youngster.id - Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mengalami kemajuan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Kemudahan mengakses produk-produk berbasis AI pun turut mendorong masyarakat untuk semakin memanfaatkannya di berbagai aspek kehidupan.
Namun, terlepas dari kenyamanan dan efisiensi yang ditawarkan, terdapat juga kekhawatiran di antara masyarakat Indonesia mengenai etika, privasi, dan dampak teknologi ini terhadap masa depan dunia kerja. Hal ini yang mendasari Populix untuk meluncurkan whitepaper berjudul “Indonesia 2023 A.I. Living Landscape” dengan tujuan untuk memberikan panduan tentang cara menavigasi perkembangan teknologi AI terkini dari sudut pandang masyarakat dan industri.
Co-Founder dan CTO Populix, Jonathan Benhi mengatakan, pesatnya kemajuan teknologi artificial intelligence (AI) tak luput dari berbagai faktor, termasuk peningkatan daya komputasi, ketersediaan kumpulan data yang semakin luas, dan terobosan inovatif dalam desain algoritma.
Sejatinya AI membawa sekumpulan manfaat sekaligus risiko dalam penerapannya. Salah satu manfaat dari teknologi ini yakni mampu mengefisiensikan pekerjaan yang berulang dan menganalisis data secara akurat, sehingga mendorong potensi bisnis untuk terus tumbuh dengan cepat. Namun, dalam penggunaannya, AI sangat bergantung pada Big Data dan data pribadi yang berpotensi bocor atau disalahgunakan.
“Oleh sebab itu, diperlukan penerapan AI yang bertanggung jawab dengan mengedepankan prinsip-prinsip etika dan transparansi di sepanjang siklus hidup AI. Tujuannya adalah untuk memastikan sistem AI tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai sosial dan standar etika yang berlaku di Indonesia,” Jonathan, Rabu (30/11/2023).
Sentimen masyarakat terhadap masa depan dunia pekerjaan di era kemajuan AI sangat beragam. Bagi sebagian responden, kekhawatiran terhadap pemanfaatan AI yang dapat menggantikan peran manusia di lingkup pekerjaan tampak besar.
Sebanyak 55% responden menyatakan bahwa mereka khawatir pekerjaan mereka akan digantikan oleh AI. Kekhawatiran masyarakat akan kehilangan pekerjaan ini pun kemudian berdampak pada ketidakpuasan kerja dan meningkatnya stres.
Di sisi lain, banyak orang menganggap AI memungkinkan proses kerja yang lebih efisien berkat kemampuan dalam mengotomatisasi tugas-tugas sederhana dan bersifat berulang. Dengan demikian, karyawan dapat lebih fokus pada aspek pekerjaan yang menuntut sisi kreatif.
Selain itu, analisis dan wawasan yang digerakkan oleh AI juga dapat memberikan informasi yang sangat berharga untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat dan merumuskan strategi yang lebih efektif. Dengan peningkatan kualitas pekerjaan yang didukung oleh AI tersebut, karyawan merasa lebih puas dengan hasil pekerjaannya.
Kini, AI banyak dimanfaatkan untuk membuat konten, termasuk konten iklan. Dengan dukungan AI, perusahaan dapat memanfaatkan Big Data untuk menyesuaikan pesan iklan dengan preferensi individu, sehingga menciptakan konten yang lebih relevan bagi audiens. Personalisasi ini tidak hanya meningkatkan pengalaman pengguna secara keseluruhan, tetapi juga menghasilkan iklan dengan konsep unik dan menarik minat mereka. Bahkan, 37% responden mengatakan tertarik dengan iklan yang didukung oleh AI dan menganggapnya sebagai bagian dari pengalaman digital mereka.
Selain itu, lebih dari sekedar personalisasi iklan dan marketing, AI juga kerap digunakan untuk proses pengambilan keputusan algoritmik di berbagai sektor, seperti persetujuan pinjaman dan rekrutmen kerja. Dengan tujuan untuk pengambilan keputusan secara lebih cepat dan berbasis data, pemanfaatan AI yang berbasis mesin pembelajaran ini pun memunculkan kekhawatiran akan risiko bias dan diskriminasi dalam penerapannya.
AI merupakan pedang bermata dua. Selain menawarkan potensi yang sangat besar, pemanfaatan teknologi ini juga memiliki segudang risiko. Tak hanya ancaman terhadap berkurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, AI juga menimbulkan kekhawatiran dari sisi privasi, keamanan, hingga bias.
Teknologi AI yang berasal dari mesin pembelajaran membawa risiko bias dan diskriminasi ketika dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam konteks perekrutan tenaga kerja, persetujuan pinjaman, dan peradilan pidana. Sementara itu, pengumpulan dan pemanfaatan data pribadi secara ekstensif untuk pengaplikasian teknologi AI menimbulkan pertanyaan tentang privasi data.
Hal ini berpotensi pada pelanggaran data hingga penyalahgunaan informasi pribadi. Lebih dari itu, semakin canggihnya serangan siber yang didukung AI pun turut membawa ancaman serius terhadap keamanan online. Dengan minimnya keterampilan literasi internet yang diajarkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, risiko penipuan yang didukung AI menjadi semakin meresahkan.
Untuk itu perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu mengambil serangkaian upaya untuk memastikan penggunaan AI yang bertanggung jawab. Misalnya, untuk mengurangi risiko bias dalam penggunaan AI, perusahaan dapat melakukan audit pada data yang digunakan untuk melatih model AI. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa pengumpulan data dan pelabelan data bersifat netral serta mencakup representatif demografi yang merata.
Pada tahap desain dan pengembangan model AI, perusahaan juga perlu menetapkan pedoman etika yang jelas dan sejalan dengan nilai-nilai masyarakat dan standar hukum yang berlaku, serta melakukan uji coba dan pengecekan secara berkala untuk mendeteksi masalah-masalah keamanan dan privasi yang berpotensi timbul di kemudian hari.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan oleh perusahaan adalah memastikan transparansi dengan memberikan penjelasan terperinci mengenai cara sistem AI beroperasi dan mengambil keputusan.
“Dengan menerapkan serangkaian upaya-upaya ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia diharapkan dapat semakin berkembang dengan dukungan dan penerapan AI yang bertanggung jawab,” tutup Jonathan. (*AMBS)
Discussion about this post