Ferdian Yosa : Menangkap Tren di Bisnis Kuliner

Ferdian Yosa, Founder & Owner Martabak BlackPool (Foto: Fahrul Anwar/Youngsters.id)

youngster.id -  

 

Ini adalah era emas bagi bisnis kuliner. Beragam makanan ditawarkan dengan aneka rasa, bentuk dan inovasi. Kesuksesan bisnis ini tak lagi mengandalkan kelezatan semata, tetapi juga inovasi dalam penyajian dan pemasaran sehingga bisa menciptakan tren kuliner di masyarakat.

Salah satunya adalah martabak. Kudapan manis asal India ini telah begitu dikenal di seluruh Indonesia. Umumnya adonan hanya terdiri dari tepung terigu, telur, susu dan gula. Kemudian berkembang dengan aneka variasi isi seperti cokelat, keju dan wijen.

Namun yang terakhir yang sedang tren di Jakarta adalah martabak hitam. Ya, warna martabak ini hitam pekat seperti kue black forest. Yang memopulerkan menu martabak ini adalah kedai Martabak BlackPool, yang dikembangkan Ferdian Yosa dan kedua koleganya.

Hebatnya, dalam tempo setahun Martabak Blackpool sudah memiliki 7 gerai. Tentunya, kesuksesan produk martabak hitam ini tidak terlepas dari kepiawaian para pemilik bisnis tersebut dalam membaca pasar kekinian.

“Kami menangkap tren di dunia kuliner beberapa tahun belakangan ini yaitu makanan berwarna hidam dan martabak dengan berbagai rasa. Dan itu kami wujudkan lewat Martabak Blackpool ini,” ungkap Ferdian, kepada Youngsters.id.

Dari namanya, gerai ini menawarkan martabak hitam yang legit manis. Warna hitam diperoleh dari bahan tepung black forest dengan sumber rahasia. Sedang isian martabak tersebut mulai dari cokelat, keju, spesial (cokelat, keju, kacang, wijen), Cream Cheese Oreo, Scarlet, Creamy Mozaic, hingga Hershey’s Cookies n’ Cream.

Menurut Ferdian, awal usaha martabaknya tersebut dimulai pada Mei 2015 bersama kedua teman SMA, yakni Hendi Haryanto dan Celine. Mereka awalnya membuka gerai di daerah Gandaria, Jakarta Selatan. Ketika itu memang tengah tren bisnis martabak “kekinian” yaitu dengan menawarkan aneka rasa. Tak sekadar ikut tren, mereka juga membuat inovasi dengan menghadirkan sesuatu yang berbeda dari martabak berwarna kuning.

“Bisa dibilang, kami yang pertama kali di Jakarta. Kalau martabak hitam pasti kenalnya Blackpool. Kalau ketik martabak hitam di Google juga pasti muncul pertama adalah BlackPool,” ujarnya bangga.

Inovasi ini mulai dikenalkan pada Mei 2015, dan dengan cepat menarik perhatian para pecinta kuliner. Pemasaran lewat sosial media seperti Path dan Instagram mempercepat popularitas kuliner ini. Hasilnya, kini sudah ada tujuh cabang Martabak BlackPool yang tersebar di Jabodetabek.

 

Riset

Ferdian yang baru berusia 22 tahun mengaku tak ada pengalaman berbisnis sebelumnya. Apalagi dia masih bekerja di sebuah perusahaan otomotif  terkemuka. “Binis ini berawal dari passion kami yang suka kuliner,” ujar lulusan Binus itu.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut maka mereka pun patungan modal sebesar sekitar Rp 200 juta. Tak ingin setengah-setengah mereka pun mengadakan riset untuk menentukan menu yang akan disajikan. Hal itu, menurut Ferdian, terkait dengan positioning dan differentiation  produk.  “Saya yakin semua martabak yang baik itu sama. Tapi bagaimana kita create value ke konsumen, itu sangat menentukan. Dan positioning kami adalah martabak hitam. Karena awal-awal orang akan penasaran dan trigger akan warna hitam. Waktu dia coba merasakan dan dia suka akan repertisi untuk membeli kembali,” jelasnya.

Oleh karena itu, mereka sempat mencoba bermacam-macam bahan untuk buat martabak supaya bisa jadi hitam. Ada tinta cumi dan yang lain-lain. Sampai akhirnya mendapati resep yang menggunakan tepung black forest. Dan itu dijadikan bahan utama hingga kini.

Selain itu, Ferdian juga mengaku meriset pasar untuk menentukan keunikan dari produk yang mereka tawarkan. Misalnya martabak Blackforest Creamy Mozaic. Penampilan martabak dengan diameter berukuran 30 sentimeter ini bak pelangi karena dipenuhi taburan sereal buah. Warna merah, kuning, hijau, biru, pink, coklat, dan aneka warna lain memenuhi setengah martabak.

