youngster.id - Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bergerak di bidang pertanian. Hal ini mendorong sejumlah startup untuk mengembangkan bisnis pertanian. Tak hanya berbisnis, mereka juga meningkatkan kesejahteraan para petani.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 37,77 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, lebih besar dari sektor-sektor bisnis lainnya. Potensi ini melahirkan startup yang membuat aplikasi untuk bisnis pertanian. Aplikasi ini beragam, mulai dari memberikan informasi harga produk pertanian, atau mendapatkan produk pertanian berkualitas. Di sisi lain, startup dan aplikasi ini juga memberikan informasi bagi petani cara bercocok tanam hingga solusi masalah pertanian.
Salah satunya adalah PanenID yang didirikan oleh Johannes Dwi Cahyo Kristanto bersama rekan-rekannya. PanenID adalah sebuah platform website dan aplikasi mobile direct trading untuk petani. Lewat aplikasi ini petani dapat menjual produk pertanian secara langsung kepada pengguna yang terdiri dari jaringan hotel, restoran dan catering (Horeca) di Denpasar, Bali.
“Aplikasi ini menjawab persoalan petani selalu miskin gara-gara jalur distribusi yang buruk. Selain itu, terdapat ketimpangan harga di pasar. Lewat platform PanenID, petani dapat berjumpa langsung dengan para konsumennya,” ungkap pria yang akrab disapa Joe kepada Youngsters.id. Dia didampngi rekannya Astrid J. Stepahnie yang bertindak sebagai CEO PanenID.
Startup asal Bali yang mencoba meredefinisi alur supply chain B2B dengan memperbaiki jalur distribusi tradisional. Bahkan, kehadiran PanenID diharapkan dapat membantu petani mulai dari perencanaan panen, menentukan komoditas yang dibutuhkan pasar, serta waktu terbaik untuk panen.
“Selain untuk men-trading direct para petani, platform ini semacam soscial impact bisnis. Jadi kami ingin membantu para petani agar bisa menghasilkan dengan benar. Caranya dengan kami memotong jalur distribusinya. Kami juga menguatkan di logistiknya. Sehingga petani bisa menyediakan barangnya dengan kualitas dan kuantitas bagus kurang lebih seperti itu,” jelasnya.
Platform ini memang baru berdiri pada awal 2017. Namun PanenID sudah bekerjasama dengan 120 petani di daerah Petang dan Pancasari, Bali. Platform ini juga bekerjasama dengan instansi pemerintah daerah terkait sehingga dapat membangun fitur direct trading, peta persebaran komoditas, dan fitur rantai distribusi yang efisien bagi para petani di Pulau Dewata.
Dengan platform yang menarik dan kepercayaan, PanenID berhasil membangun jaringan distribusi ke sejumlah hotel, restoran, café dan catering (horeca) di Bali. “Sejauh ini apa yang kami jalani berjalan baik, turning stabil dan sekarang mau scale up,” ujar Joe.
Semua ini baru awal dari perjalanan panjang dari startup yang berpusat di Denpasar, Bali itu. Joe bersyukur, selama 8 bulan mendirikan usahanya itu peran pemerintah setempat sangat besar dalam mendukung usahanya itu. Termasuk ketika memilih petani, dirinya tak menemui kesulitan untuk mendapatkan produk yang akan dijual pada konsumen PanenID.
“Buat industri Horeca Bali itu besar sekali, nomor dua setelah Bandung. Sekarang jumlah konsumen dari hotel dan restoran ada 35. Targetnya di Bali 5700. Jadi masih gede banget pasarnya. Dan, 5700 itu baru hotel, belum lain-lainnya, “ ungkapnya.
Edukasi Petani
Joe membangun startup ini di Bali dengan modal awal dari angels investor sekitar US$ 25 ribu. Meski demikian, Joe dan Astrid mengaku mereka mengalami sejumlah rintangan dalam mewujudkan platform berbasis pertanian ini.
Kesulitan pertama adalah untuk mendekati para petani. Apalagi yang mereka tawarkan adalah platform teknologi. Sesuatu yang masih belum lazim dikenal para petani. Bahkan masih banyak petani yang kurang familiar menggunakan ponsel pintar alias smarphone.
“Karena ini berkaitan dengan teknologi, pendekatan sosialnya yaitu, kami perlahan harus mengedukasi kepada petani dengan mengenalkan penggunaan smartphone kepada mereka. Sebab meski mereka sudah pakai ponsel android, cuma mereka gunakan untuk menelpon dan mendengarkan lagu. Jadi awalnya memang benar-benar susah banget bagi mereka (petani) untuk reporting aplikasi ini,” ungkapnya sambil tertawa.
Namun alumni teknologi agrikultur Universitas Gajah Mada ini tidak berputus asa. Dia terus melakukan pendekatan, mulai dari mengenalkan cara menggunakan chat lewat aplikasi Whatsapp. Perlahan ditingkatkan. “Setelah kami ajarkan pelan-pelan, dan dalam 8 bulan akhirnya mereka sudah bisa pakai WA dan melakukan reporting dengan aplikasi yang ada di dalamnya. Itu masuk sebagai prestasi besar bagi kami,” sambung Joe.
Bahkan PanenID mulai menerapkan chatbot. “Sekarang sedang tren dengan chatbot, kami pun memperkenalkan hal itu kepada para petani dan menunjukkan kemudahan apa saja yang dapat mereka lakukan lewat chatbot terutama untuk berkomunikasi dengan para pelanggan mereka,” katanya lagi.
