youngster.id - Menyadari generasi muda akan menjadi garda depan dalam menghadapi dampak perubahan iklim, British Council Bersama HSBC meluncurkan tiga proyek aksi iklim berbasis komunitas di Jawa Barat sebagai bagian dari program global Climate Skills. Tiga proyek Climate Action terpilih menerima hibah dan kini mulai diimplementasikan di komunitas mereka masing-masing di Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bandung Barat.
Summer Xia, Direktur Indonesia dan Asia Tenggara, British Council menilai krisis iklim bukan hanya masalah masa depan—ini adalah realitas yang sudah harus dihadapi hari ini. Menurutnya, anak muda perlu didorong bukan karena mereka yang paling terdampak, tetapi juga sebagai pemimpin perubahan.
“Melalui program ini bekerja sama dengan HSBC, kami ingin menciptakan ruang bagi mereka untuk belajar, berkolaborasi, dan memimpin solusi di komunitas masing-masing. Urgensinya sangat jelas dan waktunya adalah sekarang,” kata Summer, dikutip Rabu (28/5/2025).
Sebanyak 157 anak muda berusia 18–30 tahun dari berbagai kabupaten dan kota di Jawa Barat telah mengikuti pelatihan intensif selama tiga hari yang diselenggarakan dari Juni hingga Agustus 2024 lalu. Partisipan pelatihan mendapatkan bimbingan dari 150 fasilitator dan tenaga pendidik dari berbagai sektor, mulai dari pembuat kebijakan hingga praktisi lingkungan.
Di akhir program pelatihan, peserta diberikan kesempatan untuk mengajukan proposal Climate Action Project. Berikut ini tiga proyek terpilih yang mendapat hibah:
Buang Sampah Berhadiah. Di Sukabumi, ide inovasi pengelolaan sampah digital diprakarsai Ruswanto dan tim Sahabat Lingkungan, proyek ini menggabungkan teknologi mesin Reverse Vending Machine (RVM) dengan sistem penghargaan (reward) digital yang dikemas sebagai Your Waste Solution. Melalui aplikasi Saling.id, warga, khususnya pelajar yang mendaur ulang botol plastik akan mendapatkan poin yang bisa ditukar menjadi e-money atau hadiah lainnya.
Berbeda dengan mesin penjual otomatis lainnya, pengguna tidak mengeluarkan uang untuk mendapat barang yang diinginkan. Justru, mesin akan memberikan reward uang digital sebagai imbalan atas sampah yang diterima.
Mesin ini nantinya akan diletakkan di tempat yang selalu ramai dan dengan orang-orang mudah beradaptasi dengan teknologi baru, seperti sekolah. SMAN 2 Sukabumi menjadi pilihan. Meskipun sudah ada upaya dari pihak sekolah untuk membuat skema pengelolaan sampah dengan pemilahan, namun tingkat efektivitasnya masih jauh dari yang diharapkan.
“Sampah plastik adalah masalah yang kita lihat setiap hari. Setelah memilah-milah, selanjutnya apa? Perjalanan satu bungkus plastik tidak seharusnya berhenti di tempat sampah. Dengan pendekatan berbasis teknologi dan insentif, kami ingin menciptakan kebiasaan baru yang lebih ramah lingkungan,” jelas Ruswanto yang merupakan salah satu pendiri organisasi non-pemerintah Sahabat Lingkungan (Saling.id).
Setelah banyak terkumpul, sampah kemudian akan dicacah dan diolah untuk menjadi bahan untuk produk baru. Dengan begitu, tercipta ekonomi sirkular yang bisa terus dipertahankan. Sampah plastik tidak berhenti menjadi sampah yang menggunung, tapi bisa didaur ulang dan dimanfaatkan untuk barang-barang lain dengan aspek fungsionalitas yang memiliki nilai jual.
Dari pelatihan green skills yang diperoleh dari program Climate Skills, ia dengan timnya ingin membuat program pengelolaan sampah yang mudah dan menyenangkan, dua komponen yang dapat memotivasi generasi muda untuk mulai peduli dan bertanggung jawab atas sampahnya. Pengalaman pengguna dioptimalkan melalui sistem reward dari reverse vending machine ini membuat orang terus tertarik menggunakannya. Secara bersamaan, upaya daur ulang pun juga dilakukan.
“Meskipun sudah lama berkecimpung dalam upaya-upaya yang berkaitan dengan isu lingkungan, tapi tantangan untuk menciptakan program yang bisa terus dilakukan oleh siapapun tetap ada. Ide ini muncul dalam sesi brainstorming selama pelatihan yang diselenggarakan oleh British Council dan HSBC—menggabungkan dampak lingkungan dan teknologi dengan sebuah twist,” ungkap Ruswanto.
Budidaya Ikan dan Tanaman Bertenaga Matahari. Berpindah ke Cianjur, Fatimah dari LLHPB Aisyiyah Cianjur dan timnya menggabungkan sistem akuaponik—budidaya ikan dan tanaman dalam ekosistem air tertutup—dengan panel surya sebagai sumber tenaga, menjadi Aquaponic Solar Panel. Proyek ini dirancang sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan lokal sekaligus mengurangi jejak karbon.
