youngster.id - Bisnis fesyen tidak lagi menjadi monopoli mereka yang punya dasar pendidikan desainer atau penjahit. Bisnis fesyen kini bisa dilakoni oleh banyak orang, terutama mereka yang mengikuti perkembangan mode dan tahu selera pasar. Tak heran jika semakin banyak brand fesyen lokal yang bermuncul.
Industri pakaian jadi dan tekstil mengalami pertumbuhan yang signifikan di awal tahun 2019. Sepanjang tiga bulan pertama (Q1) pertumbuhan industri ini tercatat paling tinggi yang mencapai 18,98%.
Capain tersebut naik signifikan dibanding periode yang sama tahun 2018 lalu yang berada di angka 7,46%, dan juga meningkat dari perolehan selama 2018 sebesar 8,73%.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan produksi industri manufaktur besar dan sedang (IMBS) pada kuartal I-2019 naik 4,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan produksi IMBS tersebut berkat sektor industri pakaian yang meroket hingga 29,19% karena melimpahnya order, terutama dari pasar ekspor.
Peningkatan ini membuat pemerintah melalui peta jalan Making Indonesia 4.0 ingin menjadikan produsen tekstil dan pakaian jadi nasional masuk jajaran lima besar dunia pada tahun 2030.
Busana siap pakai (ready to wear) merupakan salah satu segmen mode fesyen yang menjadi tren terkini. Peluang ini yang ditangkap oleh Monica Amadea dengan meluncurkan brand Monomolly.
“Semua ini berawal karena hobi saya, yaitu belanja. Saya suka sekali belanja, terutama fesyen. Karena itu saya membangun bisnis juga di bidang fesyen, karena sesuai dengan passion saya. Dan hingga kini bisnis ini telah berjalan selama tiga tahun melalui jalur online dan offline,” ungkap Monica saat ditemui youngster.id di acara Exabytes e-Commerce Conference di Jakarta.
Berbeda dengan bisnis fesyen lain, Monica menggaet konsumen dengan fokus menggunakan platform media sosial Instragram dan toko online. “Kami melihat permintaan dan kebutuhan pasar melalui media sosial cukup tinggi. Karena itu, kami memutuskan untuk konsisten menggunakan jalur pemasaran ini,” ujar Monica.
Tercatat, di akun Instagram monomolly sudah ada sekitar 164 ribu followers. Dari sanalah, Monica memanfaatkan interaksi online bersama para konsumennya. Ia mengatakan, sering kali konsumen melakukan konsultasi dan meminta tips kepada timnya mengenai produk pakaian mana yang cocok dengan bentuk tubuh mereka.
Melalui interaksi itu, menurutnya, tim perusahaan juga bisa menilai produk apa saja yang bisa menjawab kebutuhan konsumen. Dengan begitu, Monomolly dapat mengeluarkan produk-produk fesyen yang sesuai dengan permintaan pasar untuk mendorong bisnisnya. “Biasanya penjualan kami akan lebih tinggi daripada produk yang hanya tren sesaat saja, dan itu juga tidak akan menyelesaikan permasalahan si konsumen,” ujarnya.
Hobi Belanja
Sebagai perempuan muda Monica mengaku dirinya sangat suka belanja produk fesyen. Kegemaran ini terus berlanjut ketika dia harus pindah dari Jakarta ke Bandung untuk berkuliah di Universitas Katolik Parahyangan. Namun sebagai mahasiswa perantauan, dia sadar bahwa hobinya ini harus dapat dikendalikan.
“Saat itu kebetulan uang kiriman orang tua saya terbatas. Sementara saya termasuk orang yang boros dan hobi belanja. Dari itu saya mulai berpikir bagaimana bisa mendapatkan uang untuk belanja tanpa kekurangan untuk kebutuhan yang lain,” kisahnya sambil tertawa.
Dia memutuskan untuk mulai menjual produk fesyen. Keputusan itu terbilang cukup nekat mengingat Monica saat itu baru semester 6. Namun dia punya keyakinan bahwa usaha ini yang paling tepat bagi dirinya. Apalagi dia sempat menjadi admin sebuah usaha online milik temannya yang omzetnya bisa mencapai Rp 25 juta per bulan.
“Saya sadar kalau saya itu punya sense of fashion yang cukup. Saya cukup mengikuti selera fesyen terbaru. Apalagi saya sudah mulai belajar bagaimana berjualan online. Jadi kenapa nggak saya terjun ke bisnis fesyen?,” ujarnya.
Menurut Monica, selain menggunakan uang tabungannya, dia juga mendapat modal pinjaman dari orang tua. Dengan modal sekitar Rp 2 juta, Monica membuka cloting line di Instagram yang diberi nama Monomolly di tahun 2017.
