Meidy Fitranto : Memberi Otak Pada Perangkat Elektronik

Meidy Fitranto, CEO & Cofounder Nodeflux (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Dunia tengah dibanjiri berbagai penemuan baru di bidang teknologi yang berdampak pada kehidupan manusia. Mulai dari artificial intelligence (AI) hingga produk-produk berbasis teknologi yang menakjubkan. Kemampuan untuk membuat produk berteknologi canggih tidak hanya terjadi di negara luar, tetapi juga di Indonesia.

Ya, Indonesia turut mengalami perkembangan teknologi yang signifikan. Bahkan berkat sejumlah anak muda, kita tidak pernah ketinggalan mengikuti tren teknologi dan menciptakan inovasi-inovasi terbaru di bidang tersebut. Dan, kini dengan penggunaan teknologi big data, startup lokal bernama Nodeflux dapat menghadirkan solusi yang dapat memberi “otak” kepada perangkat elektronik, mulai dari CCTV, webcam hingga smartphone.

“Nodeflux ini merupakan salah satu platform komputasi terdistribusi atau distributed computation platform yang mampu digunakan dalam skala besar. Jadi melalui platform Nodeflux Anda bisa seperti memberi otak kepada berbagai perangkat elektronik, mulai dari CCTV, webcam, hingga smartphone, agar dapat berfungsi secara cerdas,” kata Meidy Fitranto, Cofounder & CEO Nodeflux, kepada youngster.id saat ditemui di kawasan Mega Kuningan Jakarta baru-baru ini.

Meidy mengungkapkan, saat ini kecerdasan buatan yang berbasis mesin atau komputer dapat melakukan kegiatan berpikir layaknya manusia. Bahkan, kecerdasan buatan bisa mengenali dan mendengar layaknya manusia.

Computer vision membuat mesin bisa melakukan pengenalan objek, mengenali manusia, gender, hingga rentang usia,” katanya.

Meidy menjelaskan, Nodeflux bergerak di bidang AI dan video analytics, menggunakan teknologi machine learning dan deep learning. Platform tersebut bisa mengenali objek seperti manusia dan mobil, dan kemudian menyimpan dan mengolah data dari objek tersebut.

“Teknologi ini menghadirkan solusi dalam pengelolaan kota pintar. Dengan platform ini pemerintah bisa memantau tingkat kepadatan penumpang di berbagai halte Transjakarta, juga bisa mencegah angkutan umum yang berhenti sembarangan, dan memantau tindakan masyarakat yang buang sampah sembarangan, hingga kendaraan yang masuk jalur bus Transjakarta,” jelas Meidy.

Menurut Meidy, pemanfaatan CCTV sendiri, sebenarnya hanya satu dari sekian banyak solusi lain yang bisa dihadirkan oleh Nodeflux. Mesin mereka pun bisa mengolah data dalam bentuk lain, seperti teks dan suara. Sehingga platform ini dapat mendukung sistem keamanan kota pintar.

“Jadi dalam perjalananya selama 3 tahun ini, kami juga melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Misalkan untuk mendapatkan data wajah masyarakat Indonesia yang jumlahnya jutaan. Di sini Nodeflux terhubung dengan data Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), yang memiliki 155 juta data wajah. Sedangkan untuk pengenalan plat nomor kendaraan terhubung dengan basis data dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sehingga dengan data plat nomor yang tertangkap secara langsung dicocokkan dengan database kendaraan nasional di kepolisian,” jelas Meidy.

 

Meidy Fitranto bersama rekannya yang juga alumni Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) Faris Rahman (CTO) mendirikan startup Nodeflux pada tahun 2016 (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Tren Big Data

Meidy pun menceritakan, bisnis teknologi kini tengah berkembang di Tanah Air, terutama AI. “Arena teknologi AI masih jarang di Indonesia. Makanya kami masuk ke pengembangan AI,” ungkapnya.

Nodeflux dibangun Meidy bersama rekannya yang juga alumni Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) Faris Rahman (CTO) pada 2016. Uniknya meski solusi yang mereka hadirkan terbilang cukup canggih dari sisi teknologi, keduanya justru belum pernah bekerja di perusahaan maupun startup teknologi.

“Saya sebelumnya bekerja di bidang energi (minyak dan gas bumi), sedangkan Faris di perusahaan konstruksi. Sedangkan soal membangun bisnis, saya justru pernah masuk ke bidang kuliner dengan membuat restoran bernama Sushiboon bersama beberapa rekan ketika kuliah,” ujar pria kelahiran Jakarta, 22 Mei 1988 ini sambil tertawa.

Mereka mulai proyek platform karena mendapat tawaran untuk membuat software pengolah teks yang berguna untuk pemantauan media (media monitoring). Namun, kemudian Meidy menyadari kalau proyek software sudah terlalu banyak pemain. Sebaliknya dia melihat tren Big Data.

“Kami melihat tren Big Data yang terus berkembang, dan tertarik untuk membuat produk unik yang bisa membawa perubahan di tengah masyarakat. Tapi dalam perjalanannya kami fokus ke gambar dan video karena produk seperti itu bisa mudah diimplementasikan dan memberi banyak manfaat positif,” ujar Meidy.

