youngster.id - Bisnis furnitur memliki pangsa pasar yang luas di Indonesia. Tak mengherankan banyak e-commerce yang hadir mengincar pasar tersebut. Andalannya adalah produk lokal dari para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menargetkan industri mebel dapat tumbuh hingga 16% pada tahun ini. Bahkan diperkirakan pasar furnitur di Indonesia akan mencapai angka Rp 72,9 triliun pada tahun 2018. Ini akan berbanding lurus dengan penetrasi internet di Tanah Air. Untuk itulah, diprediksi situs e-commerce segmen ini akan terbuka lebar.
Salah satu dari e-commerce furnitur yang mulai popular adalah Livaza.com. E-commerce yang telah dua tahun beroperasi ini menggarap pasar furnitur seluruh Indonesia hingga mancanegara. Menariknya lagi mereka juga melengkapi dengan berbagai layanan terkait desain interior dan pengembangan para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di bidang furnitur.
“Kami berusaha membangun sebuah ekosistem yang tidak hanya menjual produk, namun juga menghadirkan layanan yang berkaitan dengan desain interior,” ungkap Eddy Christian Ng, Co-Founder sekaligus CEO Livaza kepada Youngster.id.
Eddy menerangkan bahwa startup ini ingin menjadi one-stop shopping solution dan marketplace kebutuhan furnitur dan produk interior. “Kami tidak hanya memiliki ribuan produk ready stock, tetapi juga custom product yang dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen. Livaza.com mengerti bahwa setiap ruangan seharusnya didesain secara personal. Untuk itu, Livaza.com memberikan pelayanan konsultasi desain interior secara gratis bagi konsumennya,” paparnya.
Untuk bisa memenuhi itu, menurut Eddy, Livaza telah bekerja sama dengan banyak desainer dan arsitek untuk mewujudkan rancangan dan imajinasi mereka menjadi kenyataan. Beberapa projek yang telah dikerjakan oleh Livaza.com, di antaranya, coworking space EV Hive The Breeze & Kyai Maja, Kantor Veritrans, Ibis Style Bogor dan Vila Kumari.
Meski demikian, Eddy menegaskan Livaza tidak saja mengejar omzet tetapi juga membantu para pelaku UKM di bidang furnitur di Indonesia untuk berkembang.
“Memang ini tujuan kami, yaitu memungkinkan untuk para pengrajin kayu, khususnya di Indonesia dan UKM di daerah-daerah menggunakan Livaza.com sebagai kanal untuk memasarkan produknya. Karena yang kami lihat adalah banyak sekali produk pengrajin kayu yang bagus, terutama di Pulau Jawa yang sudah kami eksplor dan berbicara dengan pemerintah, sebenarnya mereka perlu didukung dan dibantu,” papar Eddy.
Saat ini startup yang didirikan pada April 2015 ini telah menggandeng 350 pengrajin kayu yang telah memproduksi 15 ribu produk. “Para pengrajin ini belum dari seluruh Indonesia, baru dari Pulau Jawa saja,” ujarnya. Kerjasama ini untuk melayani permintaan pasar furnitur di seluruh Indonesia. Bahkan mereka telah mampu mengekspor produk furnitur hingga ke sejumlah negara di Asia seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.
Transformasi Digital
Eddy menegaskan keberhasilannya memulai bisnis ini tentu tak lepas dari peran para pengrajin UKM furnitur di Indonesia. Dia menyebutkan alasan mendirikan bisnis ini, tak lain datang ketika dirinya melihat begitu banyak masalah yang terjadi yang dapat diselesaikan dengan bantuan teknologi digital.
“Alasan mendirikan perusahaan ini, karena melihat banyaknya masalah yang terjadi sebenarnya semua bisa diselesaikan dengan teknologi,” ujarnya.
Pria lulusan sekolah ekonomi di Kanada itu berkisah, usaha ini bermula dari kesulitannya untuk merenovasi kamar di rumahnya. “Saya mulai ini dari pengalaman yang saya alami pada saat mau renovasi kamar. Saat itu, saya mau cari ranjang, lemari kayaknya susah banget, pilihannya terbatas sekali. Nah dari situ saya melihat, sebenarnya Indonesia banyak ekspor produk kayu, pengrajinnya banyak ekspor tapi kenapa kebutuhan lokalnya sendiri jarang. Malah orang lokal belinya barang impor,” kisah Eddy.
