Heinrich Vincent : Bangun Akses Investasi Gotong Royong

Heinrich Vincent, Founder & CEO Bizhare (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Pada dasarnya investasi merupakan kegiatan menanamkan modal pada suatu perusahaan atau aset dengan nilai yang tinggi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat di kemudian hari. Sayangnya, masih banyak orang, terutama milenial yang belum akrab dengan investasi.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kelompok usia 16-30 tahun atau yang sering disebut sebagai generasi milenial saat ini berjumlah sekitar 64,3 juta jiwa. Namun, dari kelompok tersebut yang memiliki investasi di pasar modal Indonesia (baik saham maupun reksa dana saham) hanya 1,6 juta jiwa (data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Selain itu, survei yang dilakukan IDN Research Institute bekerja sama dengan Alvara Research Center mendapati baru 10,7% dari pendapatan generasi milennial yang ditabung. Sebagian besar pendapatan atau 51,1% pendapatan habis untuk kebutuhan bulanan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran berinvestasi di kalangan milenial belum tinggi.

Sesungguhnya minat berinvestasi seringkali tertunda karena dana yang terbatas. Masalah inilah yang menginspirasi Heinrich Vincent, untuk membangun startup platform investasi online bernama Bizhare. “Kami ingin memberikan akses pada teman-teman yang mau menjadi investor,” ucap Vincent, founder dan CEO Bizhare kepada youngster.id saat ditemui belum lama ini di Jakarta.

Vincent menjelaskan Bizhare (bizare.id) adalah platform investasi bisnis franchise dan UKM bersama-sama dengan sistem urun dan berbasis kepemilikan saham (equity crowdfunding).

“Kami mempunyai visi membuat investasi bisnis, mudah, aman dan terjangkau bagi semua orang di Indonesia, sehingga banyak masyarakat Indonesia Bebas secara finansial, serta dapat memajukan perekonomian Indonesia secara lebih pesat,” ungkap pemuda kelahiran 18 Agustus 1994 itu.

Lebih lanjut Vincent menjelaskan bahwa Bizhare menawarkan bantuan bagi siapapun untuk berinvestasi di aset bisnis yang sudah berjalan, atau membuka bisnis franchise baru secara bersama-sama, bahkan dengan modal kecil. Sistemnya adalah equity crowdfunding, yaitu berbagi kepemilikan saham bisnis dan dapat profit sharing secara berkala dari bisnis tersebut.

Sejak berdiri 2017, kini Bizhare telah bermitra dengan beragam bisnis. Dari ritel, gerai makanan, hingga tambak udang, dengan nilai investasi per bisnisnya mulai dari Rp 200 juta hingga miliaran rupiah.

“Platform ini memberikan kemudahan bagi para investor untuk mengawasi perkembangan dari bisnis dimana dana mereka diinvestasikan, yang dapat diakses di manapun dan kapanpun secara online,” kata Vincent.

 

Pengalaman Pribadi

Vincent mengungkapkan bahwa ide dan inspirasi membangun bisnis ini berawal dari pengalaman pribadi saat masuk menjadi salah satu investor sebuah toko waralaba. Ketika itu, butuh modal Rp 1 miliar untuk satu gerai. Tentu itu bukan nilai sedikit bagi banyak orang.

“Waktu itu saya nggak punya uang sebanyak itu. Akhirnya saya patungan sama teman-teman. Dari situlah timbul ide mengapa tidak membuat cara investasi bersama (equity crowd investment),” ujarnya.

Oktober 2017 Bizhare berdiri. Vincent menggandeng tiga teman yang bertemu saat perhelatan Gerak Nasional 1.000 Startup Digital. Ketiga rekannya itu adalah Gatot Adhi Wibowo (menjadi CFO), Giovanni Umboh (CTO), dan Wahyu Sanjaya (CIO). Sementara dia sendiri didapuk menjadi CEO Bizhare.

“Saya menilai kalau ini semua merupakan kesempatan bagi setiap orang untuk mulai merintis bisnisnya sendiri walaupun dengan modal kecil. Selain itu, kami juga ingin dapat membantu para UKM untuk bisa scale up,” katanya.

Awalnya, Bizhare berbentuk grup Whatsapp (WAG). Isinya para calon investor yang terkumpul lewat getok tular. Interaksi pun terjadi. Setelah Vincent dkk. mengirimkan proposal ke pihak franchisor, mereka melemparnya ke grup. Siapa tertarik, lalu berinvestasi. Laporan dikirim rutin.

