youngster.id - Bisnis food and baverage untuk sajian kopi ternyata tetap potensial. Apalagi jumlah konsumsi kopi di dalam negeri ternyata masih belum dominan. Peluang ini dilirik oleh sejumah pengusaha muda dengan mendirikan kedai kopi. Tak hanya itu mereka juga menggandeng petani lokal untuk bersama-sama memasarkan kopi.
Menurut Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), dengan estimasi jumlah penduduk pada 2016 sekitar 260 juta jiwa, maka kebutuhan kopinya setara 300.000 ton. Sementara itu, konsumsinya pada kisaran 1,15 kilogram per kapita per tahun.
Perkiraan kebutuhan kopi di dalam negeri tersebut naik sekitar 7,14% (year on year). Estimasi pada 2015 dengan penduduk 257 juta jiwa, maka permintaan berkisar 280.000 ton. Konsumsi per kapitanya di level 1,09 kilogram per kapita per tahun. AEKI juga mencatat produksi kopi pada 2016 mengalami kenaikan sekitar 20,7% menjadi 664.000 ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Hal ini juga berdampak pada usaha kopi yang mengedepankan kopi lokal. Salah satunya Juliet Coffee, kedai kopi yang berlokasi di Depok ini memiliki menu andalan kopi lokal, terutama dari Indonesia Timur seperti kopi Flores dan Bali.
“Produk kopi yang ada di kami memang kebanyakan dari daerah Indonesia Timur. Selain karena banyak pelanggan yang suka, kami melihat potensi kopi dari daerah sana sangatlah menjanjikan. Ini tak sekadar bisnis tetapi juga untuk pengembangan sumber daya manusia yang ada di sana,” ungkap Nanda Cahya Wicaksono, Cofounder Juliet Coffee kepada youngster.id saat ditemui di salah satu gerainya di Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.
Usaha Juliet Coffee ini sudah ada sejak tahun 2013. Menurut Nanda, nama Juliet Coffee dipilih untuk memberi gambaran suasana tempat ngopi yang romantis, hommy dan menyenangkan. “Selain nama itu mudah diingat orang, kami juga ingin menjadi tempat kumpul bagi anak muda, dan keluarga dengan suasana yang nyaman, romantis dan ramah bagi semua orang,” ujar yang menjabat sebagai Direktur Juliet Coffee.
Oleh karena itu, sedari awal gerai kopi ini mengedepankan konsep kafe untuk keluarga. Karenanya, produk yang disajikan tak hanya kopi tetapi juga makanan yang berupa menu lokal dan internasional.
“Yang membedakan kami dengan kafe kopi lainnya adalah di sini kami menyajikan menu minuman yang lengkap. Jadi selain kopi, kami menyediakan menu Indonesian fussions. Misalkan menunya ada Nasi Goreng dengan ikan dorry, chicken grill kuah semur. Ada juga gado-gado dan spring roll. Kebanyakan menu campuran dengan menu western. Kami juga ada minuman frape atau ice blend dari susu, cokelat dan vanila. Jadi ketika ada keluarga yang ingin mengajak anak-anaknya datang ke sini juga bisa menikmati minuman kami selain kopi,” ungkap Nanda.
Pemberdayaan Petani Lokal
Meski bisa dibilang family cafe tetapi menu kopi tetap menjadi fokus utama. Dengan begitu, kopi yang ada juga bukan sembarang kopi tetapi biji kopi yang dipasok oleh petani lokal dari sejumlah daerah di kawasan Indonesia Timur.
Ternyata kondisi ini sempat menjadi masalah bagi Nanda. Pasalnya keterbatasan suplai dari petani. Bahkan di awal-awal mulai beroperasi dirinya sempat mengalami stok kosong. Dan itu berpengaruh pada konsumen.
“Kendala terberat itu awalnya pada controlling inventory. Pernah menu kopi kosong sehingga ketika pengunjung bertanya dan jika sudah berulang kosong akhirnya mereka tidak mau order lagi,” kisahnya.
Oleh karena itu, Nanda pun memutuskan untuk bekerjasama langsung dengan petani kopi lokal. Menariknya, tak sekadar membeli, Nanda mengaku bekerjasama dengan Yayasan Citra Kasih Abadi (YCKA) mereka melakukan pemberdayaan kepada para petani lokal terutama di daerah Seram (Maluku) dan Flores (NTT). Mulai dari pelatihan mengelola pertanian modern hingga pengemasan.
