youngster.id - Saat ini arsitektur dan desain interior tidak hanya diartikan sebatas bagian dari fungsi dan bentuk bangunan, tetapi juga seni yang memiliki estetika. Di sisi lain, teknik merancang dengan mode digital semakin berkembang seiring kemajuan teknologi. Dan ini dipelopori oleh anak-anak muda.
Profesi arsitek dinilai memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Berdasarkan OPUS 2019, PDB dari arsitektur mencapai lebih dari Rp 21 milyar pada 2016 dan Rp 1,4 milyar untuk desain interior. Tentunya angka tersebut terus meningkat melihat minat masyarakat yang semakin mengapresiasi keindahan ruangan.
Belakangan ini dunia arsitektur di Indonesia terus melahirkan talenta-talenta muda. Salah satunya adalah Muhammad Egha, Co-Founder dari Delution, firma arsitektur yang memiliki portofolio mulai dari hunian rumah, vila, serta bangunan yang ikonik di Indonesia.
“Kami menyadari bahwa negara kita masih sangat kurang memberi ruang bertumbuh bagi arsitek muda. Oleh karena itu kami memutuskan untuk bangun bisnis tak sekadar perancang bagunan tetapi juga bikin kontraktor untuk menjadikan desain gambar itu jadi bangunan, toko mebel untuk ngisi bangunannya, developer untuk memasarkan produknya,” ungkap Egha kepada youngster.id saat ditemui di acara TACO dalam event mosaic in diversity bertema Karya Kita di Senayan City, Jakarta belum lama ini.
Arsitek lulusan Universitas Bina Nusantara Jakarta ini mengaku tidak mudah bagi seorang lulusan sarjana arsitektur mewujudkan gambar yang dibuatnya di atas kertas menjadi bangunan ideal. Selain butuh modal besar, seni merancang bangunan ini bakal terwujud kalo arsiteknya punya nyali yang cukup besar untuk bertindak layaknya kontraktor besar dan punya rasa nilai seni yang tinggi.
Butuh keberanian besar untuk bisa mewujudkan karya bangunan yang ikonik. Tak heran jika banyak arsitek muda hanya menjadi pekerja untuk orang lain. Idealisme itu yang membuat Egha memutuskan dia tak boleh hanya jadi arsitek saja, tetapi juga harus menjadi pebisnis dengan sudut pandang sebagai perancang, kontraktor, developer dan pengusaha.
“Yang jadi bernilai dari sebuah desain, dia nggak cuma gambar di atas kertas, tapi jadi bangunan ikonik. Itu butuh kontraktor yang tepat dan bisnis owner yang mendukung,” kata Egha. Demi mewujudkan itu maka dia mantap berwirausaha dan membangun startup di bidang yang dikuasainya tersebut.
Banting Stir
Setelah lulus kuliah Egha langsung membuka usaha jasa layanan arsitek. Dia punya mimpi agar kemampuan yang dimilikinya ini sebagai perancang bangunan ingin diperlihatkan kepada khalayak. Ternyata hal ini tidak mudah. Karena pekerjaan dia hanya berdasarkan pesanan dari orang lain. Padahal ada banyak ide dan rancangan dalam imajinasi Egha. Dan dia menyadari sebagai arsitek hal itu dibatasi oleh permintaan pasar.
“Saat itulah saya banting setir, ganti visi. Bikin empat perusahaan selain arsitek, bikin kontraktor untuk menjadikan desain gambar itu jadi bangunan, toko mebel untuk ngisi bangunannya, developer untuk memasarkan produknya,” ceritanya sambil tertawa.
Menurut Egha, bangunan ikonik akan bisa diwujudkan jika kontraktor dan pengusaha punya pandangan yang sama. Dan, itu tentu akan berhasil di pasar jika didukung oleh developer dan desain yang tepat.
Oleh karena itu, Egha menggandeng dua teman kuliahnya di Binus, Sunjaya Askaria dan Hezby Ryandi, menyusul tahun 2014 mereka mendapat mitra baru Fahmy Desrizal dari kampus yang sama.