Menurut Joe, kelebihan lain dari platform yang dibangunnya ini, selain menguntungkan para petani, juga para petani bisa mendapatkan sistem perdagangan yang fair. Termasuk dalam masalah harga.
“Ini kelebihan kami, karena kami fair kepada petani termasuk soal harga. Kami menyebutnya sebagai fair trading, bahkan kami bantu menghitung biaya petani. Misalnya dengan luas satu hektar tanah itu akan jadi tomat berapa, tomat berapa itu akan ada berapa grade, dan tomat itu bisa dijual dengan harga berapa supaya mereka dapat keuntungan berapa. Jadi kami ajarkan sampai ke situ ke para petani. Dan cara ini membuat mereka senang, karena kami bisa memberikan mereka harga yang stabil dan membuat mereka pasti untung,” papar Joe, yang bertindak sebagai CTO di PanenID.
Selama ini petani selalu berada pada posisi tawar rendah. Pasalnya produk pertanian mereka sudah diincar para tengkulak yang akan dibeli dengan harga murah, alias harga super rugi. ”Mereka senang menjual ke kami, karena kalau mereka menjual barangnya sama kami, petani itu yakin bakal mendapat untung dan ongkos produksinya sudah pasti ketutup,” ujarnya.
Diklaim Joe, saat ini omzet PanenID sudah mencapai Rp 100 juta per bulan. Dan, lewat platform PanenID rata-rata petani bisa mendapatkan untung 10% hingga 20%, jauh di atas harga yang ditawarkan tengkulak.
”Aku berani menjamin dengan PanenID petani pasti untung. Apalagi kami dapat menentukan kepada para petani berapa banyak tanaman yang akan dia tanam dan berapa hasilnya, sehingga mereka pasti mendapat untung. Biaya produksi mereka bisa ketutup. Sementara dari sisi kkonsumen juga akan mendapatkan harga 10% sampai 20% lebih rendah dari harga pasar,” jelasnya.
Pendanaan Dari VC
Hanya saja, dengan sistem pembelian semacam ini PanenID membutuhkan modal yang tidak sedikit. Dan hal ini diakui Joe sebagai hambatan startup mereka untuk berkembang. Dia memperkirakan, saat ini PanenID membutuhkan investasi US$ 300 ribu.
“Sebagai platform yang bisnisnya fokus pada B2B, modal menjadi hambatan utama dalam pengembangan bisnis ini. Karena kami harus membayar ke petani langsung dan tunai, dan jika dana tidak ada kami jadi sedikit menunda pembayaran ke petani. Tapi tetap kami selalu utamakan untuk selalu bayar ke petani lebih dulu dan kami menahan uang kami sendiri dengan bayaran yang kami terima dari partner B2B kami lunas. Ini yang menjadi hambatan kami,” ungkapnya.
Pria kelahiran Kendal, 22 Januari 1989 ini berusaha mencari solusi dari permasalahan. Caranya, bermitra dengan para pedagang di pasar supplier. “Kami berusaha menggandeng dan bekerja sama dengan para supplier dan membangun kesadaran mereka untuk mengambil produk dari petani dengan cara yang benar termasuk perhitungan profit yang baik kepada para petani. Dengan demikian mereka bisa mendapatkan produk yang berkualitas dan lebih cepat,” ungkapnya.
Selain itu mereka juga bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. “Kami berhubungan dengan para aparat pemerintah setempat dan kami ada link dan kami beruntung sekali mereka mau mengantarkan langsung ke petani. Jadi mulai saat itu, kami langsung memilih petaninya di daerah ini karena kami jualan hanya fresh product, sayuran yang benar-benar fresh,” jelas Joe.
Belakangan, startup ini juga gencar mengikuti pitching yang digelar sejumlah pemodal ventura. Mereka berhasil mendapatkan tiket Wildcard kompetisi Startup World Cup 2018 dengan hadiah US$ 1 juta. Terbaru, PanenID terpilih masuk program GnB accelerator yang digelar oleh Fenox VC dan Infocom Corporation.
Joe berharap platform yang mereka kembangkan ini dapat juga dikembangkan di daerah lain. Dia mengaku sudah mendapat tawaran dari beberapa investor untuk menerapkan platform PanenID di Yogyakarta dan Bandung. Namun dia mengaku belum membuat keputusan karena masih akan memokuskan usaha di Bali.
“Kami mau kuat di Bali dulu dengan benar dan teruji supaya petani dapat social impact dari kami. Jika semua itu sudah tercapai baru bisa terima tawaran kerjasama tersebut,” ujarnya.
Di atas semua itu, Joe melalui PanenID ini berharap bahwa petani menjadi pekerjaan yang membanggakan. “Kepinginnya anak petani bangga dengan pekerjaan bapaknya. Dan bapaknya bangga jadi petani karena bisa bisa membawa pulang penghasilan yang besar,” pungkas Joe.
==========================================
Johannes Dwi Cahyo Kristanto
- Tempat Tanggal Lahir : Kendal 22 Januari 1989
- Pendidikan Terakhir : S1 Agriculture Technology, UGM
- Nama Usaha : PanenID
- Mulai Usaha : Januari 2017
- Jabatan : Founder & CTO PanenID
- Modal Awal : (US$ 25 ribu)
- Investment : US$ 300 ribu
- Omset : Rp 100 juta/bulan
- Jumlah Tim : 5 orang
Prestasi :
- Peroleh tiket Wildcard kompetisi Startup World Cup 2018.
- Terpilih Masuk program GnB Accelerator Batch 3 2017
=============================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post