youngster.id - Kemiskinan masih menjadi bagian dari lingkaran setan masyarakat di Indonesia. Orang miskin ini tidak mendapat makan yang cukup dan pendidikan yang baik. Dan, dalam isu kemiskinan ini perempuan adalah salah satu sumber diskriminasi.
Lingkaran kemiskinan sepertinya sudah menjadi benang kusut yang sangat susah untuk diurai. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), di tahun 2016 tercatat 13,31% anak di Indonesia hidup dalam belenggu kemiskinan.
Hasil survei yang dirilis BPS tahun 2016 berjudul “Analisis Kemiskinan Makro” menyebut ada hubungan antara kemikinan anak dengan orang tua, terutama ibu. Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan perempuan dinilai merupakan salah satu jalan untuk mengentaskan kemiskinan.
Hal ini juga yang diyakini oleh Azalea Ayuningtyas, co-founder dan CEO Du’Anyam. Perempuan yang lama bermukim di Amerika itu merasa tergerak setelah melihat masalah malnutrisi yang diidap para ibu dan anak-anak di Flores. Alih-alih memberi bantuan berupa makanan, dia memutuskan untuk mendirikan wirausaha sosial dengan nama Du’Anyam.
“Saya yakin jika ibu miskin maka anak akan kurang gizi dan berujung pada kemiskinan lagi. Mata rantai ini harus diputuskan. Salah satunya dengan memberi akses ekonomi kepada para ibu. Oleh karena itu, kami menggandeng para ibu di Flores untuk sama-sama membangun bisnis lewat kegiatan menganyam,” ungkap gadis yang akrab disapa Ayu itu kepada Youngster.id.
Bertekad untuk memberdayakan kaum ibu itulah, Ayu pun memutuskan meninggalkan pekerjaan yang sudah mapan di Amerika Serikat. Ia pulang ke Tanah Air, dan mendirikan Du’Anyam.
“Perusahaan ini berkonsep social entrepreneur karena kami tidak ingin sekadar memberikan ‘ikan’ tetapi ‘kail’. Karena dengan memiliki keterampilan, maka para ibu itu dapat membantu dirinya sendiri untuk mandiri secara ekonomi,” jelas Ayu.
Kini lewat Du’Anyam, sudah ada 450 perempuan yang ada di 17 desa di Flores menghasilkan produk kerajinan berupa tas, sepatu, dan beragam suvenir serta produk kerajinan berbahan daun lontar lain. Produk ini lalu dipasarkan ke sejumlah hotel dan resort di Bali. Bahkan, kini permintaan juga datang dari Jepang, Amerika, Korea, dan Australia.
“Yang paling membanggakan, lewat usaha kami ini telah memberi dampak besar terhadap kaum perempuan yang ada di sana. Jika awalnya mereka hidup hanya bergantung dari penghasilan suami, tidak punya uang tunai dan terus terlilit hutang. Kini mereka bisa membantu perekonomian keluarga dan mandiri secara finansial dan jadi lebih percaya diri,” ungkap Ayu bangga.
Belum lama ini Du’Anyam mendapatkan dana hibah dari DBS Foundation. Ini membuat Ayu dan kawan-kawan siap melebarkan sayap ke daerah lain di Indonesia. “Kami ingin menjadi Rumah Anyaman bagi Indonesia. Dengan demikian kami dapat memberdayakan banyak kaum ibu sekaligus tetap dapat menghasilkan produk kerajinan anyaman dengan ciri khas bahan dan desain tradisional Indonesia,” kata Ayu.
Tinggalkan Kemapanan
Usaha Du’Anyam ini dibangun Ayu bersama dua sahabatnya Hanna Keraf dan Melia Winata pada November 2014. Nama Du’Anyam itu berasal dari bahasa Sika yang artinya, Anyaman Ibu. Sebelum ini, lulusan Biologi Molekuler di University of Michigan AS ini telah bekerja di sebuah perusahaan di Boston dengan penghasilan yang lebih dari cukup.
Namun panggilan untuk dapat memberikan sesuatu yang berdampak bagi kehidupan masyarakat terlalu kuat. Ayu mengaku, keinginan itu semakin menggebu setelah ia melakukan riset lapangan di Mumbai, India. “Di sana saya sempat bertemu seorang ibu yang bilang sudah sering tempat tinggal mereka diteliti tetapi tidak ada dampak apa-apa bagi kehidupan mereka. Dan itu sangat berbekas dalam pikiran saya,” ungkapnya.
Semenjak itu, Ayu bertekad untuk dapat melakukan sesuatu yang benar-benar berdampak bagi kehidupan masyarakat terutama di tanah kelahirannya Indonesia. Gayung bersambut ide, sahabatnya Hanna dan Melia punya pemikiran yang sama. Dan pilhan mereka tertuju pada Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kami beberapa kali ke sana dan melihat bahwa banyak sekali anak-anak kurang gizi di sana. Dan untuk dapat menolong itu yang harus disentuh pertama kali adalah ibu mereka. Dari sanalah kami terpikir untuk mendirikan usaha yang dapat menolong kaum ibu itu,” kisahnya.
Keputusan itulah yang membuat dia meninggalkan pekerjaan dan kembali ke Tanah Air. Tentu saja, awalnya kedua orang tua sempat kurang mendukung, terutama sang ayah. “Saya akhirnya dapat meyakinkan mereka bahwa yang saya lakukan ini tepat dan berdampak bagi masyarakat luas,” ujar Ayu.
