youngster.id - Pertanian di Indonesia terus dihadapkan pada faktor pengancam produktivitas. Pemerintah sendiri sudah sangat terbuka dan mendukung upaya-upaya pengembangan inovasi bioteknologi, misalnya budidaya tanaman dan benih bioteknologi atau Produk Rekayasa Genetika (PRG).
Namun, proses riset yang panjang dan regulasi yang kompleks membuat distribusi benih bioteknologi di Indonesia cenderung lebih lambat dibanding negara lain.
“Perubahan iklim, hama yang semakin kebal pada produk perlindungan tanaman, dan lahan yang semakin berkurang membuat petani sulit memenuhi kuota produksi pangan dan harus mengimpor dari negara lain. Pada akhirnya ketahanan pangan nasional kita bisa terancam jika tidak ada intervensi di bidang sains dan teknologi,” kata Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan, Jum’at (2/2/2024).
Menurut Agung, d berbagai negara seperti Filipina, benih-benih dan tanaman bioteknologi sudah diakses petani dan hasilnya juga dikonsumsi publik secara luas berbarengan dengan versi konvensional.
“Kami berharap Indonesia bisa segera menyusul langkah baik tersebut. Kami telah berupaya mengadvokasi praktik pertanian modern ini agar terus didukung pemerintah dan tentunya mendapat penerimaan baik oleh masyarakat,” tambahnya.
Diklaim Agung, salah satu aksi yang dilakukannya termasuk mengedukasi petani tentang pemakaian produk perlindungan tanaman, melawan peredaran produk palsu, dan tentunya menjaga upaya pertanian berkelanjutan lewat bioteknologi pertanian.
Meskipun benih bioteknologi telah banyak mendapat pernyataan aman dari berbagai lembaga riset dunia, namun masih sering terdapat persepsi yang tidak tepat seputar produk tersebut.
Biotechnology and Seed Manager CropLife Indonesia Agustine Christela Melviana menegaskan tanaman dan benih yang dikembangkan dengan ilmu bioteknologi aman dikonsumsi.
Menurutnya, keamanan bioteknologi telah dikaji secara menyeluruh oleh berbagai lembaga riset dan kesehatan dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat (EPA).
“Kalau di Indonesia, kita punya Komisi Keamanan Hayati yang ditopang oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2005 (PP No. 21/2005) tentang Keamanan Hayati untuk Produk Rekayasa Genetika yang memastikan keamanan PRG, baik untuk keamanan pangan, pakan maupun lingkungan,” kata Agustine..
Pernyataan senda disampaikan Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Molekuler Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Anggota Tim Teknis Keamanan Hayati KLHK Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto M.Sc. Menurutnya, penggunaan benih bioteknologi sangat berpihak pada petani. Teknik-teknik bioteknologi moderen seperti benih PRG ataupun benih hasil penyuntingan gen (genome editing), memang dirancang dan dikembangkan oleh peneliti dengan tujuan untuk meminimalisir potensi hasil kehilangan petani.
“Produk-produk bioteknologi pertanian seperti benih ini sangat berguna bagi petani kecil, karena tanaman akan mempunyai sifat-sifat yang lebih unggul seperti lebih adaptif terhadap perubahan cuaca ekstrem ataupun memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan penyakit jika dibandingkan dengan benih konvensional/non-PRG. Kalau mengandalkan benih konvensional saja, petani akan sulit bertahan menghadapi perubahan iklim ataupun Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang akan selalu ada dan hal-hal ini akan menyebabkan penurunan hasil panen dari petani. Tentu saja pengelolaan (bioteknologi) di lapang selalu memperhatikan aspek ekologis dan sustainability,” jelas Anton.
Anton turut membagikan temuan J. GM Crops & Food yang menyatakan bahwa adopsi benih bioteknologi ke pertanian dunia terbukti meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Di tahun 2020, peningkatan pendapatan petani global mencapai US$18,8 miliar. Jika dirinci, nilai pendapatan petani di negara berkembang naik 52%, petani di negara maju naik 48%. Naiknya pendapatan itu berasal dari peningkatan produksi dan penghematan biaya seperti input pertanian (agricultural input) dan biaya operasional lain.
Sebagai gambaran, benih bioteknologi membantu petani melindungi 23,4 juta hektar habitat alami, setara seperti luas Vietnam digabung dengan Filipina dan teknologi ini telah mengurangi emisi gas rumah kaca dengan jumlah yang setara seperti mengurangi 15,6 juta mobil di jalan. “Bisa dibayangkan keuntungan yang akan didapat jika masyarakat kita lebih terbuka terhadap inovasi teknologi dan tidak mudah termakan dengan mitos yang beredar,” kata Anton.
Dari sisi pelaku tani, Indonesia masih didominasi oleh petani andalan atau petani berusia di atas 39 tahun. Duta Petani Milenial Sandi Octa Susila mengakui bahwa regenerasi profesi petani yang masih rendah ini berpengaruh pada adopsi metode pertanian modern.
“Data Badan Statistik Nasional (BSN) menunjukkan sektor pertanian di Indonesia masih didominasi oleh petani kecil berlahan sempit, yaitu sekitar 72,19% dari total petani nasional. Dengan angka ini, tentunya akan sulit memenuhi permintaan pangan domestik yang terus meningkat setiap tahunnya jika tidak dibantu dengan inovasi teknologi dan digitalisasi,” jelasnya.
Namun, dari sisi petani milenial, Sandi justru menyebut ada minat tinggi dari para petani untuk segera mendapatkan akses ke benih bioteknologi.
“Kalau bicara di lapangan mereka justru menantikan kapan kami (petani) bisa beli benih ini. Harapan kami dari sisi petani, sedianya pemerintah bisa mendukung terus pengembangan benih bioteknologi dan komersialisasi di pasaran, supaya teman-teman petani bisa ikut merasakan dampak positif seperti di negara lain,” pungkas Sandi. (*AMBS)
Discussion about this post