youngster.id - Indonesia bisa dibilang merupakan negara agraris. Namun tingkat kesejahteraan petani di Indonesia masih belum sebanding dengan apa yang mereka hasilkan. Pasalnya harga produk pertanian di tingkat petani rendah, sementara harga di tingkat konsumen tinggi.
Kini, dengan teknologi rantai pasok ini coba dipangkas sehingga dapat lebih pendek dan menguntungkan para petani.
Pada umumnya, petani kecil di Indonesia hanya mengetahui akses penjualan ke pasar lokal atau pengumpul setempat, bahkan ada juga petani yang menjual hasil panen masih melalui sistem ijon. Pilihan pasar yang terbatas tersebut mengakibatkan bargaining power petani untuk menentukan harga beli terhadap hasil panennya sangat rendah. Tak jarang petani mengalami kerugian karena sistem tersebut, hingga pada akhirnya memilih untuk membiarkan hasil panennya begitu saja karena harga beli yang terlalu rendah.
Rantai pasok yang terlalu panjang membuat margin keuntungan di tingkat petani rendah. Ini tidak sebanding dengan usaha menanam, memelihara hingga memanen. Akibatnya keuntungan hanya dinikmati oleh para ijon, tengkulak dan pedagang saja.
Peduli akan hal itu tiga anak muda dengan latar belakang pendidikan teknologi, yaitu Walesa Danto, Arief Setiawan dan Lisa Wulandar membangun startup agritech bernama LimaKilo. Lewat startup ini, mereka membangun aplikasi yang mengajak orang membeli langsung hasil pertanian dari petani.
“Kami ingin menjawab masalah ketidakstabilan harga komodias di Indonesia, karena baik petani maupun konsumen sama-sama dirugikan. Kami punya visi menjadi startup teknologi yang social enterprise, yaitu ingin maju bersama petani,” ungkap Walesa kepada youngster.id belum lama ini.
Menurut Walesa, LimaKilo ibarat toko online dengan komoditas hasil pertanian, baik petani bawang maupun konsumen sama-sama menjadi pengguna aplikasi. Namun kondisi saat ini adalah petani pada umumnya menjual dalam satuan ton, sedangkan kebutuhan rumah tangga hanya perlu rata-rata satu kilogram (dalam hal ini beras) untuk memenuhi kebutuhan seminggu.
“Untuk itu kami mencoba pendekatan lima kilo, di mana petani akan menjual paket lima kilo langsung kepada pembeli dalam jumlah massal tetapi orang dapat membeli satuan minimum pembelanjaan, yaitu lima kilogram. Dari situ juga nama Limakilo,” jelas Walesa sambil tersenyum.
Konsep itu membuat aplikasi yang beroperasi sejak awal 2016 ini diminati oleh mayoritas ibu-ibu. Walesa mengklaim, jika hasil riset mereka membuktikan pengguna LimaKilo sebanyak 75% adalah para ibu. Dan, saat ini user website berjumlah hampir 1.500 pengguna, dan mayoritas berasal dari Jadetabek.
Model bisnis social enterpreneurship berbasis pertanian yang digalang LimaKilo memang menarik dan memberikan dampak nyata ke masyarakat.
Dari Bawang
Menurut Walesa, ide ini tercetus saat mereka mengikuti kompetisi Hackathon Merdeka 1.0 pada Agustus 2015 lalu yang memiliki tema besar “Pangan”. “Saat itu kebanyakan mengambil komoditas beras, gula, daging. Kami berpikir komoditas itu sudah terlalu pelik masalahnya. Akhirnya kami memilih bawang, bumbu yang paling banyak digunakan. Kami lalu memilih bawang merah karena tersentralisasi,” kisah pemuda yang sebelumnya pernah bekerja di perusahan IT TV online streaming dari Australia.
Di Indonesia, ada sentra-sentra bawang merah seperti di Brebes, Sumenep yang memiliki karakteristik produk sendiri-sendiri. Mereka menemukan, rantai pemasaran bawang merah dari petani sangat panjang. “Ada 7 mata rantai pemasaran yang mendapatkan margin distribusi 80%,” ujarnya.
Walesa mencontohkan, harga bawang saat itu dari petani Rp 16 ribu per kilogram, tetapi di pasar harganya bisa mencapai Rp 35 ribu.
“Kami terpikir untuk memotong rantai pemasaran dengan visi ingin menciptakan perdagangan yang adil ke petani. Kami ingin konsumen juga bisa kenal produk pertanian dan petaninya siapa,” ungkap pemuda lulusan STT Telkom angkata 2007 itu.
