youngster.id - Hasil riset Amartha terhadap pelaku usaha mikro dan ultra mikro menunjukkan bahwa pelaku usaha ini sudah memiliki tingkat inklusi keuangan yang baik, dengan skor 84,33. Namun hasil riset ini juga menunjukkan belum banyak UMKM yang memanfaatkan kanal digital untuk mengembangkan usaha mereka.
Chief Risk & Sustainability Officer PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) Aria Widyanto, mengungkapkan, tujuan utama Amartha meluncurkan riset ini adalah untuk mengetahui fakta di lapangan, faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong UMKM untuk lebih maju dilihat dari kacamata inklusi keuangan dan adopsi teknologi.
“Kami mendapatkan temuan bahwa pelaku usaha mikro dan ultra mikro di Indonesia sudah cukup melek dengan inklusi keuangan, tetapi belum mahir memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan usahanya. Jadi penggunaan teknologi masih sebatas pada keperluan komunikasi harian atau hiburan saja,” unkap Aria dalam keterangannya, Jumat (15/4/2022).
Aria mengatakan, riset yang bertajuk “The Indonesia Grassroot Entrepreneur Report” ini diukur menggunakan Amartha Prosperity Index. Ini adalah sebuah indeks yang disusun untuk memahami bagaimana kondisi pelaku usaha ultra mikro dan kecil pada saat ini dalam ranah perilaku finansial dan digital.
Survei ini dilakukan pada bulan November 2021 dan melibatkan 402 orang pelaku usaha mikro dan ultra mikro yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Bodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Riset mengutamakan responden yang berdomisili di wilayah sub-urban, sesuai dengan karakteristik mitra Amartha.
“Dari hasil riset ini ditemukan bahwa dimensi adopsi digital berperan lebih besar dalam mendorong akselerasi bisnis para pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Kemudian, diikuti oleh dimensi pemanfaatan produk keuangan, serta dimensi inklusi finansial. Adopsi digital di segmen ini sudah cukup baik dengan perolehan skor 66,08,” papar Aria.
Menurut dia, 97% pelaku usaha mikro dan ultra mikro sudah memiliki perangkat/gadget, akses internet, dan penggunaan media sosial. Tetapi, penggunaan e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar masih sangat rendah, dengan perolehan skor 20,50.
Dalam hal pemanfaatan produk keuangan untuk tingkat lanjutan, hasilnya diperoleh skor sebesar 29,98. Itu artinya para pelaku UMKM sudah terinklusi oleh produk keuangan tetapi penggunaannya hanya sebatas transaksi umum saja, belum dioptimalkan untuk mengembangkan usaha. Dari survei ini pula, terlihat bahwa 92% UMKM memulai usaha mereka dari modal pribadi. Hanya sekitar 34% yang melakukan pinjaman dari institusi formal seperti perbankan.
Angka pengguna fintech juga masih sangat rendah, yakni hanya 2,7% pelaku UMKM yang mendapat modal berkat pinjaman fintech. Alasan utamanya adalah, mereka khawatir tidak sanggup membayar pinjamannya, sehingga lebih memilih tabungan pribadi saja.
“Ini merupakan peluang besar khususnya bagi Amartha, karena pangsa pasar UMKM yang belum terlayani akses permodalan masih sangat banyak. Stigma bahwa berutang merupakan hal buruk, sebenarnya bisa diluruskan. Pinjaman produktif seperti yang disediakan oleh Amartha justru dapat membuka peluang bagi UMKM untuk lebih maju dan sejahtera, apalagi pelayanan Amartha tidak terbatas pada pemberian modal saja, tetapi juga pendampingan usaha,” paparnya.
Amartha sebagai perusahaan fintech yang berfokus pada pemberdayaan perempuan pengusaha mikro cukup gencar melakukan edukasi literasi keuangan dan digital untuk para mitranya. Lebih dari 103 ribu mitra telah mengikuti pelatihan literasi keuangan, dan lebih dari 45 ribu mitra memperoleh edukasi kewirausahaan dari Amartha. Dampaknya, lebih dari 25% mitra Amartha sudah membiasakan diri untuk melakukan pencatatan keuangan, sehingga lebih disiplin dalam menabung dan mampu membeli aset baru dari hasil menabung.
STEVY WIDIA