“Kami ini sudah lama berorganisasi bareng, dari sejak kuliah itu kita bareng. Dari main bareng, nongkrong bareng, belajar bareng dan akhirnya kerja bareng. Sampai akhirnya bertiga bikin perusahaan bareng. Mimpi kami ingin agar Arsitektur Ikonik bisa tumbuh sebanyak-banyaknnya di Indonesia, supaya menciptakan peradaban negara yang lebih baik sehingga Indonesia bisa dipandang lebih baik di dunia internasional,” cerita Egha.
Bermodal Rp 30 juta dan sebuah kantor mungil di kos-kosan dekat kampusnya itu mereka membangun Delution Enterprise. Nama Delution merupakan singkatan dari design revolution, membagikan beberapa kisah dari hasil karya mereka.
“Sebagai perusahaan properti diharapkan dapat mempercepat pembangunan arsitektur dan ruang-ruang ikonik di Indonesia dengan skala kuantitas yang lebih tinggi, di mana hal tersebut memang sudah menjadi visi dari Delution,” ungkap Egha.
Dengan niat membangun ruang ikonik, seperti estate, gedung ikonik sampai jembatan ikonik, Delution terus mengupayakannya. Menengok Dubai, yang punya bangunan-bangunan ikonik, bahkan negara tersebut sudah bisa disebut iconic country, Egha juga mau Indonesia punya banyak bangunan keren seperti di sana.
“Bukan tentang gaya dan keren aja tapi desain ikonik itu bakal menjadi wajah kotanya, tentu nggak mengesampingkan fungsinya,” papar Egha lagi.
Karya mereka mulai dikenal masyarakat lewat beberapa proyeknya yang viral, termasuk Gedung DPD Golkar Jakarta. Tak hanya itu, Delution bertumbuh dan berhasil menorehkan prestasi di bidang arsitektur. Mereka pernah meraih penghargaan di New York dalam event Architizer A+ Awards untuk penemuan Splow House di kategori arsitektur dan hunian kecil di tahun 2017.
Selain itu, mereka meraih Special Mention German Design Award 2016 yang diadakan German Design Council di Frankfurt, Best Design of The Year for Corporate Small Space juga diraihnya, serta beberapa penghargaan keren lainnya.
“Dari beberapa penghargaan yang pernah kami dapat ini dan yang paling berkesan saat ini kami jadi juara di Hongkong. Karena itu purely kami satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Di kompetisi itu kami menang dari banyak desainer dari seluruh Asia Pasifik. Ada dari Chicago, Meksiko, Taiwan, Jepang,” terangnya.
Ikonik Baru
Tentu tak ada bisnis yang selalu mulus tanpa ada rintangan. Pastinya, kesulitan akan selalu ada. Egha mengaku, Delution pernah mengalami kesulitan dan menanggung kerugian dari beberapa projek yang pernah ditanganinya. Bahkan, perusahaan yang nyaris bangkrut di awal berdiri.
“Tingkat kesulitannya datang dari semua arah. Agak nggak terhitung kegagalannya. Kalau issue financial crisis itu sudah sering banget. Bahkan, di satu tahun pun kami hampir bangkrut. Pernah kami mengerjakan 3 projek bangunan pertama itu. Kalau ditotal kerugiannya sebesar Rp 1 miliar untuk tiga projek itu,” kisahnya.
Menurut Egha, kerugian itu bisa terjadi karena mereka bersikeras bangun sesuai desain. “Kami telan itu semua kerugian. Dan kami di sini nggak punya pendana, kami nggak punya investor, kami juga bukan anak pengusaha. Semua foundernya anak normal dan dari keluarga biasa. Jadi cara ngatasi kerugian itu, saling tutupan dari projek satu untungnya buat nutup satu yang rugi itu,” lanjut Egha.
Kini, Delution telah berkibar, bahkan melebarkan sayap dengan membuka anak perusahaan baru di bidang properti bernama Vortiland. “Dulu lewat Delution kita hanya mampu memproduksi 20-30 karya arsitektur ikonik setahun, sekarang dengan adanya Vortiland kami berharap bisa meningkat hingga 100-150 karya setahun,” ujar Egha
Vortiland sendiri sebagai perusahaan properti besutan Delution nantinya akan memiliki produk yang berbeda dengan pemain properti Tanah Air kebanyakan.