Lama-kelamaan, jumlah anggota berkembang. Bizhare lalu dikembangkan menjadi web-based, dan Juni 2019 akan menjadi aplikasi. Pertimbangannya: investor ingin lebih mudah memilih waralaba dan melihat hasil investasi. Sekarang, 14 ribu investor bergabung di Bizhare dengan investasi mulai dari Rp 5 juta.

“Sekarang ini kami masih fokus di industri franchise. Misalkan orang yang mau buka Alfamart, ada yang mau buka resto Padang Sederhana, tadinya butuh dana sekitar Rp 1- Rp 2 miliar, sekarang bisa dengan modal Rp 5 juta. Nanti akan ada kepemilikan saham di perusahaan, selain itu kami juga membantu distribusi dengan laporan bulanannya otomatis by system,” terang Vincent.

Saat ini rekanan pewaralaba (franchisor) yang bergabung makin beragam, mulai dari laundry, resto, hingga tambak udang. Di antaranya: Indomaret, Airy Rooms, Laundry Klin by KlinnKlin, Kedai Kopi Foresthree, Smokey Kebab, Fish Streat, Mr. Montir, dan Tambak Udang Vadame by Baba Rafi Group.

“Syarat dan caranya sangat mudah. Calon investor baru yang ingin bergabung cukup log in ke website kami yaitu Bizhare.id, kemudian daftar bisnis baru. Selanjutnya akan ada pengajuan proposal bisnis baru yang nantinya akan disurvey oleh tim kami,” jelasnya.

Dia juga meyakinkan buat masyarakat yang ingin bergabung dan berinvestasi melalui Bizhare tidak perlu takut. “Saat ini, kami telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan brand franchise yang terdaftar di Bizhare sekarang adalah brand yang jelas dan memiliki kredibilitas tinggi. Jadi tak perlu takut akan resiko investasi bodong,” tegasnya.

 

Melalui startup investasi bersama Bizhare, Vincent dkk ingin membuka kesempatan bagi milenial dan semua orang yang ingin berinvestasi dan mengembangkan usaha secara gotong royong (Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Transaparan

Membangun startup investasi ini bukanlah hal yang mudah. Meskipun, saat ini sudah banyak masyarakat yang telah melek digital, meraih kepercayaan masyarakat cukup sulit. Apalagi dengan kehadiran sejumlah perusahan investasi ilegal. Hal ini cukup merepotkan dan menjadi tantangan tersendiri untuk memperkenalkan Bizhare ke permukaan.

“Kendala yang ditemui kami lebih ke edukasi masyarakat. Walaupun sekarang banyak orang sudah melek dengan dunia digital dan investasi, kami harus berusaha keras untuk edukasi dan membangun kepercayaan mereka,” ungkap Vincent.

Untuk itu, bahkan Vincent mesti membangun konten khusus untuk mengedukasi masyarakat mengenai Bizhare di berbagai saluran media sosial seperti Instagram dan Youtube.

“Kami melakukan berbagai cara untuk mengedukasi masyarakat. Termasuk juga berkolaborasi dengan banyak pihak untuk melindungi industri dari fintech ilegal,” ujarnya.

Dia mengklaim Bizhare merupakan fintech equity crowdfunding pertama yang mendapat ijin dari OJK. Ada dua model bisnis yang diterapkan Bizhare. Pertama, dengan cara menggunakan platform fee dan deviden fee yang didapatnya dari investor yang telah bergabung sebesar 5%.

“Kami pakai revenue model di sini ada dua. Pertama platform fee, itu kami ambil sebesar 5% dari setiap total nilai investasi. Misal ada investor investasi sebesar RP 5 juta dan investor tersebut transfer ke kami sebesar Rp 5.250 ribu. Kemudian setiap bulan dan 3 bulan itu ada deviden fee. Nah, untuk deviden fee setiap 3 bulan itu kami ambil sebesar 5% sebagai jasa kami, untuk distribusi laporan keuangan, profit dan segala macam,” paparnya.

