Agustin Ramli : Lebih Fokus Untuk Bantu Pendidikan Anak-Anak Kurang Mampu

Agustin Ramli, Founder Ant Charity (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Anak Indonesia masih banyak yang terancam putus sekolah. Meski pemerintah telah melakukan banyak program untuk menurunkan angka anak putus sekolah di Indonesia, namun belum bisa mengentaskan sepenuhnya. Untung banyak tangan yang terulur untuk menolong agar anak-anak bisa punya harapan.

 

Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut, angka putus sekolah menurun 200.000 siswa atau hampir 30%. Tercatat jumlah anak yang putus sekolah di jenjang pendidikan dasar berkurang signifikan, dari 60.066 di 2015/2016 menjadi 32.127 pada 2017/2018. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) meningkat dari 7,73 tahun (2014) menjadi 8,10 tahun (2017). Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) juga meningkat dari 12,39 tahun (2014) menjadi 12,85 tahun (2017).

Meski jumlah itu terus berkurang namun masih saja memprihatinkan. Data dari UNICEF, faktor ekonomi adalah alasan utama siswa putus sekolah. Anak-anak dari 20% keluarga termiskin hampir lima kali lebih mungkin untuk tidak masuk SD dan SMP, dibandingkan 20% dari keluarga terkaya.

Prihatin akan hal itu mendorong Agustin Ramli mendirikan komunitas sosial dengan bendera Yayasan Ant Charity. Ini adalah lembaga non-profit yang ditujukan untuk mengumpulkan biaya yang disalurkan untuk membiayai anak-anak putus sekolah dari wilayah kumuh dan desa tertinggal di sejumlah wilayah di Indonesia.

“Saya berpikir, anak-anak putus sekolah bukanlah pilihan dan salah mereka. Ada beberapa masalah di antaranya keterbatasan ekonomi, keterbatasan lingkungan. Melihat keadaan itu, akhirnya saya mengajak teman-teman putri Indonesia yang lainnya saat itu untuk bikin gerakan ini mulai dari presenter, model atau siapapun yang mau bergerak terjun ke bidang sosial ini,” kata Agustin saat ditemui youngster.id belum lama ini di Ciawi, Bogor.

Sejatinya, sosok Agustin dikenal sebagai selebriti. Dia pernah tercatat sebagai Miss Indonesia Tourism di tahun 2007. Sebelumnya, dia juga adalah Putri Indonesia 2006 perwakilan dari DKI Jakarta. Sejumlah iklan, sinetron dan film pernah dibintanginya. Namun sekarang dia lebih fokus pada Yayasan Ant Charity yang didirikan di tahun 2011.

“Yayasan sosial ini bergerak untuk membantu anak-anak kurang mampu, khususnya mereka yang tinggal di daerah kumuh. Yayasan ini memokuskan diri pada masalah pendidikan dan kesehatan anak-anak,” kata Agustin.

Saat ini, yayasan tersebut telah memiliki delapan rumah belajar, yakni lima rumah belajar permanen terdapat di Jakarta Utara, Gunung Kidul, dan Bali. Tiga rumah lainnya yang bersifat sementara berada di Palu, Poso, dan Toraja. Lewat rumah belajar sudah ribuan anak yang mendapatkan pendidikan keterampilan bahasa Inggris, komputer, pendidikan karakter serta kesenian.

 

Agustin Ramli dalam salah satu kegiatan Ant Charity (Foto: Dok. Pribadi)

 

Filosofi Semut

Agustin mengaku meski bekerja di dunia hiburan, dia tidak memilih gaya hidup glamor. Sebaliknya, Agustin memutuskan untuk melakukan aksi sosial. Rupanya, itu terinspirasi dari sang bunda. “Mama juga sering melakukan bakti sosial atau baksos, dan aku selalu ikut ke mana-mana pakai sepeda. Ia selalu bilang kita enggak punya uang, tapi kita punya tenaga. Mama bisa bantu mereka dalam pengobatan,” kata Agustin.

Selain ibu, pekerjaan sebagai pembawa acara “Aku Ingin Sekolah” di salah satu stasiun TV  membuka matanya pada begitu banyak anak Indonesia yang kesulitan mendapat akses pendidikan yang layak. Agustin melihat langsung bagaimana kerasnya perjuangan seorang anak untuk bisa pergi sekolah.

“Pekerjaan saya sebagai seorang presenter banyak pergi ke lokasi-lokasi itu dan bertemu dengan mereka. Pikir saya, bagaimana saya bisa membantu secara berkesinambungan yang membawa dampak yang positif kepada mereka” tuturnya.

Akhirnya, Agustin memutuskan untuk mulai bergerak secara pribadi. Agustin mulai membantu anak-anak jalanan di kawasan Tanah Merah, Plumpang Jakarta Utara di tahun 2007.

“Ketika itu belum berkesinambungan, karena saat itu saya pikir, siapa aku sih? Pemilik yayasan itu dibayangan saya adalah anak orang kaya atau yang punya dana besar,” ujar Agustin sambil tersenyum.

Seiring berjalan waktu, perempuan lulusan Psikologi Universitas Atma Jaya itu mendapati ternyata anak yang harus dibantu itu banyak. Dan kalau dirinya bergerak sendiri tentu tidak mungkin.

Akhirnya Agustin memutuskan untuk mengajak kontribusi orang lebih banyak dengan mendirikan Yayasan Ant Charity pada 2011. Agustin meyakini, semakin banyak semangat berbagi disebarkan untuk membantu masa depan anak bangsa yang berada di bawah garis kemiskinan, akan semakin banyak pula yang terbantu.