Menurut Ayu, sebenarnya Du’Anyam adalah perwujudan dari keinginan enam orang temannya untuk membangun kewirausahaan sosial di Flores. Bahkan modal awal dari Du’Anyam berasal dari patungan bersama. “Sebenarnya kami tidak sendiri, tetapi bertujuh yang semua adalah teman yang memiliki visi yang sama. Namun sebagai penggerak utama adalah kami bertiga,” imbuhnya.
Selain itu, Du’Anyam membiayai aktivitasnya pendanaan jangka pendek dari hasil memenangkan berbagai kompetisi kewirausahaan sosial, seperti MIT Global Ideas Challenge 2014, UnLtd Indonesia Incubation profram 2014-2016, Global Social Venture Competition 2015, serta dana hibah dari Tanoto Foundation.
Rumah Anyaman
Mengapa anyaman? Menurut Ayu, karena mereka melihat hampir semua produk rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat di daerah NTT terbuat dari anyaman lontar. Dan produk ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika dikelola dengan baik. “Sesungguhnya sebelum mengenal peralatan modern, seperti plastic, para ibu di NTT sudah terbiasa membuat sendiri peralatan rumah tangga dari anyaman lontar. Namun, mereka tidak paham nilai lebih dari produk itu sehingga lama-kelamaan menggantinya dengan plastik,” kata Ayu.
Usaha ini awalnya mereka mulai di Desa Duntana, Kabupaten Flores Timur. Menurut Ayu, mereka mulai dari mengetuk pintu satu per satu untuk mengajak para ibu bergabung. “Awalnya kami sempat juga mengalami penolakan, karena mereka belum paham manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan ini. Bahkan ada yang suaminya melarang istrinya untuk menganyam dan mengacam akan membakar hasilnya,” kisahnya.
Selain itu, Ayu mengakui medan yang ditempuh juga cukup menyulitkan, karena berjarak sekitar 40 km dari kota Larantuka. “Bahkan, saya beberapa kali jatuh dari motor saat ke desa,” kenang Ayu sambil tersenyum.
Namun semua itu menambah semangat dia dan teman-temannya untuk bekerja. Dan hasilnya menggembirakan. “Setelah penjualan pertama kami di bulan September 2015, peningkatan ekonomi ibu dan wanita cukup meningkat. Dari yang sebelumnya hanya bertani dengan pendapatan per tahun sekitar 6-8 juta, kini para ibu dan wanita bisa mendapat kenaikan pendapatan hingga 40%,” tuturnya.
Melihat hal itu, semangat para ibu juga semakin kuat. Bahkan, izin dari suami akhirnya keluar. Hal ini juga menarik perhatian dari generasi muda. Jika di awal hanya ada 16 ibu-ibu pertama yang bergabung, hampir semuanya menginjak usia 40 tahun ke atas. Kini para perempuan muda pun ikut serta.
“Semakin banyak perempuan muda yang ikut, walaupun mereka tidak bisa menganyam. Kami ajarkan keahlian dasar ke mereka. Selain memberdayakan perempuan, dengan ini kami dapat membantu pelestarian budaya,” ucap Ayu penuh semangat.
Ia melajutkan ceritanya. Perubahan lain yang dilihat seiring berjalannya Du’Anyam adalah perilaku para ibu yang kini mulai berubah. Mereka mulai berani bersuara, karena sudah bisa lebih mandiri. Mendapat penghasilan lebih.
“Kami lihat dari beberapa kasus, ibu-ibu kita sekarang jadi lebih percaya diri, lebih bisa mengambil keputusan untuk anak-anaknya, yang sebelumnya dipegang penuh oleh suaminya. Weaving a better generation,” sambungnya.
Kini Du’Anyam telah membina kurang lebih 450 ibu dan wanita penganyam dari 17 desa di NTT. Tentunya angka tersebut buah keringat mereka selama 4 tahun terakhir.
Di tahun 2018, Du’Anyam terus mengembangkan usaha. Di lini produksi, Du’Anyam memiliki dua wilayah. Pertama di NTT sebagai pusat pengolahan raw material, kemudian Jakarta sebagai kantor utama dan tempat workshop. Bahan setengah jadi berupa hasil anyaman dikirim ke Jakarta untuk diolah menjadi ragam produk, seperti tas, souvenir, dan produk kerajinan lain berbahan daun lontar.
Dari segi desain, meski menggunakan bahan alami, namun produk yang dihasilkan Du’ Anyam bergaya modern dan tidak ketinggalan zaman. Hal ini juga berkat masukan dari tim Du’Anyam pada para ibu penganyam.
Ayu menambahkan, bahwa Du’Anyam tak ingin dikenal semata karena menjual kemiskinan dari NTT. “Kami ingin Du’Anyam dikenal karena memang kualitas dan desain produknya yang bagus,” tegasnya.
Mereka juga melakukan kerja sama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melebarkan sayap ke Kalimantan Timur dan Papua. “Fokus kami tetap memberdayakan perempuan, terutama kaum ibu. Dan kami berharap akan dapat mengembangkan Rumah Anyam di seluruh Indonesia,” pungkas Ayu.
=====================================
Azalea Ayuningtyas
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 15 November 1989
- Pendidikan Terakhir : Program Kesehatan Masyarkat University of Harvard AS
- Usaha : PT Karya Dua Anyam
- Mulai Usaha : November 2014
- Modal Awal : sekitar Rp 200 juta
- Jumlah Pengrajin : hingga Februari 2018 mencapai 450 orang pengrajin, yang tersebar di 17 desa
Prestasi :
- DBS Foundation 2017
- Global Social Venture Competition 2015,
- MIT Global Ideas Challenge 2014,
- UnLtd Indonesia Incubation profram 2014-2016,
- Tanoto Foundation
===================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post