Menurut Walesa, kala itu mereka mencoba mewujudkan visi itu lewat aplikasi limakilo.id. Melalui situs dan aplikasi ini akan mengumpulkan order konsumen bawang merah. Konsumen memesan secara eceran dengan ukuran 2,5 kg, dan limakilo.id mengumpulkannya hingga mencapai kuota 100 kg, baru memesankannya pada petani. Hal ini karena skala keekonomisan biaya logistik tercapai pada 100 kg itu.
Ketika mereka mempresentasikan ide itu, bersama beberapa winner Hackathon Merdeka 1.0 lain, di hadapan Presiden Jokowi pada 2015 lalu, mereka ditantang untuk segera melaksanakannya di lapangan. Walesa dan kawan-kawannya segera terjun ke Brebes mencari petani yang bisa diajak bekerja sama. Di lapangan, banyak hambatan yang mereka temukan. Mereka harus mendekati petani satu per satu untuk menjelaskan model bisnisnya. Tantangannya mulai dari petani yang gagap teknologi hingga susahnya mendapatkan kepercayaan. Akhirnya, satu keluarga petani bernama Syamsul Huda bersedia menjadi contoh.
Dari mencari petani, masalah beralih ke mencari modal. Untuk itu Walesa dan kawan-kawan harus mengumpulkan modal dari relasi, teman, dengan janji mengembalikan modal tersebut.
Pada tahap pertama, dengan memaksimalkan sosial media dan word of mouth (WOM) gratis, maka didapatkanlah order 700 kg bawang merah. Kenyataannya, mereka harus melangkah lebih jauh dari sekedar membuat aplikasi. Mengedukasi petani untuk mengemas bawang merah hingga memberikan label supaya bawang merahnya tampil manis seperti yang dijual di supermarket. Kemasan mereka diberi keterangan tanggal panen, nama petani dan berat bersih kemasan. Juga keterangan praktek fair trade pada petani.
“Jadi kami menjual bawang merah itu lebih murah 10-15% dari harga di pasar ke konsumen. Namun memberikan margin lebih tinggi kepada petani dari yang diberikan oleh tengkulak. Pembeli juga mendapat kesadaran akan produk yang mereka dapat itu langsung dari petani,” kata Walesa.
Ketika itu mereka berhasil menggaet 5-7 petani pemasok bawang merah. Konsumen yang didapat adalah 150 konsumen tiap minggu. Dengan sistem order kolektif dari pembeli dan petani, langkah LimaKilo mulai mantap. Konsep ini juga membawa Walesa menjadi pemenang di Hackathon Merdeka 1.0 dan menjadi Top 10 Indonesia Next App 2.0, Top 10 Mandiri Hackathon dan menjadi finalis Wira Usaha Muda Mandiri 2016.
Pendanaan dan Akuisisi
Dalam kurun waktu tiga tahun Limakilo pun membangun kerjasama dengan komunitas petani di produk pertanian lain. Seperti komunitas petani Pasar Kecil yang mewadahi 9 petani di Bandung untuk memasok sayur organik.
“Kami berusaha memangkas rantai distribusi supaya efisien, dan memberikan margin share lebih ke petani,” tegas Walesa.
Beberapa opsi pasar ritel yang disediakan oleh LimaKilo kepada para petani kecil, antara lain pasar rumah tangga, distribusi warung, pasar horeka (hotel, restoran, dan kafe), hingga serapan skala besar seperti pasar induk dan industri. Aktivitas jual beli beraneka ragam bahan pangan, seperti bawang merah, bawang putih, cabai, kentang, beras, dan lain sebagainya, dapat dilakukan secara online, melalui website.
Bisnis LimaKilo pun bergulir. Bahkan, mereka sudah memiliki sekitar 800 petani binaan. Walesa juga mengungkapkan bahwa LimaKilo berusaha untuk membantu petani mengakses opsi pasar berupa jaringan warung tradisional serta berkolaborasi di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sebagai salah satu penggerak social enterprise di Indonesia, tantangan terbesar yang dihadapi oleh tim LimaKilo adalah kesiapan petani kecil dalam hal menjaga kualitas hasil panen dan proses paska panen, seperti grading, packing hingga labeling. Untuk menghadapi hal tersebut, Walesa dan kawan-kawan secara aktif memberikan beberapa fasilitas kepada petani kecil seperti pelatihan paska panen, pengadaan alat grading dan double layer untuk quality assurance produk demi memastikan kualitas hasil panen yang diterima konsumen sesuai dengan yang dijanjikan.
