youngster.id - Selama 10 tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh dua kali lipat dan kini mencapai volume US$ 932 miliar. Secara makro, perekonomian Indonesia sedang berkembang menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Namun jika dicermati, perekonomian Indonesia belum benar-benar bangkit secara merata.
Karena minimnya investasi sebelum era Jokowi, tingkat pertumbuhan belanja pemerintah per kapita di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Vietnam, China, India dan Malaysia. Hal ini mempengaruhi upaya mengurangi kemiskinan. Masih terdapat sekitar 28 juta penduduk miskin. Tingkat kemiskinan resmi adalah 10,6% pada bulan Maret, atau hanya 0,2% lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Bank Dunia mengatakan, sejumlah besar penduduk tetap rentan terhadap guncangan ekonomi. Lebih 60 juta orang berisiko jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Sementara upah bulanan rata-rata naik 24% sampai Februari tahun ini, dengan kecenderungan timpang, karena kelompok pendapatan yang lebih tinggi mengalami pertumbuhan lebih cepat daripada kelompok berpenghasilan rendah.
Kesenjangan ini juga terjadi pada level pelaku ekonomi tingkat mikro dan menengah. Pasalnya, mereka belum memiliki akses yang sama terhadap layanan keuangan. Ingin memberi solusi untuk masalah ini, Reynold Wijaya bersama rekannya Kelvin Theo membangun Modalku dan Funding Societies, sebuah perusahaan teknologi keuangan dengan fokus pada pinjam-meminjan atau peer to peer (P2P) lending.
“Kami melihat masalah terbesar di Asia adalah financial gap. Bahkan di Indonesia kondisi ini sangat besar sekali. Namun kami percaya dengan teknologi ini kesenjangan ini dapat dikurangi. Karena itu kami pun membangun fintech peer to peer ini,” kata Reynold kepada youngster.id.
Pilihan jatuh pada fintech P2P karena melihat bisnis ini sukses dilakukan di AS. Dan melihat bahwa dengan model ini mereka dapat membantu usaha kecil dan menengah (UKM) di Asia, khususnya di Indonesia untuk memperoleh modal kerja. Apalagi Reynold melihat, banyak UKM yang belum bankable. Padahal mereka memiliki prospek yang sangat bagus bila diberi kesempatan.
“Kalau bicara bisnis, semua perusahaan besar juga dimulai dari UKM. Oleh karena itu, saya ingin ada di sana. Ingin mempermudah UKM memperoleh dana, dan bisa memberi dampak yang luas bagi perekonomian di Indonesia,” tegas Reynold.
Ya, Modalku memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha kecil untuk mendapat pinjaman modal usaha tanpa agunan hingga Rp 2 miliar, dengan tenor hingga 24 bulan. Modal ini diperoleh dari para pemberi pinjaman (investor) baik individu maupun perusahaan investasi seperti Sequoia India, Alpha JWC, Golden Gate Ventures, Line Ventures, Qualgro, Mahanusa Capital hingga yang terbaru adalah dari Softbank Ventures Korea. Secara regional, ada lebih dari 60 ribu pemberi pinjaman terdaftar di Modalku, dan Funding Societies sejak mereka berdiri.
Total pendanaan terbaru yang diterima adalah sebesar US$ 25 juta atau hampir Rp 350 miliar. Ini menjadikan Modalku sebagai platform P2P lending yang meraih pendanaan seri B terbesar di Asia Tenggara.
“Dana ini akan kami gunakan untuk merealisasikan visi Modalku, yaitu ikut menciptakan inklusi keuangan di Asia Tenggara,” tegas Reynold.
Dari Ruang Bawah Tangah
Jika banyak startup di Amerika lahir dari garasi, maka Modalku lahir dari ruang bawah tanah di Harvard. Reymond berkisah, saat itu dia dan Kelvin adalah sedikit dari mahasiswa asal Asia Tenggara yang ada di kelas mereka. Oleh karena itu, mereka langsung cocok dan berteman. Apalagi cita-cita mereka sama, yakni ingin membangun bisnis yang berdampak luas di negara masing-masing.
“Kami bercita-cita untuk membangun business empire di negara kami masing-masing,” ujar Reynold.
Sesungguhnya, hal itu bukan hal yang sulit bagi keduanya. Kelvin yang bekerja sebagai konsultan keuangan di Singapura memiliki modal yang cukup untuk berbisnis. Sementara Reynold, adalah putra ketiga pasangan pengusaha Harsono Pangjaya dan Susylia Sukana pemilik dari Grup United Family.