Penasaran akan keadaan itu, dia dan rekan-rekannya pun mulai keliling ke Jawa Tengah, mulai dari Jepara dan Surabaya. “Di sana kami melihat banyak pengrajin kayu ternyata produknya bagus tapi di lokal sendiri kurang dikenali,” ujarnya.
Dari sinilah Eddy dan rekan-rekannya mendirikan Livaza.com. dengan modal sekitar Rp 1 miliar. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan dan edukasi pada para pelaku UKM furnitur.
“Sebenarnya, masalah yang terjadi dapat diselesaikan dengan teknologi, termasuk dalam pemasaran furnitur lokal,” tegasnya.
Eddy mengakui bahwa upaya ini awalnya tidak mudah. Terutama ketika berusaha mengenalkan aktivitas belanja furnitur secara online kepada masyarakat. “Untuk mengatasinya, kami berusaha membangun sebuah ekosistem yang tidak hanya menjual produk, namun juga menghadirkan layanan yang berkaitan dengan desain interior,” ucapnya.
Oleh karena itu, mereka terus melakukan edukasi kepada para mitra UKM dan masyarakat. “Kami memperkenalkan sistem kami, sehingga mereka bisa familiar dan leluasa dalam mengoperasikan e-commerce kami. Bahkan, kami menyediakan tim untuk membantu mereka. Jadi jika mereka ada kesulitan, misal meng-upload produk mereka bisa dibantu dengan tim kami,” ungkap Eddy lagi.
Ia mengakui, usaha dalam mengedukasi mayarakat di Tanah Air tak henti-hentinya dilakukannya. “Saya akui, kita masih tertinggal cukup jauh terutama di era digital transformasi ini jika di banding negara lainnya. Kebetulan saya cukup lama tinggal di luar negeri sekitar 10 tahun, di sana e-commerce, online travel agent, atau transportasi online sudah lebih dahulu ada. Jadi edukasi pembeli dari luar negeri lebih mudah, karena ekposure mereka terhadap digital tranformasi ini lebih matang dari kita saat ini,” paparnya.
Tetapi belakanganini dia melihat perkembangan transformasi digital pesat terjadi di Indonesia. “Dan dari bisnis model yang ada pada kami saat ini, yang sebenarnya kami jaga dan bangun adalah para seller kami. Makanya di sini kami terus berusaha meng-improve dan develop produk kami supaya user friendly supaya UKM-UKM tersebut dapat dengan mudah meng-upload produk dan mengunakan sistem Livaza supaya mudah di gunakan mereka,” jelasnya.
Bangun Kepercayaan
Untuk itu, menurut Eddy, penting baginya untuk membangun kepercayaan masyarakat akan sistem e-commerce seperti yang dilakukan Livaza. Untuk itu, dia menyediakan layanan desain interior bagi para pelanggannya.
Seperti kerjasama Livaza dengan sejumlah hotel yang tergabung dengan layanan agregator hotel Zen Rooms. Demikian juga coworking space EV Hive The Breeze & Kyai Maja, Kantor Veritrans, Ibis Style Bogor dan Vila Kumari.
“Kami justru ingin memberi solusi desain interior yang nyaman, namun dengan budget yang tetap sesuai dengan kemampuan masyarakat,” ujarnya.
Strategi lain yang dihadirkan Livaza adalah dengan memberikan gratis ongkos kirim ke seluruh Indonesia. Selain itu, mereka juga memberlakukan gratis pengembalian barang dalam waktu empat belas hari, serta program cicilan tanpa bunga dengan syarat-syarat tertentu.
Semua itu, menurut Eddy, untuk semakin mendekatkan platform Livaza ini ke masyarakat luas. Eddy tak menampik masih kurangnya perihal kepercayaan pembeli menjadi fokusnya di bisnis ini. Namum masalah ini tak membuatnya harus berkecil hati.
“Memang saat ini para konsumen furnitur di Indonesia belum matang. Kiat kami disini adalah bagaimana caranya membangun kepercayaan, dalam arti barang yang kami kirim harus sama dengan yang di foto dan website. Selain itu, kemudahan dalam mengakses web dan kemudahan informasi dari tim kepada customer,” ungkapnya.
