang mati karena tidak memiliki penerus,” ungkapnya.

 

Solusi Tiga Kecemasan

Upaya Melie untuk menyelamatkan pengrajin dan produk asli Purwosari, Pasuruan ini dimulai dengan membangun sebuah komunitas kecil. Melie memberikan ruang kepada para pengrajin senior yang tersisa untuk mewariskan teknik membatik kepada anak-anak muda di Pasuruan.

“Saya dari awal set up komunitasnya, juga secara digital sudah dipersiapkan. Jadi, bangun komunitas, bikin akun Instagram, website, itu jalan bareng. Jadi, kami buat story di website itu bagaimana petani sutra, pembatik, dan petani ulat sutra untuk menarik peminat, termasuk dari luar negeri, karena aku bikin ceritanya dengan bahasa Inggris,” kata perempuan kelahiran Surabaya, 7 September 1989 itu.

Selain itu, Melie juga menghidupkan kembali budidaya ulat sutera. Ia memberikan pendampingan kepada warga, mulai dari pembenihan, hingga pemasaran hasil panennya.

Melie menyebutkan, brand miliknya berhasil memberikan solusi dari tiga kecemasannya. Pertama ia menggunakan bahan yang ramah lingkungan atau biodegradable yang 100% organik. Merek KaIND, diklaim Melie, menggunakan ulat sutra eri dari para petani ulat sutra di Pasuruan.

“Budi daya kepompong yang dilakukan petani juga secara etis. Kita tidak membunuh pupa yang di dalam kepompong, tetapi kami keluarkan pupa yang sudah mature dengan digunting satu-satu kepompongnya. Jadi pupa ini bisa evolve menjadi kupu-kupu, siklus hidupnya penuh tidak ada yang kita potong,” sambungnya.

Petani-petani tersebut merupakan hasil bimbingan KaIND yang semula sekadar komunitas petani dan kini berubah menjadi koperasi petani kupu sutra.

“Petani ini bukan under KaIND. Jadi mereka ini di bawah koperasi sendiri. Kami di awal hanya membina, dari dulu awalnya sutra yang dihasilkan seratnya masih kotor, sekarang sudah putih bersih dan bisa masuk mesin pintal fabrikasi. Ini bentuk dukungan kami dalam memberdayakan petani sutra eri lokal,” cerita Melie.

“Fabrikasi kami berhasil cut cost production, dengan kami bisa menyerap hasil panen petani lebih banyak lagi. Jadi kami kumpulkan hasil panen serat sutra di Pasuruan, dibawa ke Tegal di PT Lakumas untuk dipintal jadi fabrikasi. PT Lakumas ini yang menge-blend dengan serat tencel atau serat organik dari wood pulp atau kulit kayu yang bersertifikasi ramah lingkungan. Setelah difabrikasi, dikirim lagi ke Pasuruan untuk ditenun dan dibatik,” tuturnya.

Solusi permasalahan kedua yaitu regenerasi pengrajin tenun dan batik di Pasuruan yang dilakukan KaIND melalui pelatihan gratis bagi pemuda di sekitar lokasi produksi mereka atau empower village. Pembinaan diberikan bagi siapa saja yang ingin belajar, yang secara umum dilakukan selama dua minggu. Mereka yang belajar akan diberi kesempatan menenun dan membatik dengan motif asli kekayaan alam dan budaya di Jawa Timur. Tak hanya itu, mereka pun diberikan upah belajar.

“Jadi kami rekrut warga sekitar, ada yang supir truk, kuli bangunan, belum kerja, siapapun dengan latar belakang apapun kami ajak yang mau belajar, semua diajak ke workshop KaIND,” katanya.

Keresahan ketiga dijelaskan Melie melalui keberhasilannya memproduksi benang fabrikasi dari serat sutra eri yang telah ia kembangkan sejak setahun lalu.

Dalam proses produksinya, Melie juga menegaskan tidak menyisakan bahan sama sekali. Setiap bahan yang tersisa kemudian di upcycle menjadi produk baru dengan nilai jual yang sama seperti produk sebelumnya.

“Kalau ada bahan sisa atau gagal produksi nih dari temen-temen yang ikut latihan, itu kami upcycle lagi jadi produk yang nilai jualnya sama. Jadi tidak menurunkan nilai produk itu. Kalau untuk kain sutra, kami gunakan cuttingan fashion yang zero waste atau jadi scarf,” tandas perempuan berusia 33 tahun ini.

Dengan begitu, Melie mengklaim, KaIND merupakan satu-satunya merek fesyen di Indonesia yang bisa memproduksi serat eri menjadi benang fabrikasi, bukan sekadar benang pintal. Sehingga produk yang dihasilkan bisa jauh lebih murah yaitu seperlima dari harga sebenarnya yang mencapai sekitar Rp2 juta per meter.

