youngster.id - Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, telah terjadi 46.168 kasus demam berdarah di Indonesia selama 12 pekan pertama di tahun 2024. Angka tersebut naik 2,5 kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan korban meninggal mencapai 350 orang. Hal ini membuat Indonesia berada di tengah-tengah krisis kesehatan yang serius.
Isu untuk menanggulangi krisis ini, menjadi pembahasan penting dalam pertemuan regional tahunan World Health Summit, yang diselenggarakan oleh Monash University pada 22–24 April 2024 di Melbourne.
Beberapa peneliti dari Monash University, Indonesia, juga akan terlibat. Salah satunya adalah Henry Surendra, epidemiologi penyakit menular dan Associate Professor of Public Health, yang menjadi anggota komite program World Health Summit, secara khusus merancang sesi “Emerging and re-emerging infectious health threats: Opportunities for effective regional coordination and leadership”.
“Penelitian dan pembelajaran adalah dua aspek akademik yang memainkan peran penting dalam meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat regional dan global. Meneliti isu-isu kesehatan masyarakat yang utama, seperti penyakit menular yang muncul dan kembali muncul, akan membantu kita memahami dinamika penularan penyakit, serta mengidentifikasi strategi pengendalian dan pencegahan yang efektif. Di sisi lain, pembelajaran yang inklusif akan mempercepat pengembangan tenaga kerja dan mempertahankan peran mereka di sektor kesehatan global dan kesehatan masyarakat,” ungkap Hery yang dikutip Selasa (9/4/2024).
Selain itu, sebagai Koordinator Program Master of Public Health, Monash University, Indonesia, dia akan bergabung dalam sesi “Breaking barriers, building bridges and shaping the future of public and global health education, khususnya membahas strategi untuk mengintegrasikan kompetensi budaya ke dalam kurikulum, mempromosikan inklusivitas dan responsif dalam menjawab kebutuhan kesehatan populasi yang beragam.
Lalu, Claudia Stoicescu, Associate Professor of Public Health, Monash University, Indonesia, membawa keahliannya dalam harm reduction, HIV, dan drug policy. Dia akan menyoroti tren terbaru dalam penggunaan metode detensi penyalahguna narkoba berkasus hukum (compulsory) di kawasan Asia Pasifik atas nama ‘rehabilitasi’, serta mengkaji beberapa alternatif berbasis komunitas dan sukarela (voluntary) yang menjanjikan, sebagai bahan diskusi dalam sesi “Rethinking drug policy: minimizing harm and unintended consequences session. Rehabilitasi penyalahguna narkoba berkasus hukum (compulsory drug treatment) kerap dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk minimnya proses hukum yang adil, kerja paksa, asupan gizi yang tidak memadai, kekerasan fisik dan seksual terhadap tahanan, dan penolakan terhadap layanan kesehatan dasar.
“Kawasan Asia Tenggara memegang peran penting dalam kesehatan global, dan apa yang akan kita diskusikan di Melbourne akan memiliki relevansi secara global. Pendekatan detensi narkoba yang bersifat menghukum di kawasan ini terus menjadi tantangan sosial dan kesehatan masyarakat yang mendesak, serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” ucapnya.
Pada tahun 2022, Dr. Stoicescu menjadi co-author Special Section Compulsory Drug Treatment and Rehabilitation, Health, and Human Rights dalam Health and Human Rights Journal publikasi Harvard University.
Pertemuan penting ini dihadiri oleh 150 pemimpin visioner dan pembawa perubahan dari berbagai sektor dan disiplin ilmu termasuk dari Indonesia.
Citra Indriani, peneliti Indonesia dari World Mosquito Program, inisiatif nirlaba dari Monash University, akan menjadi salah satu pembicara dalam satu dari lebih dari 40 sesi acara yang akan datang. Ia akan menjelaskan intervensi kesehatan berbasis ilmiah yang dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat untuk mengurangi kasus demam berdarah di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, Citra telah memelopori riset inovatif, di mana penelitian terbarunya pada 2022 menyoroti efektivitas uji acak terkendali yang melibatkan pelepasan nyamuk pembawa bakteri Wolbachia. Metode inovatif ini telah terbukti berkontribusi terhadap penurunan kasus demam berdarah sebesar 77% dibandingkan dengan daerah yang tidak mendapatkan penanganan.
Konferensi bertajuk Informed Prevention, Informed Care punya misi kolektif mengungkap misteri seputar penyakit tersebut, menemukan solusi yang inovatif, dan membangun jalan menuju masa depan yang lebih cerah dan lebih sehat di kawasan Asia Pasifik.
Doctor Svetozar Kovacevik, Director of Research and Graduate Research, Faculty of Medicine, Nursing, and Health Sciences, Monash University, mengemukakan pentingnya World Health Summit. “World Health Summit, salah satu pertemuan kesehatan global paling terkemuka di dunia, memberikan kesempatan langka untuk mempertemukan ahli-ahli dari berbagai kalangan, mulai dari pengambil kebijakan, pemerintah, akademisi, hingga LSM, untuk berkumpul setiap tahun di bawah satu atap mendiskusikan solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesehatan global,” ungkapnya.
Sementara Professor Sophia Zoungas, World Health Summit International Co-President 2024 sekaligus Head of the School of Public Health and Preventive Medicine, Monash University, menyatakan, Monash University menjadi tuan rumah World Health Summit Regional Meeting yang pertama di Australia.
STEVY WIDIA