Lelaki kelahiran Jakarta, 5 November 1985 ini mengaku langkah itu juga mempermudah pengusaha seperti dirinya mendapatkan produk di saat stok kopi asal Indonesia Timur menipis. “Kopi itu tergantung musim ya, kalau lagi panen bisa dibilang gampang. Tapi kalau sedang tidak panen kopi lokal jadi agak susah didapatkan. Biasanya kalau sudah begitu, kami stok,” ujarnya.
Kendala seperti ini yang membuat Nanda kerap turun lapangan dan secara langsung mendapatkan kopi dari petani.
“Dari pengalaman banyak sekali pelanggan yang menyukai kopi Bali atau Flores. Jika stoknya nggak ada mereka merasa agak kecewa. Karena itu kami juga sudah bekerjasama dengan para petani di Flores, sehingga kami dapat minta mereka untuk menyiapkan stok sebanyak 50 kg sampai 100 kg,” katanya lagi.
Awalnya tidak mudah untuk bisa menggandeng para petani. Apalagi mereka banyak yang sudah terikat dengan pedagang yang sudah memberikan tanda jadi dari awal, sehingga belum selesai panen pun kopi sudah habis.
Untuk itu dibutuhkan pendekatan sosial. Nanda bersama YCK sebagai lembaga sosialpreneur yang bergerak dalam hal pemberdayaan para petani.
“Saya pribadi bergeraknya melalui komunitas, karena kalau dari kantong sendiri belum memungkinkan. Jadi ada komunitas kopi nusantara semua isinya penggiat kopi dari yang kecil sampai yang kedai kopi yang besar rata-rata dan ada beberapa petani juga yang ikutan kerja sama. Kami memberikan edukasi kepada para petani bagaimana mengolah kopi hingga manajemen keuangan,” jelasnya.
Dengan pendekatan itu maka dirinya dapat mengatasi masalah ketersediaan stok kopi.
Segmen Pasar
Lelaki lulusan Menejemen Perhotelan ISP Internasional ini mengatakan Juliet Coffee sebelumnya telah mengategorikan segmen pasar yang akan ditujunya. Hal ini ia lakukan, agar tidak salah dalam mengambil keputusan, terutama untuk memenangi persaingan pasar di bisnis yang sama.
Menurut Nanda, perlakuan (treatment) menjadi kunci penentu kesuksesan bisnis F&B. “Makanya, selain menekankan pada harga, kami juga tetap mempertahankan kualitas. Sehingga volume yang diharapkan dapat diraih,” ungkap Nanda.
Diakui Nanda, sebagai pemain baru di bisnis F&B, pasar yang dapat dicapai belumlah besar. Oleh karena itu, dengan alasan reputasi yang selalu dijaga dengan baik, menjadi bekal dirinya melakukan branding bagi produknya untuk dikenal masyarakat luas.
“Kalau saya lebih mengkonversi lagi bahasa branding itu reputasi ya. Bagaimana menjaga produk dan mengembangkan produk yang baik, eksistensi, komitmen terhadap produk, itu semua reputasi. Jadi saat reputasi sudah bisa dibentuk, cara brand ini bersosialisasi itulah namanya promosi,” paparnya.
Pengelola Juliet Coffee juga memanfaatkan teknologi digital dengan menggandeng sejumlah platform seperti Go-Food, Gojek, hingga pembayaran digital sepeti OVO. “Kami saling berkolaborasi dan itu sangat membantu banget. Era digital ini terasa manfaatnya bagi wirausaha seperti kami,” ujar Nanda.
Kini, bisnis yang dimulai dengan modal sekitar Rp 350 juta ini mulai berkembang. Nanda mengepalai 16 orang tim. Kini Juliet Coffee dapat meraih transaksi hingga 1.000 order per bulan. Usaha ini bahkan sudah mulai meraih omset sekitar Rp 75 juta sampai Rp 80 juta per bulan.
Menurut Nanda, targetnya tahun 2019 ini pihaknya akan membuka tiga kedai Juliet Coffee di Margonda, Depok, Bandara Soekarnno Hatta, dan di Balaikota Tangerang.
“Kami berharap bisa berkembang dan berkontribusi di industri F&B Indonesia. Kami juga ingin dapat melahirkan barista-barista profesional, dengan human capitalnya yang bisa bersaing dengan brand luar nantinya,” pungkasnya.
=====================================
Nanda Cahya Wicaksono
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta 5 November 1985
- Pendidikan Terakhir : S1, Menejemen Perhotelan ISP Internasional
- Mulai Usaha : 2013
- Nama Usaha : Juliet Coffee
- Jabatan : Direktur & Cofounder
- Modal : Rp 350 juta
- Omset : Rp 75 juta – Rp 80 juta/bulan
===================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post