youngster.id - Komunitas tari di Jakarta telah bertumbuh dan sangat beragam dari berbagai genre. Hal itu terlihat dari gelar pementasan Jakarta Dance Meet Up (JDMU). Keberadaan kounitas ini penting untuk menumbuhkan ruang kreatif bagi anak-anak dan remaja serta seniman.
Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Hartati, mengatakan fungsi komunitas bagi masyarakat adalah tempat belajar menari, sebagai ruang berekspresi, dan industri kreatif hiburan maupun jasa.
“Forum tari seperti JDMU harus dilakukan untuk melakukan pemetaan seberapa banyak komunitas tari, sanggar, sekolah tari informal, atau grup kecil dengan genre tari ada apa saja sekarang ini,” tutur Hartati, di awal pertunjukan, Jumat (31/3/2017) di Gedung Kesenian Jakarta.
Menurut dia, selama ini komunitas tari berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada yang menghubungkannya. “Komite tari menggagas program ini sebagai cara melakukan pemetaan komunitas dan menumbuhkan minat berkarya dan saling terhubung antar komunitas. Tak tanya terhubung tapi juga belajar satu sama lain,” tambahnya lagi.
Di edisi perdana JDMU ada 6 komunitas yang berpartisipasi. Mereka adalah EKI Dance Company, Citra Art Studio, Cipta Urban TIM, Sanggar Tari Limpapeh, GIGI Art of Dance dan EE Production. Masing-masing menampilkan karya dari koreografer muda.
Seperti Koreografer Suryani dari Citra Art Studio memukau dengan koreografi Sedanau.Tak kalah aksi, tiga koreografer EKI Dance Company tampil dengan karya terbaru mereka. Takako Leen dengan Last Bow, Kresna Kurnia Wijaya dengan Ceker Geger dan Siswanto Kojack Kodrata dengan Premean Jalanan. Ketiganya juga menampilkan karya kolaborasi tari dan nyanyi, Beautiful Bots.
Kolaborasi juga dihadirkan oleh komunitas Cipta Urban TIM. Ada Gege Diaz dengan Kehidupan Masyarakat Larantuka, Aboogrey Lobubun dengan Filosofi Bermain Bola, Stenly Patty dengan Koreografi Urban Hip Hop, dan Dedi Maniakori dengan Dejavu.
Tampil juga anak-anak dari komunitas Sanggar Tari Limpapeh dengan koreografi tari Anak Sasian dibawah asuhan Putri Jingga dan Ridwan. Tak ketinggalan EE Production dengan tari karya koreografer Eyi Laser dengan Tomorrow. Dan komunitas Gigi Art Dance dengan koreografi Mi Casa, hasil Dance Lab anggota GIGI.
Anggota Komite Tari yang lain, Yola Yulfianti, mengkritisi unsur yag lebih spesifik, yakni koreografer. “Persoalan yang juga menggelisahkan adalah kurangnya kepercayaan diri bagi koreografer muda atau calon koreografer untuk mulai berani menunjukkan karyanya. Penyebabnya beragam, dari masalah klasik yaitu dana untuk membuat karya, lalu platform sebagai ruang untuk pendatang baru tanpa beban tuntutan kualitas atau judgement benar atau salah” katanya.
Dari sejumlah fenomena ini, diharapkan JDMU mampu mengambil peran yang proporsional untuk ikut memberi jalan keluar dalam labirin dunia tari ini. Setidaknya mampu memantik semua praktisi, pemangku kepentingan dalam dunia tari untuk bertemu, berkolaborasi dan bersama memajukan tari Indonesia.
STEVY WIDIA
Discussion about this post