youngster.id - Nilai transaksi private equity (PE) di Asia Tenggara turun 39% menjadi US$9 miliar tahun lalu dibandingkan dengan rata-rata lima tahun sebelumnya (2018-2022). Sementara itu, volume transaksi juga turun 24% pada periode yang sama.
Hal itu terungkap dari laporan terbaru perusahaan konsultan manajemen Bain & Company, bertajuk Southeast Asia Private Equity Report.
Walaupun kuartal kedua dan ketiga tahun 2023 mengalami pertumbuhan dibandingkan kuartal pertama, pasar PE di Asia Tenggara juga tidak luput dari perlambatan aktivitas transaksi yang terjadi secara global.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan investasi di Asia Tenggara menyumbang sebagian besar arus transaksi di wilayah tersebut. Singapura dan Indonesia terus berkontribusi pada sebagian besar kesepakatan.
Sementara itu, aktivitas kesepakatan di Asia Tenggara menurun pada kuartal pertama tahun 2024. Dengan nilai US$1,4 miliar, nilai kesepakatan di kawasan ini kembali ke tingkat yang sama seperti pada kuartal pertama tahun 2023.
“Ini merupakan tahun yang penuh tantangan bagi pembuatan kesepakatan, exit, dan penggalangan dana di Asia Tenggara. Temuan dari survei industri kami menunjukkan beberapa pendorong di balik tantangan ini,” kata Usman Akhtar, Head of Bain & Company’s SEA PE Practice, seperti dilansir TN Global, Senin (3/6/2024).
Menurutnya, General Partners (GP) dan Limited Partners (LP) memberi tahu mereka bahwa bidang yang paling mereka khawatirkan adalah kondisi keluar yang menantang, kurangnya peluang kesepakatan, dan prospek ekonomi yang tidak menentu.
Belajar dari pengalaman dalam beberapa tahun terakhir, mereka juga kini lebih fokus pada kebutuhan akan peluang masuk yang menarik dan strategi keluar yang jelas dalam kesepakatan-kesepakatan baru.
Selain itu, investor di Asia Tenggara memandang peningkatan biaya dan merger dan akuisisi (M&A) sebagai faktor yang semakin penting untuk mendorong keuntungan. Penggalangan dana infrastruktur global dan kredit swasta meningkat.
Menurut laporan itu, tahun 2023 juga menandai puncaknya dalam pembuatan kesepakatan layanan kesehatan, yang menyumbang 24% dari nilai kesepakatan di Asia Tenggara, karena adanya beberapa kesepakatan besar di bidang penyedia layanan kesehatan.
Nilai tertinggi sebelumnya terjadi pada tahun 2019 ketika kesepakatan layanan kesehatan mencapai 22% dari nilai kesepakatan di Asia Tenggara.
Meskipun terjadi perlambatan teknologi dan internet secara luas, fintech dan insurtech merupakan tren investasi utama di Asia Tenggara pada tahun 2023 dengan pendanaan yang semakin terfokus pada pemain skala besar dengan model bisnis yang kuat.
Fintech, khususnya, mengalami peningkatan ukuran kesepakatan antara tahun 2018 dan 2023, dengan total nilai kesepakatan tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 12% pada periode yang sama.
Perlu diketahui, secara sederhana, Private Equity (PE) adalah model usaha yang mengumpulkan modal dari investor untuk di investasikan dengan cara melakukan akuisisi. (*AMBS)
Discussion about this post