Proyek ini juga menjadi penting sebagai upaya dan kontribusi masyarakat mempersiapkan ketahanan pangan saat menghadapi kebencanaan, mengingat Cianjur sendiri baru saja diguncang gempa yang cukup besar dan mengganggu kesejahteraan sejumlah masyarakatnya.
“Ide ini muncul karena kami ingin mengurangi ketergantungan pada pasokan eksternal, sekaligus menekankan pada pemberdayaan komunitas melalui pertanian berkelanjutan. Tapi jalan menuju sana tentu tidak mudah, apalagi kami juga ingin agar murid-murid dengan gurunya bisa berpartisipasi langsung,” ujar Fatimah.
Bersama dengan timnya, Fatimah sangat memahami bagaimana ketahanan pangan merupakan sesuatu yang dengan mudah terganggu. Pengalaman mengelola berbagai program adaptasi perubahan iklim dan tanggap bencana berbasis komunitas, termasuk respons terhadap gempa Cianjur yang melibatkan banyak pemangku kepentingan menjadi landasan untuk proyek ini.
Melalui pelatihan Climate Skills, mereka memperdalam pemahaman teknis mereka tentang sistem pertanian berkelanjutan, serta keterampilan praktis untuk menerapkannya di komunitas lokal. Apa yang sebelumnya hanya sebatas pengetahuan, kini mulai dialihwujudkan menjadi aksi nyata yang dapat memberi dampak jangka panjang bagi lingkungan sekitar mereka.
Meski masih dalam tahap persiapan, proyek ini memiliki proyeksi besar untuk menciptakan sumber pangan mandiri yang hemat energi, ramah lingkungan—dan menciptakan lingkungan masyarakat yang berkesinambungan dengan lingkungan, sejak usia sedini mungkin.
“Dengan akuaponik bertenaga surya, kami ingin menjawab dua persoalan besar sekaligus: keterbatasan akses pangan sehat dan tantangan energi berkelanjutan di komunitas kami. Melalui proyek ini, kami tidak hanya membawa teknologi, tapi juga membangun kesadaran kolektif dan semangat gotong royong agar komunitas kami, mulai dari anak-anak pun, sudah teredukasi dan lebih siap menghadapi masa depan,” tutup Fatimah.
Transisi Pertanian Berkelanjutan. Sama-sama berinovasi dengan teknologi panel surya, Gama Subarkah dan timnya mengembangkan Climate Agriculture Integration (CAI), sebuah proyek yang menitikberatkan pada transisi menuju pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bandung Barat. Proyek ini menggabungkan sistem irigasi tetes (drip irrigation) yang hemat air dan sistem pascapanen menggunakan cold storage dengan interpolasi sumber listrik alternatif, yaitu tenaga surya, untuk menjaga kesegaran hasil panen dan mengurangi food loss yang rentan terjadi karena sistem penyimpanan yang tidak optimal—dua tantangan besar yang selama ini dihadapi petani paprika di wilayah tersebut.
“Banyak petani-petani paprika kewalahan menghadapi perubahan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi dan mereka kerap mengalami kerugian karena hasil panen membusuk sebelum sempat dijual. Melalui penggunaan cold storage dan aplikasi PLTS, kami ingin memperpanjang umur simpan hasil panen sekaligus menekan limbah pangan,” papar Gama.
Sebelumnya, ia bertanggung jawab mengelola program Kampung Lestari di Bandung Barat yang fokus pada pengelolaan sampah rumah tangga. CAI digagas oleh tim multidisipliner dengan latar belakang yang kuat di bidang pertanian, energi, dan pemberdayaan masyarakat.
Proyek ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dari petani dengan teknologi irigasi tetes air dan energi terbarukan. Selain itu, salah satu yang penting dari CAI adalah pelibatan kader PKK, petani wanita, hingga warga dalam mengelola produk pascapanen yang dapat bermanfaat untuk kebutuhan keluarga.
“Kami ingin membangun kesadaran dari ibu-ibu dan warga sekitar kebun untuk dapat memanfaatkan paprika sebagai pangan keluarga dan bisa menambah nilai ekonomi dengan mengelola paprika yang tidak terserap oleh pasar,” tambahnya.
Dengan menggabungkan inovasi teknologi, pendekatan berbasis komunitas, dan semangat kemandirian, proyek CAI diharapkan menjadi model pertanian masa depan yang tangguh terhadap perubahan iklim, sekaligus membuka akses terhadap teknologi ramah lingkungan bagi masyarakat yang selama ini kurang terjangkau.
Ketiga proyek ini sejalan dengan ambisi Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 73% dan menciptakan enam juta lapangan kerja hijau pada 2060. Program Climate Skills juga menjadi bagian dari upaya global British Council didukung oleh HSBC untuk membangun jejaring komunitas muda lintas negara untuk berbagi wawasan dan pengalaman serta saling menginspirasi.
Program Climate Skills menjadi bukti bahwa ketika komunitas diberi akses pada pendidikan iklim yang tepat, mereka mampu menciptakan solusi yang relevan, inklusif, dan berkelanjutan dari bawah ke atas.
“Proyek-proyek ini membuktikan bahwa dengan kepercayaan dan dukungan yang tepat, anak muda mampu memimpin perubahan—dan itu adalah harapan terbaik kita untuk masa depan,” tutup Summer. (*AMBS)
Discussion about this post