Ditambahkan Vincent, Bizhare dapat membantu sounding dan pembukaan pre investment untuk bisnis-bisnis UKM. Untuk menjaga kepercayaan, Vincent dkk. mengelola laporan keuangan serta pembagian profit. Keuntungan dikirim ke fitur e-wallet yang tersedia di website. Investor bisa mencairkannya, mentransfer ke rekening masing-masing. Laporan keuangan bisa dilihat di dashboard dan diunduh.

Agar maksimal, Bizhare memiliki tim pendukung (business support) untuk waralaba yang sudah dibuka. Jadi, dalam setiap waralaba yang dibuka, ada PT sendiri. Lalu, dari para investor, dipilih yang menjadi direktur serta komisaris. Merekalah yang berinteraksi dengan pewaralaba dan business support Bizhare.

Menurut Vincent, saat ini ada 12 bisnis waralaba yang dibangun dengan total dana yang diputar mencapai Rp 6,2 miliar. Dia menargetkan hingga akhir 2019 uang diputar mencapai Rp 40 miliar untuk mendanai 80 bisnis.

 

Bagi Vincent, modal utama untuk membuat suatu bisnis rintisan bukanlah uang atau investor, melainkan keberanian untuk terus bereksperimen, melakukan pengukuran, dan analisis (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Berani Bereksperimen

Vincent bersyukur, ketika mendirikan perusahaan rintisan ini bersama timnya di Bizhare tak memerlukan modal yang cukup besar. Startup ini baru memutuskan untuk bergabung sesuai ketentuan OJK setelah mendapatkan ratusan investor yang telah bergabung di platform besutannya ini.

“Sebenarnya kalau untuk modal, kami tetap mengikuti ketentuan dari OJK. Kalau di OJK modal awal harus Rp 2,5 miliar. Tapi kalau dari kami, di satu sisi lebih ke eksekusinya aja sih, sebelum ke OJK modal kami hanya Rp 10 juta, dan itu pun patungan berempat bareng founder lainnya,” ungkapnya sambil tersenyum.

Sarjana artitek itu menegaskan, pihaknya fokus untuk mendanai bisnis waralaba dan perusahaan konvensional yang telah berdiri lebih dari dua tahun. Ditargetkan, tahun ini Bizhare berencana mendanai 80 bidang usaha. Pasalnya, 2018 lalu Bizhare baru bisa menyalurkan investasi ke 12 gerai bisnis yang tersebar di beberapa daerah. Seperti di Jakarta, Bekasi, Bogor, Lampung, dan Surabaya. Tahun lalu, pendanaan yang berhasil dikumpulkan Bizhare senilai Rp 6,2 miliar.

“Tahun ini mendanai 80 bisnis. Total pendanaan yang bisa kami berikan per usaha itu sekitar seratusan juta sampai Rp 10 miliar,” sebutnya. Kini investor yang telah berinvestasi sudah mencapai 400 orang.

Vincent yakin startup yang dia bangun ini akan terus berkembang. Bahkan, dia berharap akan muncul kompetitor yang bersaing secara sehat. Dengan demikian industri dapat tumbuh dan lebih mendorong perekenomian di Indonesia lebih maju ke depannya.

“Kebetulan kami yang pertama memulai dan sampai saat ini kami masih menjadi yang terbesar dari total investment-nya. Tapi persaingan mulai banyak bermunculan melihat bisnisnya sudah mulai tumbuh. Dan itu bukan masalah, karena market di Indonesia masih luas banget. Jadi kalau kita garap bareng-bareng dengan kompetitor belum akan habis. Di sini tinggal bagaimana kita bisa bersaing dengan sehat, sekaligus bisa mengedukasi pasar,” terangnya.

Bagi Vincent, modal utama untuk membuat suatu bisnis rintisan bukanlah uang atau investor, melainkan keberanian untuk terus bereksperimen, melakukan pengukuran, dan analisis. Modal dapat ditambah, jika potensi bisnis rintisan sudah terlihat dan akan melakukan eskalasi bisnis.

“Bagi saya, yang penting bisa jalan dulu bisnisnya dan tidak perlu funding terlalu besar di awal.  Kecuali memang sudah mau ekspansi. Memang menjadi entreprenur itu tak semudah yang dibayangkan. Bisnis yang bangkrut itu terjadi karena orangnya tidak mau menjalani prosesnya. Padahal, kalau mau sabar dan konsisten menjalani pasti bisnis akan tetap bisa berkelanjutan,” pungkasnya.

 

===================

Heinrich Vincent

==================

 

FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia

Exit mobile version