“Kami selalu berusaha menciptakan gagasan yang inovatif dan kreatif dalam menjawab kebutuhan arsitektur dan interior masa kini. Dan, kami memiliki visi dapat ikut berpartisipasi dalam membangun wajah ruang dan kota menjadi lebih baik sehingga Indonesia dapat dipandang lebih baik oleh dunia internasional. Karena bagi kami arsitektur tidak sekedar bangunan, namun juga menjadi simbol peradaban sebuah kota bahkan negara, sehingga arsitek memiliki tanggung jawab besar terhadap pekembangan image kotanya” ungkap Egha.
Selain menangani proyek di daerah lokal, dan nasional, Delution juga telah menangani beberapa klien mancanegara.
“Klient kami beragam dari mulai perorangan hingga korporasi besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain menjalankan berbagai macam proyek di Jakarta, Sukabumi, Bengkulu, Bali, Surabaya, Semarang dan Jambi. Untuk mancanegara kita pernah mengerjakan suatu proyek di India,” ujar pria kelahiran Jakarta, 7 Desember 1990 itu.
Kini melalui Vortiland, yang mengusung slogan “Create a new way in Leading Development”, Egha memastikan produk yang dihasilkan selalu bersifat arsitektur ikonik dan dapat menjadi benchmark baru bagi perkembangan properti di Indonesia.
“Semoga dengan Vortiland, kami bisa menjamin hasil pembangunan konstruksi produknya bisa mencapai tingkat akurasi 98% dari konsep desainnya. Karena semua ini merupakan salah satu fokus kami untuk menjawab realitas produk properti yang kebanyakan selalu berbeda dengan gambar konsepnya,” imbuhnya.
Meski mash muda di bisnis rancang bangunan, Egha menuturkan tak merasa khawatir menghadapi persaingan. Dia percaya diri dengan nilai dan keunggulan Delution dalam hal ikonik.
“Kami jelas punya value yang mereka nggak punya. Mereka itu business man yang mencari uang, sementara kami hadir di sini sebagai arsitek yang ingin membuat ruang ikonik. Jadi mereka nggak akan bisa mengejar kami, itu sekarang ya, tapi setelah 5 tahun sebelum mereka melihat sepak terjang kami lalu mengikuti caranya dengan mengambil arsitek top lainnya. Itu mungkin. Tapi saya perkirakan 3 sampai 5 tahun peluang masih besar buat kami, karena belum banyak developer yang melakukan hal itu,” ucapnya.
Egha berharap Delution bisa terus tumbuh tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga mendunia. “Sambil berjalan kami juga terus akan mengedukasi bahwa bayar arsitek itu nggak tentu mahal, tetapi membangun well known brand architect juga. Paling tidak goal kami selanjutnya adalah tahun 2026 kami mesti goes international,” ucapnya berharap.
“Pesan saya buat arsitektur muda lainnya jangan menyerah meskipun lingkungan di sini belum mendukung kehadiran arsitek muda. Tapi terus cari jalan, fokus dan jangan lupa ikuti passion sama jangan terbuai sama duit. Karena kalau sudah terbuai duit pasti idealismenya sudah lenyap,” tutupnya.
=================
Muhammad Egha
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta 7 Desember 1990
- Pendidikan : S1 Arsitektur, Universitas Bina Nusantara Jakarta
- Jenis Bisnis : perusahaan arsitektur Delution Enterprise dan Vortiland
- Jabatan : Co-Founder & CEO
- Jumlah Tim : Lebih dari 100 orang karyawan
- Mulai Usaha : Tahun 2013
- Modal Awal : sekitar Rp 30 juta
- Revenue : Rp 60 miliar – Rp 100 miliar setahun
Prestasi :
- Special Mention German Design Award 2016 yang diadakan German Design Council di Frankfurt.
- Best Design of The Year for Corporate Small Space kategori yang diadakan Asosiasi Desain Interior Internasional di Hongkong.
- Finalis 2A Asia Architecture Awards yang diadakan 2A Magazine di Istanbul
================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post