Nama Monomolly itu sendiri awalnya muncul karena Monica ingin memiliki nama yang sepertinya mudah disebut dan diingat, walau tidak memiliki arti yang begitu besar. Tetapi kepada dirinya sebagai owner terdapat filosofi sendiri. ‘Mono’ yang berarti monokrom, dan bisa sama menjadi arti dari Monica itu sendiri, sedangkan molly hanya sebuah tambahan agar namanya terlihat lebih catchy.
“Saya cari nama yang mirip inisial nama saya, sedang selebihnya tidak ada arti khusus,” ungkapnya.
Awalnya, Monica menjual produk yang dia beli dari orang lain, seperti topi Sabrina dan celana kulot. Ternyata produk yang dia tawarkan menarik perhatian banyak orang, sehingga permintaan pun terus meningkat. Dari sanalah, setelah setahun berjalan, akhirnya gadis kelahiran Jakarta itu memutuskan untuk memproduksi busana siap pakai, yaitu atasan dan bawahan.
Menariknya, Monica mengaku ketika di awal dia tidak berani menawarkan produk ke teman-teman kampus. “Saya tidak mau dikira memanfaatkan teman-teman untuk berjualan,” ujarnya sambil tertawa.
Baru setelah produk Monomolly menjadi hits di Instagram, usaha pun Monica diketahui teman-temannya. Apalagi dia kerap menggunakan sejumlah artis untuk endorse produk-produknya.
Interaksi
Sebagai pebisnis di bidang fesyen Monica mengaku jatuh bangun membangun brand tersebut. Apalagi dia tidak memiliki dasar ilmu sebagai perancang busana. “Saya sampai saat ini masih terus belajar tentang tren fesyen di pasar. Karena kadang tidak semua yang kami kira bakal booming akan terjadi sesuai rencana,” ungkapnya.
Monica mengaku proses membangun brand ini sempat membuat dia tertekan. Namun dia tidak mau menyerah. “Yang paling sulit itu menentukan model. Kadang aku GR (gede rasa.red) kalau model yang kami produksi bakal laku, ternyata tidak. Jadi akhirnya harus putar otak terus agar penjualan bisa naik. Jadi kalau orang melihat bahwa penjualan kami stabil, di balik itu sebagai owner stress dan pusing sendiri,” ucapnya sambil tertawa.
Dari proses belajar, gadis berwajah oriental ini akhirnya memutuskan untuk memanfaatkan interaksi online bersama para konsumennya. Ia mengatakan, sering kali konsumen melakukan konsultasi dan meminta tips kepada timnya mengenai produk pakaian mana yang cocok dengan bentuk tubuh mereka.
Melalui interaksi itu, Monica dan tim bisa menilai produk apa saja yang bisa menjawab kebutuhan konsumen. Sehingga, Monomolly dapat mengeluarkan produk-produk fesyen yang sesuai dengan permintaan pasar untuk mendorong bisnisnya. “Karena biasanya penjualan (produk kami) akan lebih tinggi daripada produk yang hanya tren sesaat saja, dan itu juga tidak akan menyelesaikan permasalahan si konsumen,” ujarnya.
Kini Monomolly rutin mengeluarkan 4 model setiap bulan dengan produksi hingga ratusan lusin, dengan rentang harga rata-rata Rp 175 ribu – Rp 300 ribu per potong. “Kami terus mengeluarkan model baru setiap minggu biar banyak pilihan, dan orang juga tidak bosan,” ujarnya. Secara keseluruhan, Monomolly mengedepankan busana yang polos, dengan gaya casual serta mix and match.
Dan, saat ini tak sekadar berjualan melalui Instagram, Monomolly juga hadir sebagai toko resmi di marketplace Shopee. Selain itu, produk ini juga hadir di gerai toko offline dari LocalStrunk di sejumlah mal terkemuka di Jakarta.
Kendati begitu, semua pencapaian itu tidak membuat Monica berpuas diri. Menurut dia, bisnis yang ditekuninya selama tiga tahun ini masih belum mantap. “Saya masih terus belajar untuk dapat meningkatkan penjualan. Kalau penetrasi pasar sudah oke, baru saya percaya diri untuk memperluas produk. Semua masih harus digodok lagi agar produk, juga kualitasnya semakin baik,” pungkasnya.
===================
Monica Amadea
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 17 Agustus 1996
- Pendidikan Terakhir : S1 Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan
- Nama Brand : Monomolly
- Mulai Usaha : 2017
- Modal Awal : sekitar Rp 2 juta
- Tim : 3 orang
- Produksi : Ratusan Lusin/bulan
==================
STEVY WIDIA
Discussion about this post