youngster.id - Di Indonesia, Equistrian atau lebih dikenal sebagai cabang olahraga ketangkasan berkuda memang tidak sepopuler sepak bola atau bulu tangkis. Padahal, olahraga ini memiliki banyak manfaat, termasuk untuk terapi penderita autis.
Banyak yang menilai olahraga ketangkasan berkuda ini mahal, yang hanya bisa dinikmati masyarakat kalangan menengah ke atas. Alhasil meski telah diperkenalkan sejak era 1960an, equistrian kurang begitu favorit di masyarakat Indonesia. Tak heran jika perkembangannya cukup lambat dan prestasi para atletnya pun tidak terlalu mentereng.
Padahal equestrian merupakan salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan pada tingkat internasional, seperti SEA Games, ASEAN Games dan Olimpiade. Setiap tahun lomba equestrian juga diadakan di Indonesia. Popularitas equestrian di Indonesia juga cukup menentukan perkembangan usaha peternakan kuda.
Terpanggil untuk memopulerkan equestrian, Reshwara Argya Radinal memutuskan untuk menghadirkan Djiugo. Ini adalah aplikasi yang menghadirkan informasi lengkap tentang kegiatan berkuda.
Fitur yang disediakan oleh Djiugo mencakup informasi mengenai jasa pelatih internasional, spesifikasi kuda, informasi kandang kuda (stable), sampai eko-pariwisata. Selain itu, ada sarana jual beli dan wadah berbagi pengalaman antarpenunggang. Tak hanya itu, di dalamnya juga ada informasi dari berbagai kegiatan yang terkait dengan kuda, seperti wisata berkuda hingga terapi berkuda untuk anak berkebutuhan khusus.
“Lewat Djiugo, kami ingin menghadirkan one stop window untuk memenuhi kebutuhan terkait kuda bagi atlet, penunggang profesional, atau siapapun yang tertarik dengan kuda. Lewat Djiugo kami dapat menghubungkan pengguna dengan sesama pecinta kuda dari berbagai komunitas di dunia,” ungkap pria yang akrab disapa Reshi itu kepada Youngster.id.
Bahkan, Reshi mengklaim bahwa Djiugo adalah pionir dalam hal memadukan teknologi dengan bisnis di bidang equestrian. “Belum ada bisnis serupa Djiugo baik di kawasan Asia Pasifik maupunpun Eropa. Di Belanda ada aplikasi equistrian tapi hanya sebatas klub-klub pehobi saja,” ungkapnya.
Pria yang juga merupakan atlet berkuda cabang ketangkasan ini telah menanamkan investasi hingga Rp 500 juta untuk merealisasika platform Djiugo. Menurut Reshi, hampir satu tahun dia menggodok bisnis ini dengan bekerjasama secara intensif dengan perusahaan pengembang CODEinc. Sampai akhirnya aplikasi ini diluncurkan pada awal November 2017. Aplikasi Djiugo ini bisa diunduh di App Store (iOS).
“Saya serius membuat platform ini agar dapat menjadi sumber informasi dan solusi bagi kebutuhan dan perkembangan kegiatan berkuda di Indonesia. Kam ingin dapat memenuhi semua kebutuhan terkait kuda bagi semua kalangan. Mulai dari atlet penunggang kuda profesional hingga keluarga,” tegas Reshi.
Cita-Cita dan Perjuangan
Bagi Reshi, kuda dan equistrian bukan sekadar bisnis atau hobi. Keduanya telah menjadi bagian dari hidupnya. “Sejak kecil saya sudah bergaul dengan semua hal yang berbau kuda. Waktu SD, kalau teman-teman berakhir minggu dengan bermain di mal atau ke tempat hiburan, saya malah sibuk ke kandang kuda,” ucap pria kelahiran Jakarta itu sambil tersenyum.
Putra dari pasangan Rafiq Hakim Radinal dan Nilam Paramita ini memang berasal dari keluarga pecinta olahraga berkuda. Mereka memiliki Arthayasa Stables & Country Club, salah satu kawasan penunggang kuda equestrian terbaik di Asia Tenggara. “Dari kecil cita-cita saya jadi penunggang kuda,” ujar Reshi sambil tersenyum.
Sampai kini pun dia merupakan atlet penunggang kuda (show jumping rider). Ia pernah menjuarai Federation Equestre Internationale (FEI) World Jumping Challenge.
Namun, di sisi lain, jiwa entrepreneur juga tidak bisa terpisahkan dari dirinya. “Saya orangnya kompetitif dan salalu mencari tantangan. Karena itu jadi enterprenur adalah pilihan karier saya,” katanya lagi.