“Latar belakang keluarga saya memang pengusaha. Jadi dari dulu saya dibesarkan di dunia wirausaha, passion saya di wirausaha,” ungkap sarjana lulusan Industrial and Operations Engineering dari University of Michigan. Namun alih-alih terjun ke bisnis keluarga, Reynold memutuskan untuk membangun “kerajaannya” sendiri.
Demi mewujudkan impian itu, Reynold dan Kevin pun membangun rencana bisnis itu di ruang bawah tanah Harvard, yang adalah perpustakaan. “Selama satu setengah tahun kami punya dua kehidupan. Siang hari kuliah, dan malam hari kami membangun rencana bisnis,” kenangnya.
Mereka kemudian membangun fintech bernama Funding Societies di Singapura. Dengan modal ide bisnis dan kepercayaan, mereka berhasil mendapatkan pendanaan awal dari pemodal ventures sebesar US$ 1 juta. Menariknya, Reynold dan Kelvin tetap bertekad untuk menyelesaikan kuliah mereka. Sehingga ada beberapa pemodal akhirnya menahan kucuran dana hingga mereka lulus.
“Tawaran pemodal itu adalah kami dropout dan melanjutkan bisnis ini. Namun kami menolak, karena menyelesaikan kuliah adalah komitmen kami pada keluarga. Jadi akhirnya kami lulus, meski dengan nilai pas-pasan,” kata Reynold sambil tertawa.
Awalnya, Funding Societies beroperasi di Singapura pada 2015. Alasannya, pasarnya sudah terbangun. Setahun kemudian barulah Reynold membawa bisnis ini ke Indonesia dengan nama Modalku. “Karena saya harus yakinkan diri dulu I can do this. Kalau sudah membuktikan diri akan lebih mudah, dibanding belum ada apa-apanya lalu masuk ke sini, itu lebih sulit. Dan walau bagaiamanapun saya orang Indonesia,” ucap Reynold.
Ia mengaku bangga bisa menghadirkan sebuah platform yang bisa mempermudah usaha kecil dan menengah (UKM) memperoleh modal kerja. Dari sisi kinerja, bisa dikatakan, bisnis besutan Reynold dan Kelvin ini bertumbuh signifikan. Di awal mulai, Funding Societies misalnya, telah menyalurkan pinjaman sebanyak US$ 5 juta atau sekitar Rp 48,2 miliar dengan tingkat pembayaran 100% atau NPL 0%. Begitu pun Modalku, yang baru berjalan tiga bulan, tercatat telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp 2,1 miliar kepada 10 peminjam.
Pada Januari 2017 Modaku meluncurkan Modalku Dana Usaha, aplikasi mobile untuk pinjaman modal usaha pertama di Indonesia. Pada bulan Juli 2017, Modalku meluncurkan Modalku Investasi, yakni aplikasi bagi pemberi pinjaman. Bahkan, aplikasi Modalku memiliki fitur pendanaan otomatis, dimana pemberi pinjaman dapat mendanai pinjaman UMKM sesuai preferensi, mulai dari tingkat pengembalian, jangka pinjaman, dan alokasi per pinjaman.
Para investor, menurutnya, tak perlu ragu menginvestasikan uangnya di Modalku. Sebab, para peminjam telah melalui proses seleksi yang panjang, mencakup lima tahap, baik online maupun offline. Peminjam harus melewati verifikasi aplikasi, profile screening, verifikasi antifraud dengan cara melakukan site visit, psychometric testing untuk mengetahui psikologi atau karakter peminjam, hingga evaluasi bisnis dan keuangan. “Karena, bagaimanapun, ini merupakan bisnis kepercayaan. Peminjam yang memiliki risiko bisnis sangat tinggi, tidak akan kami terima,” Reynold menambahkan.
Di Modalku, ia melakukan monetisasi bisnis dengan membebankan fee atas setiap kesepakatan nilai yang rampung. Besarannya 3%-4% untuk pemberi pinjaman, dan 3% untuk peminjam. Adapun jumlah pinjaman yang dapat diminta oleh peminjam berkisar Rp 50 – 500 juta dengan tenor 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan. Bunganya 15% – 20% per tahun. Pemberi pinjaman bebas menaruh uangnya di UKM yang mereka anggap menarik. “Tapi untuk mengurangi risiko, kami sarankan melakukan diversifikasi portofolio,” ujarnya.
Alternatif Baru
Setelah dua tahun berjalan, secara kolektif, Modalku telah berhasil mencapai total pencairan pinjaman modal usaha lebih dari Rp 1,4 Triliun bagi lebih dari 3.000 pinjaman UMKM dengan wilayah jangkauan adalah Jabodetabek, Bandung dan Surabaya. “Bisnis ini berdiri bukan karena faktor uang. Kami ingin membuat sesuatu yang baru, juga bukan karena teknologi semata, tapi ada impact-nya. Kami percaya, kalau ingin memiliki bisnis yang ber-impact di bidang keuangan harus fintech, sebagai alternatif baru,” ungkapnya.