Saat ini, sudah ada 860 petani dari Kabupaten Brebes, Bantul, Sleman, Solok, Sragen dan Kabupaten Probolinggo yang bermitra dengan LimaKilo. Saban hari mereka menyuplai sembako dan sayuran kepada LimaKilo yang kemudian disimpan di gudang utama di Lenteng Agung, Jakarta. Sayur dan sembako tersebut kemudian didistribusikan kepada lebih dari 1.000 warung kelontong atau bude sayur yang bermitra dengan LimaKilo di seantero Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Petani memperoleh banyak keuntungan jika bermitra dengan LimaKilo. Selain harganya yang jauh lebih mahal ketimbang menjual ke tengkulak, petani binaan LimaKilo mendapat tambahan dana dari hasil penjualan 5-15%. “Misalnya dari petani Rp 10 ribu kemudian saya jual ke bude sayur Rp 18 ribu sesuai harga pasar. Jadi ada keuntungan Rp 8 ribu. Sebanyak 5-15% dari keuntungan tersebut, saya kasih kembali ke petani binaan,” kataWalesa.
Meski bisnis berbasis teknologi, Walesa mengatakan hanya sekitar 15% bude sayur yang melakukan pemesanan via aplikasi. Sedangkan sisanya masih menggunakan pesan singkat atau telepon kepada tim sales LimaKilo. Bahkan, tim penjualan LimaKilo biasa berkeliling dari warung ke warung untuk menawarkan menjadi mitra. Tak hanya itu, lanjut Walesa, tim penjualan juga bisa memberi pinjaman dalam bentuk ‘kulakan tanpa modal’kepada bude sayur yang kerja sama dengan salah satu start up di bidang fintech bernama gandengtangan.org.
Mereka juga mendapatkan pendanaan dari East Venture di tahun 2016. Namun semua itu menurut Walesa, belum dapat mencapai target menyejahterakan petani dengan cepat. Oleh karena itu, akhirnya LimaKilo menerima tawaran akuisisi dari Warung Pintar.
Menurut Walesa, langkah akuisisi ini sebagai kolaborasi yang dapat meningkatkan program LimaKilo. Tetapi, konsekuensi dari akuisisi ini, sejumlah kebijakan Warung Pintar akan berubah, mulai dari manajemen hingga warung-warungnya. Selanjutnya, kios-kios Warung Pintar akan dihubungkan dengan petani binaan LimaKilo dengan produk utama berupa beras, minyak goreng, gula merah, bawang merah, kentang dan garam yang tersebar di Banyuwangi, Sragen, Brebes, dan Karawang.
Menurut Walsea, dengan akuisisi ini Limakilo menargetkan akan meningkatkan pasokan beras dari perusahaan bumi desa menjadi 100 ton tahun ini. Naik 48 ton dari tahun sebelumnya. Warung Pinter akan bertugas di bagian ritel, sementara LimaKilo akan ada dibalik layar. Cara ini akan lebih efektif, dibanding masing-masing dari mereka harus mencari petani dan warung yang ingin menjual sembako.
“Organisasi juga akan ada penyesuaian. Kemudian 1.000 Kios Kilo juga akan ganti nama menjadi Warung Pintar, tapi kalau masalah di daerah masih kita yang setir. Kalau saya sendiri masih, karena ada transisi manajemen, terus juga lagi mengerjakan proyek Kelontong Pintar,” ungkapnya.
Perubahan lain yang bakal terjadi di marketplace LimaKilo, yang mana nanti hanya akan digunakan untuk database petani. Sementara untuk aplikasi akan diintegrasikan, karena ada modul LimaKilo yang tidak ada di Warung Pintar, begitupun sebaliknya. Dengan demikian, tidak ada lagi tumpang tindih.
“Di LimaKilo, kami berkomitmen untuk menyediakan akses pasar seluas mungkin bagi para petani. Dengan akuisisi ini, warung-warung yang ada bisa langsung mengakses produk pertanian secara direct sourcing. Pemilik warung dapat menjual komoditas bahan pokok, sementara petani bisa mengakses opsi pasar berupa jaringan Warung Pintar. Dengan sinergi baru ini kami berharap dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan pemilik warung,” pungkas Walesa.
=====================================
Walesa Danto
- Tempat Tanggal Lahir : Surakarta, 22 Oktober 1989
- Pendidikan terakhir : STT Telkom (sekarang Telkom University)
- Jabatan : CEO dan Co-founder Limakilo.id (PT Limakilo Majubersama Petani)
- Mulai Usaha : 2015
- Modal Awal : Boothstraping
- Tim : 8 orang
- Petani Binaan : 850
- Mitra Distribusi : 1.000 warung kelontong
Prestasi :
- Pemenang di Hackathon Merdeka 1.0
- Top 10 Indonesia Next App 2.0,
- Top 10 Mandiri Hackathon
- Finalis Wira Usaha Muda Mandiri 2016
========================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post