Kisah Startup Tidak Selalu Segemilang yang Terdengar

Kisah startup tidak selalu segemilang yang terdengar (Foto: Ilustrasi/youngster.id)

youngster.id - Banyak bermunculannya bisnis rintisan (startup) dalam beberapa tahun terakhir merupakan fenomena menarik. Keberhasilan para startup ini banyak diberitakan media. Begitu pula di Indonesia. Tokopedia dan Gojek merupakan dua contoh startup yang berhasil itu. Tetapi, tahukah kamu, kisah para startup ini tidak selalu segemilang yang terdengar.

Seperti diketahui, berbagai media terus menyuarakan semarak keberhasilan startup di berbagai belahan dunia. Mulai dari langkah awal yang dramatis, kesempatan ekspansi yang strategis, hingga fundraising yang gemilang oleh para investor asing. Berita lain yang tidak kalah menariknya juga tentang merger dan akusisi (merger and acquisition), initial public offering (IPO), hingga berita kebangkrutan.

Begitu banyaknya berita dan kabar baik yang datang dari pengusaha-pengusaha baru itu telah memicu antusiasme kaum masyarakat yang lain untuk ikut unjuk coba menjadi pengusaha dan ikut berjuang dalam jajahan tren startup masa kini.

Ternyata, perjalanan startup itu tidak semanis yang terdengar. Terbuai oleh cerita nan indah, banyak sekali pemula startup yang tidak sadar apa yang akan mereka hadapi ke depan karena tujuan awal mereka hanya sekedar mengejar keuntungan material dalam jangka pendek, ingin bekerja sendiri, hingga ingin menjadi sorotan dalam masyakat. Dalam situasi ini, mendirikan startup tentunya bukan jalan yang tepat untuk kamu tempuh.

Oleh karena itu, tidak heran apabila beberapa dari founders startup langsung tumbang dalam menghadapi tantangan guna mengembangkan startup mereka. Berbagai masalah pun mulai berdatangan akibat kurangnya misi yang jelas, tidak ada empati dengan pelanggan, dan yang paling fatal adalah krisis komitmen untuk mengambil resiko, ketekunan dan daya tahan. Proses ini yang sering kita kenal dengan istilah “The Messy Middle”.

“The Messy Middle” dalam setiap startup

“The Messy Middle”, dalam istilah dunia startup mengarah pada segala proses yang sulit yang tidak terungkap dalam proses membangun sebuah startup. Di dalamnya terdapat banyak halangan dan perjuangan yang menyulitkan para founders untuk mengambil keputusan yang tepat dan tetap berada di jalan yang benar. Contohnya, konflik internal dalam tim, kehilangan daya saing produk dalam pasar, dan sebagainya. Beberapa masalah mungkin terdengar lazim dan dapat dihindari, namun kenyataannya founder tidak dapat menebak secara pasti tantangan apa yang akan ia hadapi dalam tahap ini.

Menurut Scott Belsky, sebuah investor dari Uber dan Pinterest dalam interview bersama Business Insider, terdapat 2 faktor penting yang menentukan keberhasilan sebuah startup, di antaranya adalah daya tahan dan optimalisasi.

Mendirikan startup membutuhkan daya tahan yang luar biasa. Tidak ada satupun orang yang akan berusaha memahami kerja keras dan kesibukan yang kamu jalani. Seiring dalam perjalanan yang akan kamu tempuh, banyak juga cemooh dan kritik hingga hasutan untuk berhenti. Pemasukan yang tidak stabil dan kurangnya dukungan juga merupakan hal lazim yang akan kamu temui. Hanya kekuatan pikiran dan tekad kuat dalam hatilah yang akan menentukan konsistensi langkah dari startup yang kamu bangun.

Optimalisasi konstan juga merupakan salah satu kunci untuk mempercepat keluarnya sebuah startup dari proses “The Messy Middle”. Memperbaiki apa yang semula gagal, optimalisasi sesuatu yang “baik” menjadi “lebih baik” hingga ide inovasi produk baru merupakan bentuk kerja keras para founder untuk membawa startup mereka sampai pada tahap selanjutnya. Tentunya, pertumbuhan ini harus disertai dengan eksekusi yang serius dan konstan.