Data OJK menunjukkan bahwa kebutuhan kredit bagi UMKM Indonesia sebesar Rp 1.700 triliun per tahun. Saat ini, lembaga keuangan yang ada hanya dapat memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut. Dengan begitu, setiap tahunnya ada kekurangan pendanaaan bagi UMKM sebesar lebih dari Rp 988 triliun. “Modalku dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan untuk mendukung inklusi finansial serta memajukan eknomi Indonesia,” ucap Reynold.
Data terakhir OJK menunjukkan bahwa di Indonesia pendanaan gotong royong online atau P2P lending telah memberikan kontribusi sebesar lebih dari Rp 2,5 triliun, termasuk dari Modalku, sepanjang tahun 2017.
Menurut Reynold, ini adalah kontribusi yang baik bagi upaya P2P lending mendukung inkluksi keuangna di Indonesia. Kini Modalku punya lisensi di tiga negara yaitu Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri sudah terdaftar di Otoritsa Jasa Keuangan (OJK), bahkan sudah mendapatkan ISO.
Kini tantangan terbesar bagi Modalku adalah mengembangkan usaha ini. “Bagaimana mengenalkan ini kepada orang-orang yang ingin meminjam. Mereka memang banyak, tapi orang yang kasih pinjam tidak banyak. Kami juga harus pintar mengedukasi masyarakat dan menjaga kepercayaan dengan transparansi,” ucapnya.
Menurut Reynold, startup digital di Indonesia memiliki kesempatan yang besar. Tetapi, harus disadari startup itu dunia yang kejam. Dari 100 cuma lima yang bertahan. Namun, jika seseorang yakin mampu bertahan di dunia ini, ya follow your passion. Banyak belajar bagaimana mencapai kesuksesan.
“Selain itu, butuh keberuntungan juga. Kami buat startup pada waktu yang tepat dan butuh produk atau jasa kita. Dulu seyakin-yakinnya dengan Modalku, kalau saya memulainya setelah lulus kuliah, kemungkinan tidak akan seperti sekarang. Ada bisnis yang bisa ditunda sebentar, ada juga yang tidak bisa ditunda lagi,” ungkapnya.
Reynold patut berbangga karena bisnis yang dia bangun telah menunjukkan hasil. Bahkan namanya bersama Iwan Kurniawan (COO Modalku) masuk daftar “30 Under 30 Asia” versi Forbes. Namun dengan rendah hati dia mengatakan, semua ini adalah karena dukungan banyak pihak.
“Saya tidak pernah menyangka bahwa bisnis ini akan berkembang sangat pesat. Dulu saya ambil magister teknik karena beranggapan bisnis bisa saya pelajari sendiri tanpa sekolah. Tapi, niat saya berubah. Akhirnya saya sekolah bisnis dan berniat ingin membuat sesuatu dengan ilmu kedua saya di program magister ini. Dan itu tidak terlepas dari bantuan banyak pihak mulai dari investor, rekan kerja kami, termasuk juga media. Dan, untuk itu saya sangat berterima kasih,” ucapnya.
Dia punya saran untuk para generasi muda yang ingin membangun bisnis. “Yakini kalau produk yang akan dibuat memberikan solusi atau tidak. Tahu siapa yang akan memakai produk atau layanan jasa kita. Jangan membuat sesuatu yang tidak ada user-nya. Entrepreneur itu sesuatu yang panjang dan melelahkan. Jadi kalau sudah tahu jatuh bangunnya memang harus dijalani sungguh-sungguh. Lebih baik melakukan yang kita suka agar lebih menyenangkan saat menjalankannya,” pesan Reynold.
===================================
Reynold Wijaya
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta 27 November 1988
- Pendidikan Terakhir : MBA Harvard Business School AS
- Usaha : Modalku (PT Mitrausaha Indonesia Group)
- Mulai Usaha : Februari 2015
- Modal Awal : –
- Tim : 150 orang
- Pencairan Pinjaman : lebih dari Rp 1,4 Triliun, untuk lebih dari 3.000 pinjaman UMKM
- Pemberi Pinjaman : sekitar 60.000 investor
Prestasi :
- 30 Under 30 Asia versi Forbes 2018
- Pemenang Global SME Excellence Award ITU Telecom (PBB) 2017
- Fintech 250 dari CB Insights 2017
==================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post