Ia mengaku hanya memerlukan waktu kurang dari dua bulan untuk mencapai rasa yang pas sebelum produk itu diluncurkan. Gaya pemasaran pun dilakukan lewat media sosial. Hal itu karena pangsa pasar yang dituju adalah kalangan muda dan netizen, yaitu mereka yang akrab dengan media sosial.

“Ada tiga hal yang perlu dipahami dalam bisnis ini. Pertama What, ketika kita mau berbicara bisnis, mau jual apa? Karena di sini kita nggak bisa ngikuti orang. Di sini kita harus tahu kita mau jual apa, kita harus reset jadi tepat. Lalu Who, mau jual ke siapa? Harus tahu target market. Dan yang terakhir adalah How. Bagaimana kita berbicara melalui sosial media. Dan itu merupakan tools yang benar-benar tepat untuk memasarkan,” ungkap Ferdian.

Alhasil, meski baru setahun mulai usaha, BlackPool berhasil balik modal dengan cepat. Bahkan dengan sistem waralaba gerainya bertumbuh pesat dengan 7 gerai yakni di Gandaria, Tebet, Kedoya, Ancol, Bekasi, Bogor, Depok, dan Bintaro. Masing-masing gerai dengan omzet mencapai puluhan juta setiap bulannya. “Kami cukup bangga dengan hasil yang dicapai BlackPool. Apalagi dalam survey Go Food tercatat BlackPool menempati urutan ketiga order by Go-food terbanyak di Jakarta,” ucap pemuda kelahiran Baturaja, 19 Mei 1994 ini dengan bangga.

 

 

Ferdian Yosa, ketika menjadi pembicara dalam sebuah forum marketing di Universitas Bina Nusantara (Foto: Fahrul Anwar/Youngsters.id)
Ferdian Yosa, ketika menjadi pembicara dalam sebuah forum marketing di Universitas Bina Nusantara (Foto: Fahrul Anwar/Youngsters.id)

 

Belajar Banyak

Meski terbilang cepat menuai sukses, namun Ferdian masih ingin banyak belajar dalam mengelola bisnis ini. Apalagi bisnis ini menerapkan sistem waralaba sehingga harus menjaga kualitas dan komitmen.

Disebutkan penggemar olahraga bulu tangkis ini, di awal memulai bisnis ini mereka pernah mendapat kendala ketika terjadi “sabotase” pada pesanan pelanggan. Ketika itu pesanan sedang banyak, sehingga tak ada yang memperhatikan ketika meises yang dipergunakan diberi campuran sabun colek. Untung, pesanan itu berhasil dicegah sampai ke pelanggan sehingga bisa diganti dengan yang baru.

Pernah juga mereka menggelar promo untuk merayakan 17 Agustus 2016 dengan memberi harga semua varian Rp 45 ribu. Ternyata promo yang tadinya terbatas hanya untuk 17 orang beruntung menjadi bumerang. Pasalnya, antrian untuk itu mencapai 200 orang dan itu berakibat complain dari para pelanggan atas pelayanan. “Kami cukup kewalahan atas hal ini. Apalagi saya waktu itu lagi diopname, tapi harus menjawab telepon complain dari para pelanggan dan membalas komentar mereka di Instagram. Tapi secara brand awareness, kita gol,” kisah Ferdian sambil tertawa.

Dari pengalaman itu, bungsu dari dua bersaudara ini pun mengaku kembali banyak belajar. Mulai dari masalah kontrak bisnis franchise hingga dalam hal varian menu. “Kami mencoba untuk tidak melakukan hal yang itu-itu saja. Setiap bulan kami merencanakan menu terbaru dan selalu melakukan inovasi yang dapat memberikan menu yang berkualitas,” ungkapnya.

Konsistensi dalam mejaga kualitas produknya diwujudkan dengan cara menjaga ketebalan, rasa, kadar minyak dan lain sebagainya. Hal tersebut sangat penting untuk menjaga keseragaman antara keseluruhan franchise. Keterbukaan terhadap kritik dan saran, diwujudkan dengan tim khusus yang mencatat dan menanngapi kritik dan saran kepada Martabak Blackpool.

Ferdian punya filosofi bisnis, “Kehebatan bisa dengan mudah membuat orang di puncak.  Tapi kalau kita tidak punya karakter dan attitude kita tidak akan pernah benar-benar berada di puncak,” pungkas anak pasangan Darmiji dan Leviana Tania, dengan raut muka serius.

 

=================================

Ferdian Yosa

================================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version