Cases Study 1: Tinder

Sean Rad, Pendiri Tinder, telah mengalami masalah yang serupa dalam perjalanannya membangun sebuah aplikasi kencan yang kini menjadi aplikasi kencan tersukses di dunia. Perkembangan yang gemilang Tinder dibawahi oleh kepemimpinan seorang pengusaha muda yang penuh ambisi, sebelum akhirnya Sean Rad diminta untuk turun dari jabatan CEO-nya karena keraguan jajaran dewan akan kemampuannya memimpin dan mengambil keputusan.

Tidak hanya itu, Sean juga terlibat dalam beberapa konflik dengan mitra kerjanya sehingga kedua masalah tersebut membuat ia mengalami depresi berat dan meragukan kemampuannya dalam memimpin sebuah perusahaan. Beruntungnya, setelah mengingat kembali segala kerja keras dari awal membangun Tinder, Sean dapat bangkit kembali dan menyadari bahwa jabatan dan uang bukanlah hal yang paling penting, namun semangat dan cintanya dalam melakukan hal yang ia suka. Situasi ini pun akhirnya membuahkan hasil yang lebih baik.

Walaupun tidak lagi memegang kendali atas perusahaan, Sean kembali membantu menjalankan Tinder dengan jabatan sebagai chairman, tentunya dengan pemahaman yang lebih baik atas apa yang hendak ia lakukan untuk perusahaan tersebut.

Case Study 2: Buzzfeed

Buzzfeed, sebuah perusahaan berita dan entertainment, pada awalnya mengalami kesulitan dalam mencari pemasukan dengan konten yang mereka buat. Konten lain mereka seperti berita dan kuis yang menarik juga tidak bisa berkembang pesat dan viral seperti sekarang.

Konten Video sebagai contoh lainnya, tidak memiliki performa yang baik di website Buzzfeed maupun Youtube. Setelah mendalami alasan di baliknya, mereka menyadari adanya perubahan kebiasaan pengguna yang berpindah dari kanal media tradisional menuju media sosial seperti Facebook atau Twitter.

Hasil penelusuran mereka juga membuktikan bahwa model iklan banner patut dihindari karena cukup menginterupsi pengunjung saat mereka menggunakan mobile device dan juga mengakibatkan pengunjung untuk berpindah ke website yang lain. Di samping itu, lebih banyak pengunjung yang menggunakan perangkat ponsel sehingga dibutuhkan pemasaran konten yang lebih mobile-friendly. Oleh karena itu, mereka akhirnya memutuskan untuk memulai penyebaran konten mereka melalui Facebook.

Keputusan tersebut merupakan hal yang bijak! Penyebaran konten melalui Facebook kini telah mendatangkan jutaan penonton melalui Fanpage resmi Buzzfeed.

Di balik perjalanan membangun startup

Merintis Startup membutuhkan banyak perjuangan dan liku-liku. Namun, setiap kesulitan dan tantangan tersebut justru akan menjadi bagian terindah dari perjalanan sebuah startup karena kita terus diingatkan akan tekad dan semangat awal startup tersebut didirikan, dan mimpi yang akan diperjuangkan hingga akhir.

Startup mungkin bukan merupakan pilihanmu, jika kamu tidak memiliki daya tahan dan kemampuan untuk menangani segala stres yang mungkin hadir. Tentunya, perjuangan untuk membangun sebuah perusahaan yang memiliki value membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan. Mengapai mimpi yang gemilang juga tidak realistis apabila kamu tidak mencintai apa yang kamu lakukan dan tidak bersedia untuk meluangkan seluruh waktu, pikiran dan keringat untuk berjuang hingga akhir.

 

Edison Chen & Sisylia Angkirawan, dari Tagtoo.org

Exit mobile version