youngster.id - Sepanjang 2022 ini, di seluruh dunia terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi. Bagaimana peluang para mantan founder startup untuk kembali mendapatkan pekerjaan?
Pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Dr Rudy Handoko, berpendapat ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya.
“Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru. Karena itu bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat,” katanya dalam siaran pers Universitas Prasetiya Mulya, Jumat (5/8/2022).
Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat tim Yale University di AS yang menunjukan kondisi anomali. Riset bertajuk “Are Former Startup Founders Less Hireable?” itu melaporkan, para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi 43% lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua (setelah menjalani wawancara kerja) saat melamar pekerjaan, jika dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan, para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33% untuk diundang wawancara kerja. Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif.
Karena, menurut survey itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.
Dengan berbagai pandangan itu, bagaimana kemudian solusi untuk mebangun karakter calon wirausahawan yang kuat, namun juga tetap adaptif dengan dunia kerja? Menurut Rudy Handoko, hal itu, salah satunya, ditentukan oleh proses yang mereka lalui saat menempuh pendidikan, terutama di tingkat kampus.
“Dunia pendidikan dapat menciptakan karakter pebisnis yang kuat. Di kampus, misalnya, kami menekankan proses dalam membentuk pebisnis atau professional sukses. Tidak ada yang instan karena semua hasil butuh ketekunan,” ujar Rudy.
Sementara itu Partners di Living Lab Ventures, Bayu Seto, menilai, sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan. “Mantan pendiri startup adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas. Mereka kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi, serta peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker. Hal ini mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan. Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup ini memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi,” ungkapnya.
Namun Bayu juga menemukan, kebanyakan mantan founder startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun. Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market. “Bahkan membuat mereka reluctant untuk melakukan pivot manakala trend pasar berubah seketika.”
Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang “pindah kuadran” menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko. Misalnya risiko kompatibilitas kultur (cultural fit), di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid. Oleh karena itu, menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel, serta (sebisa mungkin) membentuk budaya non-hirarki merupakan kunci utama untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri.
STEVY WIDIA
Discussion about this post