youngster.id - Era teknologi belakangan ini telah melahirkan profesi baru yaitu content creator. Mereka adalah para pembuat konten yang inspiratif, menghibur dan segar bagi masyarakat terutama para pengguna media sosial alias netizen. Belakangan profesi ini mulai dinaungi di bawah wadah tertentu.
Ya, awalnya profesi pembuat konten ini bersifat independen. Namun seiring berjalannya waktu, para creator ini mulai memiliki spesialisasi dan basis peminat masing-masing. Mereka menyadari semakin banyak pembuat konten kreatif ini terus bermunculan setiap hari. Untuk memenangkan hati netizen mereka dituntut untuk memiliki kreativitas dan inovasi terus menerus.
Para pelaku di industri kreatif ini membutuhkan wadah sehingga dapat terus menghasilkan karya yang terbaik. Berangkat dari itulah Muhammad Adri Imad Khadifa bersama Pampry Ananto mendirikan Bujang Rimba. Ini adalah kelompok kreatif dari Bandung yang aktif berkarya di bidang grafis dan multimedia.
“Jadi Bujang Rimba ini merupakan sebuah kelompok kreatif yang bergerak dalam pembuatan konten yang menghibur. Lahir dan hadir dari latar belakang yang memiliki hobi berkendara, berpetualang, berkarya baik di pedalaman hutan, lautan dan pesisir pantai atau kota besar di seluruh penjuru Nusantara,” ungkap Adri saat ditemui youngster.id di Grand Indonesia, Jakarta baru-baru ini.
Kelompok kreatif ini dibentuk sejak tahun 2016 dan telah menghasilkan sejumlah konten seperti typography, motion, film/video hingga musik.
“Pada dasarnya kami memang senang menyalurkan apa yang kami suka dengan cara kolektif para personil menjadikannya sebuah karya audio visual untuk masyarakat nikmati nantinya,” ujar Adri.
Keduanya mengungkapkan, berdirinya kelompok ini dimulai dari komunitas yang kerap berkumpul di Cikole, Lembang, Bandung. Kebetulan teman-teman yang ada memiliki referensi dan minat yang sama dalam menghadirkan konten kreatif.
“Kami ini terdiri dari sekelompok manusia antik yang punya banyak ide untuk disalurkan dalalm bentuk konten kreatif seperti film, ataupun karya seni yang dapat disampaikan sesuai dengan zaman ini,” tegas Adri.
Budaya Lokal
Harus diakui dengan kemajuan teknologi banyak referensi budaya anak muda lebih mengacu pada dunia luar. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa Bujang Rimba memilih untuk menggali dan mengangkat aset budaya pop asli Indonesia. Menurut mereka, Indonesia memiliki banyak kultur yang sangat bisa dijadikan sebuah tren, salah satunya kultur pop.
“Lahirnya mungkin karena dari kegelisahan kita ngelihat referensi-referensi orang, baik secara grafis, multimedia atau video. Terus desain-desain tuh arah kiblatnya sekarang udah pada ke luar (negeri) semua. Jadi sebenarnya kita punya aset pop culture di Indonesia itu kuat banget sebenarnya,” ungkap Pampry.
Menurut Pampry, Bujang Rimba memiliki aliran retro, vintage dan nostalgic. Dalam hal ini, Bujang Rimba hadir untuk menyatu-padukan hal-hal tersebut dengan isu-isu dan tema vernacular, dengan tema lokal yang up to date dan sangat relevan serta mengangkat nilai-nilai estetika masa lampau ke dalam karya seni audio visual yang menghibur dan kontekstual.
“Pastinya tidak ketinggalan juga, semua elemen estetika audio visual yang populer di era 60-an hingga 90-an dari kendaraan roda dua maupun roda empat, lagu, film, ilustrasi hingga seni tari Indonesia turut menjadi warna pada materi kontennya,” jelasnya.
Pampry mencontohkan bahwa beberapa kultur pop Indonesia yang cukup marak dan digandrungi adalah sosok-sosok seperti Rhoma Irama, Barry Prima, Benyamin, dan Komedi Warung Kopi (Warkop). Sejumlah sosok itulah yang sempat populer dan membawa nostalgia kita pada era 60 hingga 90-an.
“Visi dan misi Bujang Rimba ini hadir karena kami ingin semua budaya pop dalam negeri bisa menjadi kiblat utama dalam dunia pergaulan masa kini dan masa depan. Dengan begitu masyarakat juga lebih menghargai muatan-muatan lokal yang hadir di dunia hiburan seperti fesyen, musik, film dan karya seni lainnya,” tegas Pampry.
Di sisi lain, untuk memperkuat jawaban rekannya, Adri menuturkan secara tak langsung Bujang Rimba hadir ke tengah masyarakat bisa menjadi medium dan sebagai wadah bertukar perasaan lewat humor dan komedi.
“Yang jelas, kehadiran kami di sini ingin mengangkat budaya lokal ke ranah nasional menjadi medium utama untuk bertukar pikiran dan perasaan lewat humor dan komedi,” imbuh Adri.
Jika dilihat dari karya yang dibuat, Bujang Rimba memiliki ciri khas vintage baik dalam musik, gaya, dan fesyen. Pasalnya kelompok konten kreator lokal yang bercanda menyebut diri mereka sebagai “ormas” mempromosikan tema vintage, yang juga retro dan nostalgic pada kontek generasi kekinian.