Mulailah mereka membangun algoritme pengolahan data sendiri (scratch). Meidy mengaku untuk itu mereka mengumpulkan modal cukup besar. “Membangun Nodeflux cukup besar modal awal yang kami keluarkan, sekitar Rp 300 juta sampai Rp 400 juta,” ujar Meidy. Pasalnya mereka ingin menghadrikan solusi dengan didukung oleh perangkat dengan banyak bahasa peprograman.

Untuk membuat teknologi seperti yang dihadirkan Nodeflux, tentu diperlukan kehadiran developer yang mumpuni. Meidy mengaku kalau ia beruntung bisa mendapat deretan developer ahli, mulai dari yang telah mempunyai gelar Master, hingga mereka yang telah berpengalaman bekerja di perusahaan teknologi dalam dan luar negeri.

“Sewaktu memulai, kami membuat sebuah situs yang unik untuk merekrut para developer tersebut. Di situs itu, kami mengatakan kalau kami adalah Profesor Xavier dalam film X-Men yang sedang mencari mutant untuk diajak bergabung, dan memberikan beberapa tes menantang. Dan hasilnya, banyak developer yang kemudian tertarik,” kenang Meidy.

Saat ini, mereka telah mempunyai 73 karyawan, dengan hanya satu orang di antaranya yang bekerja di bidang non teknis. Bahkan, mereka belum mempunyai karyawan sales untuk menjual produk mereka.

Sepanjang tahun 2016, Nodeflux hanya fokus untuk mengembangkan produk mereka. Beruntung, mereka berhasil mendapat pendanaan tahap awal (seed funding) dari Adskom, Qlue, serta Prasetia Dwidharma. Baru pada bulan Februari 2017 yang lalu mereka akhirnya mengenalkan produk tersebut kepada para calon konsumen.

 

Menurut Meidy, kini Nodeflux masuk sebagai daftar perusahaan teknlogi dunia yang menggunakan Big Data (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Fokus Pasar Indonesia

Platform yang ditawarkan Nodeflux terbilang canggih. Dan Meidy mengakui, awalnya sulit untuk menawarkan solusi ini kepada konsumen.

“Tahun lalu kami kesulitan, karena kami start dari city development. Sekarang kami baru melakukan engineering, dan kami sudah mulai masuk ke sektor private. Mayoritas dari mereka terkesan dengan teknologi yang kami buat. Dan kebetulan, banyak sekali proses manual yang ternyata bisa digantikan oleh Nodeflux,” ujar Meidy.

Pesaing utama mereka terutama dari developer luar seperti Tiongkok, Jepang dan Rusia. “Kalau soal persaingan paling besar dari Tiongkok, tetapi pemain terkuat di bisnis ini adalah Jepang dan Rusia. Tapi kami optimis saja, karena mereka terbatas untuk pasar lokal. Jadi kalau ada masalah teknis kami lebih cepat bisa menangani. Harga kami juga sangat bersaing,” ungkapnya.

Belum lama ini, pada gelaran Asian Games 2018, Nodeflux bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menyediakan teknologi pengenalan wajah yang dipasang di CCTV. Tujuannya untuk memantau keamanan. Tidak hanya itu, melalui kecerdasan buatan, startup yang bermarkas di Kemang ini juga mampu mengestimasi berapa banyak jumlah massa dari sebuah kerumuman.

Untuk melakukan monetisasi, Nodeflux menerapkan metode subscription. Menurut mereka, metode ini jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli perangkat smart surveillance yang telah banyak dijual saat ini, serta mengelola sistem di baliknya. Sayang Meidy enggan mengungkapkan omzet yang diperoleh Nodeflux saat ini.

Berkat platform ini Nodeflux masuk sebagai daftar perusahaan teknlogi dunia yang menggunakan Big Data. Meidy optimis jika startup ini akan terus berkembang, apalagi peluang bisnis AI masih sangat besar di Indonesia. Oleh kerana itu, Meidy memiliki visi bagaimana mendorong teknologi AI di Indonesia bisa seperti China, yang dengan dukungan pemerintahnya ingin merajai AI di dunia.

“Secara teknologi, ini bersifat open source sehingga gap informasi antarnegara bisa lebih sedikit. Secara informasi, kita juga bisa belajar teknologi yang sudah maju. Kita bisa beririsan sekaligus bersaing dengan pemain bisnis teknologi AI lainnya,” katanya.

Selain dalam pemantauan keamanan, Nodeflux telah terlibat dalam proyek kamera keamanan yang memantau event olahraga terbesar di Asia, Asian Games 2018 Jakarta-Palembang, dan IMF-World Bank Group Annual Meeting 2018 di Nusa Dua, Bali.

Ketika Asian Games 2018, Nodeflux bekerja sama dengan Kepolisian RI untuk menyediakan teknologi pengenalan wajah yang dipasang di CCTV. Tujuannya untuk memantau keamanan. Selain itu, melalui kecerdasan buatan, startup yang bermarkas di Kemang, Jakarta Selatan, ini juga mampu mengestimasi berapa banyak jumlah massa dari sebuah kerumuman.

“Kami terus optimistis dengan bisnis ini. Apalagi platform Nodeflux masih satu-satunya buatan anak bangsa ini Indonesia dan  yang membanggakan platform ini masuk sebagai perusahaan teknologi dalam penggunaan big data di nomer ke 24 dunia, sejajar dengan perusahaan teknologi yang ada didunia” tutup Meidy

 

====================================

Meidy Fitranto

====================================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version