youngster.id - Memasuki era digital ada banyak profesi baru yang lahir. Salah satunya adalah penulis konten. Namun profesi ini menuntut kemampuan tak sekadar menulis tetapi juga dapat mengenali pasar dan pemirsanya. Dengan demikan dapat memaksimalkan penyampaian informasi yang akan dicapai.
Hal itu, terungkap jelas dalam seminar Get Craft (Indonesia Creative Meet Up) dengan tema ‘How to Write Killer Native Ads’, Selasa (28/8/2018) di Dapur Ciragil, Jakarta. Seminar kali ini menghadirkan narasumber yakni, Iqbal Prakarsa, Head Marketing Communication Britagar.id, Jeko Iqbal Reza Technology Editor Liputan6.com dan Syarief Hidayatullah Sr. VP Creative GetCraft.
“Jadi ada banya cara banyak cara ketika brand ingin dikenal sebelum dijadikan konten. Karena kalau di tempat saya bekerja nggak hanya dalam bentuk artikel saja. Tetapi saya perhatikan belakangan ini sudah banyak cara dan perubahan yang kami lakukan. Salah satunya yang kami lakukan seperti membuat info grafis, selain artikel tadi,” kata Jeko.
Menurut dia, di era teknologi digital ini seorang penulis konten adalah seseorang yang mengenali pasar dan audiens serta memaksimalkan kesempatan dalam membuat campaign untuk menentukan kelayakan dan target konten. Hal itu perlu disertai pembekalan produk dengan informasi dan tren terkini, termasuk melakukan pengujian waktu publikasi merupakan cara yang jitu dalam memaksimalkan content marketing.
“Di perusahaan kami biasanya ada tim khusus, untuk meng-create artikel. Dan, kami dari redaksi berkolaborasi dengan tim marketing, sekaligus memberikan gambaran apa yang diinginkan sponsor dalam konten tersebut agar hasilnya sesuai dan luwes sesuai dengan apa yang diinginkan,” sambung dia.
Pandangan berbeda datang dari Iqbal Prakarsa, Head Marketing Communication Britagar.id. Ia mengungkapkan dalam menyikapi hal terkait konten marketing, keterikatan marketing konten sepenuhnya diserahkan pada tim tersebut tanpa melibatkan redaksi di dalamnya.
“Selama 3 tahun berdiri kami sudah memikirkan revenue konten dan kami mau cari uang dari mana dan kami menyebutnya sebagai konten marketing. Di tempat kami disebutnya sebagai (komar) dan totaly konten kreatif. Jadi media partner mereka yang mengerjakan, redaksi tidak campur tangan. Memang konsepnya masih advetorial, seperti bikin konten marketing yang baik seperti ini,” papar Iqbal.
Dia memberi contoh, untuk landscape di media sosial belanja semakin naik perlu pengetahuan, bagaimana cara menjualnya. Karena si pengiklan sekarang mau membeli dengan ide yang bagus bukan menampilkan brand yang besar.
“Pada dasarnya, kami juga mengambil referensi dari luar, karena tim yang nantinya bergerak harus dealing dengan pemilik brand. Di dalam perjalannya memang ada hal-hal dari agency yang tak bisa di-handle. Jadi harus kami kerjakan. Selain itu, kalau di tempat kami, AE (account executive) itu dituntut bagaimana supaya dapat uang. Kalau ada sesuatu yang rumit, kami pelajari kendalanya, kemudian kami carikan solusinya. Contoh, kami ada klien dari Bank, kalau sudah begitu kami harus melibatkan orang kami dari desk ekonomi,” ungkap Iqbal.
Namun saat disinggung bagaimana membedakan penulisan bagi konten berbayar, Jeko menegaskan, sulit dilakukan. “Untuk yang memang non brand tak berbayar misal ngebahas smartphone, kalo dari sisi kami memang kurang. Dan kadang nyaris mirip dengan berbayar atau tidak. Cuma kalo untuk brand-nya dari teman-teman ada special request sesuatu semacam konten khusus sehingga lebih enggage ke pembacanya dan kalau yang non brand ada gaya penulisan kami agar ke pembaca lebih kena,” pungkasnya.
FAHRUL ANWAR