Langkah ini butuh strategi yang tepat. “Bahkan kami sempat menjalankan O2O system, online to offline dimana customer ada di post kami dan bisa melihat produk dulu dan belanja di tempat dengan menggunakan online. Jadi kami fokus melakukan customer centric. Kami harus bisa menyediakan, informasi, kepercayaan, dan produk sesuai dengan konsumen,” tegas Eddy.
Dia juga mengakui kalau di awal ada keluhan dari para pelanggan. “Komplain pasti ada, tapi bagaimana kemudian kami mengubah komplain itu menjadi satu kepuasaan dan ini yang bisa kami sebut sebagai customer service faction di platform kami. Jadi melalui tim kami selalu ingin memberikan customer experience agar customer enjoy ketika berbelanja melalui Livaza,” sambung Eddy.
Pemuda kelahiran Jakarta, 13 November 1982 ini mengungkapkan, Livaza memiliki empat strategi untuk bisnis furnitur di era digital. ”Pertama dimana data itu penting, supaya bisnis lebih efisien buat para pengrajin kayu tersebut, untuk mem-provide barang yang laku seperti ini. Jualnya ke daerah mana saja, siapa yang suka, itu artinya data nomor satu,” ungkapnya.
“Nomor dua adalah konektifitas dimana teknologi kami yang ada untuk mengoneksi mereka ke market yang lebih besar, bahkan bisa keluar Indonesia. Ketiga inovasi, inovasi adalah sistem kami sendiri, dimana kami bisa menciptakan sistem yang digunakan oleh mereka. Dan keempat adalah nilai atau value dimana sebenarnya inovasi yang sudah kami bangun tadi, bisa tidak memberikan nilai buat para pelaku UKM. mungkin kalau sekedar sistem online saja tidak ada nilainya dan tidak cukup. Tapi yang kami lakukan di sini bagaimana sistem ini bisa meningkatkan kinerja agar order mereka bisa berkali lipat dan omset mereka bertambah. Nah, hal ini yang ingin kami berikan sebenarnya,” jelas Eddy lagi.
Dengan langkah ini transaksi Livaza pun terus bertumbuh. Sekarang setiap bulan mereka menangani sekitar 5.000 pemesanan terutama untuk produk dekorasi dan sofa. Jabodetabek menjadi daerah dengan jumlah transaksi terbanyak. Dan belum lama ini mereka juga mendapat pendanan awal dari East Ventures.
“Saat ini kami tengah fokus untuk mengembangkan teknologi dan menuju profitabilits,” ujar Eddy.
Seiring dengan itu, peta persaingan di e-commerce furnitur juga ikut bertumbuh. “Namanya bisnis pastinya ada persaingan. Justru kalau ada persaingan bisnis itu berarti tervalidasi oleh market. Malah kalau nggak ada peraingan justru menjadi tanda tanya besar apakah bisnis ini tervalidasi oleh market atau tidak,” katanya sambil tersenyum.
Untuk memperkuat bisnis, Eddy menegaskan dia akan tetap menerapkan strategi data, konektifitasi, inovasi dan value. “Kami akan mengedepankan value kepada customer,” ujarnya.
Pesannya kepada para pelaku startup untuk bisa sukses adalah mencari kesempatan dari masalah yang ada dengan menggunakan teknologi. “Dan yang paling penting bagi founder startup jangan liat glamour dan mewahnya dari pemain-pemain besar. Karena dari awal pun mereka susahnya sama dan pemain startup yang berhasil karena mereka tekun dan terus berusaha dan tidak menyerah karena mereka percaya apa yang mereka bangun. Itu juga pegangan saya. Jadi buat pemain baru startup cari problem-nya dan fokus teknologi, harus tekun dan jangan mudah menyerah, “ tuntasnya.
=================================
Eddy Christian Ng
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta 13 November 1982
- Pendidikan : Economic, Simon Fraser University Canada
- Mulai Usaha : 2015
- Modal awal : sekitar Rp 1 miliar
- Jumlah Karyawan : 20 orang
- Jumlah UKM Mitra : sekitar 350
- Produksi : sekitar 15.000 per tahun
==================================
FAHRUL ANWAR
Editor: Stevy Widia
Discussion about this post