youngster.id - Indonesia sangat kaya dengan sumber daya bahari salah satunya ikan tuna. Namun potensi ini belum bisa optimal karena wilayah yang luas. Kondisi ini mendorong mahasiswa Oceanografi Institut Teknologi Bandung(ITB) Muhammad Firman Nurrudin membangun alat pemantau tuna.
Berkat alat ini dia berhasil meraih juara pertama dalam kompetisi Esri Young Scholar Award 2021. Firman akan mewakili Indonesia di ajang Esri User Conference 2021 dan Esri Student Summit 2021.
Dalam kompetisi tersebut, Firman membuat sebuah karya yang dinamakan “Java Tuna Watch: Remote Sensing and GIS for Analyzing Tuna Fishing Ground Pattern in WPP RI 573 Area”. Karya ini merupakan suatu program berbasis web yang memanfaatkan teknologi Geographic Information System (GIS). Program ini dapat digunakan untuk memetakan daerah-daerah yang dapat dijadikan Tuna Protected Area dan bisa dijadikan landasan pertimbangan data bagi nelayan untuk menentukan waktu yang tepat dalam menangkap ikan Tuna
Mahasiswa asal Magelang, Jawa Tengah ini menjelaskan bahwa awal mula ia tertarik untuk membuat program tersebut ketika ia banyak berdiskusi dengan para nelayan asal Pangandaran dan Pantai Selatan Jawa.
“Saya sering diskusi bersama nelayan di daerah Pangandaran dan beberapa di daerah selatan Jawa. Ternyata belakangan ini mereka mengalami degradasi penangkapan ikan. Dari sana saya tahu bahwa ada permasalahan yang terjadi di bidang perikanan,” katanya seperti dikutip dari laman resmi ITB Kamis (6/5/2021).
Pada dasarnya, program yang digagas oleh Firman ini bekerja dengan memodelkan data klorofil dan suhu permukaan laut yang didapat melalui Satelit Aqua Modis menggunakan persamaan matematis yang diinput ke dalamnya. Data tersebut dibutuhkan untuk mengetahui keberadaan ikan pelagis kecil yang merupakan mangsa dari ikan tuna.
Setelah dimodelkan, data ini akan mengungkapkan di titik mana ikan pelagis tersebut berkumpul dan kemudian dapat dijadikan acuan untuk mengetahui keberadaan lokasi ikan tuna di laut.
Lebih lanjut, Firman menjelaskan bahwa beberapa kelebihan yang dimiliki alat ini adalah penggunaan biaya yang dikeluarkan tidak mahal dan mampu mendeskripsikan sisi lain dari permasalahan yang terjadi di dunia kelautan sehingga menarik untuk dikembangkan lebih lanjut.
Meskipun begitu, ia juga mengakui bahwa alatnya itu masih membutuhkan beberapa pengembangan, seperti melakukan penginputan data yang lebih banyak dan bervariasi, pembentukan tim pengembangan yang melibatkan berbagai ahli di bidangnya masing-masing, dan penggunaan data dengan periode lebih lama.
“Karena baru dibuat dalam jangka waktu dua bulan, tentu saja alat ini masih membutuhkan banyak input data yang lebih bervariasi, seperti data arus dan data gelombang. Proses ini membutuhkan waktu yang agak lama. Selain itu, kedepannya saya membutuhkan tim yang bisa bekerja sama untuk pengembangan alat ini agar output yang dihasilkan bisa maksimal,” jelasnya.
Firman berharap teknologi yang ia rancang saat ini dapat terus dikembangkan lebih lanjut ke depannya sehingga benar-benar bisa dimanfaatkan oleh nelayan di Indonesia.
STEVY WIDIA
Discussion about this post