 

Melie Indarto - KaIND
Selain menciptakan bisnis berkelanjutan (sustainabillity), produk KaIND juga mengusung produk yang 100% organik, biodegradable dan berasal dari
material alami (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

 

Edukasi Masyarakat

Saat ini, KaInd sudah memberdayakan 25 pengrajin batik dan 250 petani ulat sutera di wilayah Pasuruan, Jawa Timur.

Dari produk KaIND itu Melie berkreasi dalam beragam model, seperti scarf, baju, sandal, dompet, pillow cushion, sleep mask, dan banyak lainnya. Kata Melie, produknya pun laris pasar ekspor dengan penjualan 50% merambah Singapura, Hawai, Amerika, Jepang, Kanada, dan Australia. 50% penjualan lainnya berhasil dipasarkan di dalam negeri.

Adapun produk KaIND tersedia dalam beragam model, seperti scarf, baju, sandal, dompet, pillow cushion, sleep mask, dan banyak lainnya dengan harga mulai dari kisaran Rp150.000 hingga Rp2 juta.

Selain itu, KaIND punya beragam produk yang apik dan eksklusif diciptakan oleh para pengrajin mulai dari penenunan kain yang mengombinasikan serat sutra eri dan serat TENCEL yang bernilai keberlanjutan dan ramah lingkungan dimana hanya satu-satunya di Indonesia. Bahkan untuk perhelatan G20, KaIND menghadirkan souvenir yang mengombinasikan 70% serat TENCEL dengan 30% serat sutra eri guna menghasilkan kain yang sangat lembut dan adem, namun tetap mewah dan modern.

“Saya bersama para pengrajin KaIND di Pasuruan merasa terhormat dan bangga atas kesempatan yang diberikan bagi kami untuk berpartisipasi di ajang G20. Sebanyak 20 pengrajin turut terlibat sepanjang persiapan dan produksi koleksi souvenir eksklusif G20 ini. Kami berharap melalui karya terbaik yang kami persembahkan di ajang G20 ini, kami dapat semakin memperluas kekayaan warisan budaya Indonesia yakni sutra perdamaian Pasuruan, dan seni batik tulis dan batik tulis ke seluruh dunia,” ungkap Melie.

Yang terbaru KaIND menjadi salah satu produk yang tersedia di Tokopedia Hijau. Platform Tokopedia Hijau merupakan inisiasi Tokopedia guna mendorong masyarakat untuk lebih memakai produk yang ramah lingkungan. Melie berharap melalui program Tokopedia Hijau maka edukasi kepada masyarakat akan produk slow fashion dan produk sustainability dapat lebih luas lagi.

“Kendala terbesar kami adalah dalam edukasi masyarakat mengenai produk ramah lingkungan dan sustainability. Banyak yang masih mempertanyakan mengenai harga maupun produknya, tanpa melihat story behindnya,” ungkapnya.

Menurut Juara 1 Pengusaha Muda Pada UMKM Expo Brilianpreneur 2022, KaIND menghadirkan keunikan batik Pasuruhan agar lebih dikenal masyarakat luas. KaIND membuat produk handmade yang mengeksplorasi dan mengekspresikan simbol-simbol ikonik seperti Gunung Bromo, Pasir Berbisik, Chrysanthemum, Aglaonema, Asoka, dan Sedap Malam ke dalam syal tenun tangan.

Di sisi lain, produk ini juga telah dimodernisasi mengikuti tren yang ada. Meski benang merah dari usahanya adalah batik lokal yang kerap mendapat stigma kuno, ia mencoba mengubah citra tersebut dan berharap bisa menyasar target anak muda.

“Benang merahnya batik tulis sama batik cap, tapi kita merambah ke kontemporer, dari warnanya sama desainnya biar anak muda nggak ngerasa agak kuno kalau pake batik. Dengan demikian, produk kami ini dapat menjangkau semua kalangan,” kata Melie.

Selain membawa dampak positif bagi masyarakat, dia menegaskan, KaIND juga berupaya menjaga kelestarian lingkungan dengan menggunakan pewarna alami di sebagian besar proses produksi serta membuat kolam untuk menampung air hujan yang digunakan untuk mencuci kain batik.

“Produk KaIND juga mengusung produk yang 100% organik, biodegradable dan berasal dari material alami. Dengan mengedepankan prinsip zero waste, limbah produksi dari KaIND sangat sedikit dan tidak mencemari alam. KaIND juga berupaya agar sisa produk KaIND tetap bisa diolah kembali dan dijual dengan harga terjangkau,” pungkasnya.

 

=======================

Melie Indarto

===================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version