Mitos atau Fakta: Otak Kanan Seniman VS Otak Kiri Ilmuwan

Ilustrasi otak

Mitos atau Fakta: Otak Kanan Seniman VS Otak Kiri Ilmuwan (Foto: Ilustrasi)

youngster.id - Selama ini banyak yang menganggap kalau kepribadian, gaya berpikir, atau cara kita melakukan sesuatu dipengaruhi oleh bagian sisi otak yang dominan. Banyak yang percaya jika orang yang dominan menggunakan otak kiri cenderung kuat di logika, sementara orang yang dominan menggunakan otak kanan cenderung kreatif atau berbakat di bidang seni.

Pemahaman ini berasal dari penelitian oleh seorang ilmuwan Prancis, Pierre Paul Broca, yang pertama kali mengidentifikasi bahwa kemampuan berbicara berhubungan dengan bagian otak depan kiri. Jika area ini mengalami kerusakan, individu dapat mengalami kesulitan berkomunikasi atau bahkan mengalami stroke ringan. Selain itu, Broca juga mencatat bahwa memutus jembatan otak (corpus callosum), yang menghubungkan otak kanan dan kiri, dapat mengurangi kejang pada penderita epilepsi.

Namun, dr. Roslan Yusni Hasan, seorang Pakar Neurosains dari Indonesia, yang sering disapa dr. Ryu Hasan, mengungkapkan bahwa persepsi ini adalah kesalahpahaman masyarakat. Menurutnya, penelitian Broca telah memberikan manfaat besar, terutama bagi penderita epilepsi, namun pandangan mengenai perbedaan dominasi otak perlu disesuaikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Jeffrey Anderson dari Universitas Utah pada tahun 2013 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dominasi otak yang signifikan. Sementara Stephen M. Kosslyn dari Harvard juga menyatakan bahwa meskipun ada perbedaan dalam fungsi otak, kedua bagian otak bekerja sama dalam memproses detail dan bentuk.

“Meskipun ada bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi tertentu, otak bekerja sebagai sebuah kesatuan. Sebagai contoh, seorang pelukis menggunakan otak kanan untuk memproses warna dan bentuk, namun otak kiri juga diperlukan untuk menggerakkan tangan dan berkoordinasi dengan kuas di atas kanvas,” kata Founder dan CEO Zenius Sabda PS, Jum’at (29/9/2023).

Keterbatasan pandangan ini dapat mencegah seseorang dari eksplorasi berbagai keterampilan baru. Sebagai contoh, seseorang yang dianggap sebagai “otak kanan” mungkin enggan mempelajari matematika atau logika karena merasa bahwa hal tersebut lebih sesuai untuk otak kiri mereka. Akibatnya, mitos ini juga dapat memengaruhi keputusan pendidikan seseorang, seperti menghindari mata pelajaran tertentu hanya karena dianggap tidak sesuai dengan tipe otak mereka.

“Setiap orang harus memiliki growth mindset, harus senantiasa berpikir jika otak kita sangat plastis, fleksibel. IQ bisa ditingkatkan, karakter bisa dibangun, kebiasaan bisa diperbaiki. dan segala kemampuan seperti kreativitas, seni, logika, matematika, bisa dilatih dan dipelajari. Lebih baik kita fokus pada growth mindset dari pada terperangkap dengan stereotip otak kanan dan otak kiri,” tutup Sabda.

Kesimpulannya, tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan otak kanan maupun otak kiri dalam hal dominasi fungsi karena otak bekerja secara bersamaan sebagai sebuah kesatuan. Daripada terperangkap dengan otak kanan atau otak kiri, lebih baik fokus ke growth mindset, sehingga kita bisa meraih potensi penuh dari diri kita dan menjadi apa pun yang kita mau.

 

HENNI S.

Exit mobile version