Pengusaha muda yang lama tinggal di Amsterdam Belanda ini melihat bahwa keberadaan olahraga berkuda di Indonesia masih belum berkembang. Dan itu menjadi tantangan baik bagi altet, maupun pebisnis di bidang ini.
Menurut Reshi, belum berkembangnya olahraga berkuda di Indonesia karena ada stigma bahwa aktivitas berkuda adalah mahal dan ekslusif. “Mahal itu relatif. Karena olahraga ini bukan berarti harus memiliki kuda sendiri, karena sudah semakin banyak klub berkuda hingga tempat rekreasi yang mengakomodir hobi berkuda dengan biaya terjangkau,” ucapnya.
Belum adanya informasi yang terkumpul mengenai aktivitas berkuda yang mendasari Reshi mendirikan Djiugo. “Selama berkecimpung di industri berkuda, saya menemukan adanya tantangan besar untuk mendapatkan akses informasi dan layanan yang diperlukan para peminat olahraga berkuda. Dari situ, muncul ide untuk menciptakan sebuah platform yang dapat menjadi solusi untuk menjawab seluruh kebutuhan seputar dunia berkuda,” ungkapnya.
Langkah ini terbilang beresiko. Apalagi Reshi menaruh modal dengan uang tabungannya sendiri. Bahkan sang ayah sempat meragukan keputusan itu. “Saya melihat ini adalah salah satu cara untuk dapat memopulerkan olah raga berkuda ke masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian akan dapat mempengaruhi industri ini secara keseluruhan,” kata Reshi.
Beruntung Reshi mendapat dukungan dari sang istri Nabila Syakieb yang juga punya hobi sama. “Saya bilang ke istri apa dia siap dengan segala resiko bisnis ini: dia bilang siap. Jadi saya semakin yakin,” ujarnya.
Hambatan dan Target
Menurut Reshi ada dua hambatan utama dari kegiatan berkuda di Indoensia. Pertama, minimnya kuda berkualitas. Kedua, kejuaraan yang berjenjang. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan atlet.
Kehadiran aplikasi ini diharapkan dapat mengumpulkan seluruh pecinta kuda hingga orang awam untuk saling berbagi informasi sehingga dapat membentuk komunitas baru. Pasalnya, Djiugo tidak hanya mengumpulkan informasi stable atau pelatih dari dalam negeri saja, tetapi juga dari luar negeri.
Sedikit undur ke masa lalu, kuda di abad 16 sebelumnya menjadi simbol kemegahan para Raja dan dipergunakan untuk peperangan, yang pada gilirannya dijadikan untuk olahraga sebagai tontonan.
Lalu pada zaman Belanda, olahraga berkuda dikenal rakyat melalui pacuan kuda, yang dilakukan pada hari-hari pasar atau ulang tahun Ratu Belanda. Sehingga hampir setiap daerah menjadi pusat kegiatan pacuan kuda, dan dari situlah tumbuh peternakan tradisional, yang melahirkan kuda-kuda pacu lokal, yang dikenal dengan kuda Batak, kuda Padang Mangatas, kuda Priangan, kuda Sumba, kuda Minahasa dan kuda Sandel. Daerah-daerah yang dahulu dikenal mempunyai ternak-ternak kuda tradisional adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara.
Oleh karena itu, sebagai platform one stop service, Djiugo bermitra dengan banyak pihak. Termasuk dengan pihak Belanda dan lokal dalam menyediakan layanannya. Ada tiga mitra stable untuk memasilitasi transaksi jual beli kuda impor, Djiugo pun akan menyediakan jasa logistik dalam pengirimannya.
Selain itu ada 10 mitra stable di Indonesia. “Secara potensi, kurang lebih ada 200 stable di seluruh Indonesia yang dapat menjadi mitra Djiugo. Kami juga menyediakan paket perjalanan dan fotografi ke tempat-tempat berkuda di Indonesia dan luar negeri,” ungkapnya.
Selain itu, dia juga aktif mengadakan kompetisi yang terbuka untuk umum. Djiugo menyelenggarakan Djiugo Riding School Championship 2017-2018. “Kami tak menyangka animo kegiatan ini besar. Ada 260 peserta yang ikut. Itu menunjukkan makin banyaknya sekolah-sekolah berkuda yang berdiri di Indonesia. Semoga dengan kompetisi ini, akan memotivasi kemunculan bibit-bibit ungul atlet berkuda Indonesia,” Reshi penuh harap.
======================================
Reshwara Argya Radinal
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Februari 1993
- Pendidikan : Internatinal Business Administration Univerdity Twente, Holland
- Nama Usaha : Aplikasi Djiugo (PT Sajiwa Pradhana Artesnara)
- Mulai Usaha : November 2017
- Jumlah Pengguna : 120 iOS
=====================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post