“Bujang Rimba nyatuin hal-hal tadi sama isu-isu lokal vernakular kayak tulisan-tulisan spanduk warteg, pecel lele, di belakang truk buat dijadiin satu tema lokal besar yang relevan buat dihubungkan sama isu-isu yang kejadian sekarang. Apakah itu tadi musik, film, atau segala macem,” tutur Adri yang berperang sebagai pengarah kreatif Bujang Rimba.
Dari kelompok kecil ini akhirnya berkembang menjadi jejaring yang beranggotakan sekitar 50 ribu orang yang tersebar di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Followers tetap mereka sudah mencapai lebih dari 3.000.
Kolaborasi Hadapi Persaingan
Adri mengatakan meski banyak ditemui kompetitor di bidang yang sama. Di sini melalui pengalaman yang pernah ditemuinya langsung tak melulu melihat kompetitor dijadikan sebuah persaingan. Bahkan dari 2 hingga 3 komunitas yang sama pernah ditemuinya, justru keadaan ini digunakan Bujang Rimba melakukan kolaborasi dengan para kompetitor tersebut.
“Sebenarnya kalau bicara persaingan sudah banyak ya, soalnya ide itu bisa keluar dimana dan kapan saja. Jadi kalau ada katakanlah kompetitor gitu, yang malakukan hal serupa sebenarnya kami nggak masalah, justru malah bagus. Karena sebenarnya pesan yang kami buat selama ini bisa sampai dan tersebarkan,” katanya.
Oleh karena itu, mereka membuka ruang kolaborasi. “Jadi kami sempat kolaborasi dengn DJ, (Disc Jockey), sama band sempat kolaborasi yang sama juga dengan grup yang sama di Instagram, Youtube. Soalnya, kalau kami menganggap mereka sebagai kompetitor malah akan mempersempit ruang gerak kami sendiri juga pada akhirnya,” lanjut Adri.
Di sisi lain, alumni ITENAS in mengakui konten kreatif belum semua dapat dipahami masyarakat. Keadaan ini menjadi hambatan yang dapat dirasakan secara langsung bagi Adri dan Pampry sebagai pemilik komunitas ini. Namum demikian, Adri menyikapinya cukup berlapang dada, dan selalu memberikan karya terbaik berikutnya yang akan nanti diluncurkan ke tengah-tengah khalayak.
“Kendalanya lumayan banyak. Misalnya, ada orang yang ketika melihat konten video yang kami buat tidak dapat menangkapnya, bahkan sampai nggak suka begitu. Sebenarnya, halangan besarnya itu saja, ada beberapa yang nanya ketika mereka melihat hasil video: ini video apa ya, kayak nggak jelas gini. Namun pada akhirnya kami juga akan memakasakan semua orang yang nggak mau tahu, ya nggak apa-apa. Karena kami membuat ini untuk memberikan kepada kawan-kawan yang memang suka,” cerita Adri.
Alhasil, Bujang Rimba sudah mulai mendapatkan penghasilan. Meski demikian, Adri menegaskan bahwa kelompok ini tetap non profit.
“Karena kami awal muncul dengan pergerakan non profit, karena banyak kolaborasi-kolaborasi sebelumnya juga non profit. Kalaupun itu ada fee, paling untuk menggantikan uang makan, transport semacam itu. Sebenarnya model bisnis kami ini belum ada, dan belum terlalu kepikiran ya buat ini menjadi sebuah bisnis. Karena pada dasarnya Bujang Rimba ini adalah sebuah komunitas kreatif yang kami bangun untuk mengangkat kultur. Bisa jadi kalau bisnis hanya sebagai bonus dari tujuannya si Bujang Rimba,” ucapnya.
Menurut Adri, sesungguhnya untuk membuat konten video ada budget-nya. Dan hingga saat ini mereka sudah memproduksi 12 video pendek, dua video panjang dan rangkaian di Instagram stories. Di Instagram mereka sudah mencapai 12 ribu viewer, dan follower lebih dari 3.000.
Adri mengaku bersyukur, ditengah gempuran dan tekanan persaingan Bujang Rimba tetap bertahan. Untuk meningkatkan langkahnya di bisnis non profit ini ia dan rekannya siap melakukan hal konyol guna membeli follower yang ditujukan mendapat salah satu fitur agar konten kreatif yang disuguhkan oleh Bujang Rimba bisa lebih dikenal oleh khalayak ramai.
“Balik lagi ke semangat bahwa kami ini organik, tapi Alhamdulillah-nya semua follower ini aktif kalau kami up date story, up date Instagram, engagement tinggi,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut dia, untuk pengembangan lain pihaknya ingin membuat line up produk dari sisi Bujang Rimba. Di antara karya berupa kaos yang bakal jadi lini baru dari si Bujang Rimba.
“Terus kalau bisnis muluk-muluknya nanti, di beberapa tahun ke depan bisa saja kami menjadi sebuah Production House (PH). Jadi kalau sekarang ini kami lebih ngebentuk komunitasnya dulu. Harapannya bisa tetap hadir, relevan bisa tetap menghibur baik kami sendiri maupun yang melihat,” pungkas Adri.
===================================
Muhammad Adri Imad Khadifa
- Tempat Tanggal Lahir : Bandung 16 September 1992
- Pendidikan : S1, Design Komunikasi Visual Itenas Bandung
- Nama Komunitas : Bujang Rimba
- Jumlah tim : 10 orang
- Member : 50 ribu (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta)
- Follower aktif : 3000 lebih
Pampry Ananto
- Pendidikan : S1 Design Visual Itenas Bandung
- Anak ke : satu
- Hobi : motorcycle, design, sport
======================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post