Seperti filosofi Ant Charity, ant yang dalam bahasa Inggris berarti semut, hidup berkoloni dan bergotong royong. Seperti itulah semangat yang coba ditebarkan. “Dengan pelayanan seperti semut ini, sama-sama punya hati yang sama, gotong royong bantu anak-anak Indonesia berjuang mendapatkan mimpi mereka,” ucapnya.

Yayasan ini didirikan sejak tahun 2011 dan fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan bagi anak. Menurut Agustin, awalnya gerakan Yayasan Ant Charity ini hanya membantu 20 anak. Ia bersyukur seiring berjalannya waktu, perlahan gerakan sosial yang telah di mulai di Jakarta itu kini sudah bisa melebar ke berbagai daerah, seperti Jawa Tengah dan Bali.

“Kami bantu berikan pendidikan. Dan bersyukurnya, sekarang jumlahnya sudah ribuan anak,” klaim Agustin.

 

Sejak didirikan tahun 2011, Yayasan Ant Charity yang awalnya hanya mampu membantu 20 siswa, perlahan gerakan sosial yang telah di mulai di Jakarta itu kini sudah bisa melebar ke berbagai daerah, seperti Jawa Tengah dan Bali (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Tangan Tuhan

Yayasan Ant Charity menurut Agustin memperoleh dana dari sejumlah masyarakat Indonesia. Dana yang didapat tersebut nantinya akan digunakan dan dikembali kepada masyarakat yang berhak mendapatkan haknya, sekaligus untuk membantu kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak di Indonesia.

“Saat ini kami mendapatkan dana dari CSR company, komunitas maupun dana dari personal. Semua itu kami olah untuk program pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.

Agustin menjelaskan, dana tersebut disalurkan dalam bentuk uang sekolah anak. Selain itu, ada ‘Life Center’ yang membuka kelas belajar Bahasa Inggris, kelas untuk belajar komputer, character building, hingga bimbingan belajar.

“Karena daerah yang kami sentuh adalah daerah yang minus. Dan di daerah mereka juga nggak ada tempat hiburan, perpustakaan. Jadi dana masyarakat ini kami berikan dan kami kembalikan untuk masyarakat. Jadi kami di sini hanya mengelola saja,” terang Agustin.

Dana bukanlah kendala terbesar bagi Yayasan Ant Charity. Menurut Agustin yang paling menghambat adalah mendapatkan murid. “Terutama ketika kami masuk di daerah pedalaman nggak gampang mendapatkan murid. Karena masyarakat di pedalaman beranggapan anak itu merupakan potensi untuk menghasilkan uang,” kisahnya.

Untuk itu, para relawan yayasan harus mendekati dan memberi edukasi kepada para orang tua agar anak mereka dapat memiliki pendidikan dan bersekolah demi masa depan yang cerah. “Pelan-pelan kami masuk, ngerangkul orang tua supaya anaknya mau belajar. Dengan cara itu nantinya otomatis si anak juga memiliki passion untuk pergi belajar di sekolah,” ungkap Agustin.

Menurut Agustin, pihaknya tak melulu memberikan pendidikan formal kepada anak-anak yang belajar di Yayasan Ant Charity. Memasuki era digital saat ini pendidikan tentang membangun dunia kewirausahaan.

“Selain pendidikan formal, di sini kami melatih mereka tentang tanaman organic. Di Bali misalnya, kami sedang mengedukasi anak-anak yang ingin memiliki dan hobi untuk bercocok tanam dengan cara yang sesuai dengan kemampuan mereka. Nantinya hasil itu buat makan mereka dulu, untuk memperbaiki gizi. Jadi kami sedang kembangkan mengajarkan mereka menanam sayuran. Mudah-mudahan, dari situ juga tertanam nanti jiwa kewirausahaan mereka,” paparnya.

Untuk kesehatan, menurut Agustin, mereka juga memberi edukasi agar menekan pernikahan usia dini. Baik kepada anak juga orang tuanya. “Sehingga dengan bekal itu baik dari orang tua dan anak bisa memahami. Setelah anaknya lulus sekolah bisa berkarir mewujudkan impiannya, ketimbang mereka lebih menikah di usia muda. Saya rasa cara ini juga mendukung program pemerintah dalam menekan angka pernikahan di usia dini,” katanya lagi.

Bahkan, melalui yayasan itu, anak-anak mendapat pengetahuan dan keterampilan dari para relawan tentang menjaga diri sendiri dari tindak kekerasan atau kejahatan. Mulai dari pengenalan tubuh diri sendiri  mana yang tidak boleh dilihat, disentuh, difoto oleh siapapun. “Jadi, di sini kami berikan pengenalan jenis-jenis kekerasan seperti kekerasan emosional, psikologis, spiritual, seksual hingga kekerasan fisik,” ujar Agustin.

Sudah 9 tahun sejak dia mendirikan yayasan ini. Berbagai kendala ditemui namun dengan niat tulus, tekun dan sabar maka semua tetap dapat terpecahkan.

“Banyak kendala, tak hanya masalah dana, kadang konflik ketika program yang ingin kami berikan tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat. Belum lagi volunteer yang tidak mudah kami dapatkan, apalagi daerah sasaran kami adalah daerah-daerah pedalaman. Karena itu saya yakin, di sini saya nggak sendiri, ada tangan-tangan Tuhan berperan,” tutur Agustin.

Di sisi lain, Agustin juga mengaku banyak mendapat timbal balik energi positif. “Saya selalu merasa masalahku paling besar, padahal mereka pun begitu. Bahkan, bisa bertahan. Mereka juga yang menguatkan dan menjadikan hidup saya jadi seimbang. Enggak cuma pengin hidup mewah, saya juga ternyata bisa menjadi seperti sekarang berkat mereka,” pungkasnya.

 

===============================================

Agustine Ramli

Prestasi          :  

===================================================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version