youngster.id - Saat ini, perusahaan tengah berevolusi dari struktur hierarki yang tradisional menjadi ekosistem yang lebih leluasa dan disokong oleh AI. Keberadaan tim hybrid, yang terlahir dari kolaborasi manusia dan agen AI, memungkinkan perusahaan bergerak lebih cepat, mengambil keputusan yang lebih baik, dan menciptakan nilai tambah di setiap jenjang pekerjaan.
Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Work Tren Indeks 2025 bertajuk “2025: The Year the Frontier Firm is Born,” yang dirilis Microsoft. Laporan ini mengungkap, perubahan ini bukan hanya soal tren teknologi semata, melainkan sebuah perubahan yang berdampak terhadap cara kita bekerja. Guna membuka potensi ekonomi baru berbasis AI dan memanfaatkan momentum yang ada, kita tidak hanya berbicara soal adopsi teknologi saja. Diperlukan mindset baru yang memadukan kepemimpinan manusia dan bantuan intelligence on tap, di mana wawasan dan kapabilitas manusia didukung sepenuhnya oleh AI.
Kini, perusahaan dari berbagai sektor tengah bergerak cepat menciptakan kolaborasi antara manusia dan AI, di mana agen digital bekerja berdampingan dengan manusia. Kolaborasi ini membuka jalan bagi terbentuknya struktur baru yang beroperasi dengan alur kerja cerdas, tim kerja yang dinahkodai oleh agen AI, serta peran baru manusia yang dikenal dengan istilah agent boss. Inilah ciri khas dari perusahaan masa depan yang dalam laporan ini disebut sebagai Frontier Firm.
Dharma Simorangkir, President Director of Microsoft Indonesia mengatakan, Frontier Firm bukan hanya perihal model bisnis baru, melainkan peluang besar bagi Indonesia untuk melangkah lebih jauh lagi.
“Era ketika AI mengubah setiap aspek pekerjaan adalah momen yang justru memberikan kita kesempatan untuk melampaui batasan yang ada dan mendorong adanya terobosan untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi. Dengan mindset dan investasi yang tepat, perusahaan di Indonesia dapat memanfaatkan kolaborasi antara manusia dan AI untuk menciptakan alur kerja yang benar-benar berbeda, yang lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih berdampak. Inilah cara kita membangun bisnis yang berdaya saing global, sekaligus mencerminkan kecerdasan serta ambisi luhur kita.” ujar Dharma, Senin (23/6/2025).
Proses menjadi sebuah Frontier Firm berlangsung dalam tiga fase utama. Pertama, AI berperan sebagai asisten yang membantu mengerjakan pekerjaan repetitif dan meningkatkan efisiensi kerja. Selanjutnya, agen AI tersebut mulai mengambil peran yang lebih spesifik sebagai rekan kerja digital untuk mendukung aktivitas seperti riset atau perencanaan proyek. Di fase akhir, agen AI mulai mengelola alur kerja secara mandiri, sementara manusia berfokus pada strategi dan turun tangan hanya jika diperlukan.
Evolusi ini bukan sekadar teori belaka, melainkan telah menjadi kekuatan penggerak ekonomi yang membuat bisnis mampu melampaui sistem lama dan bersaing lebih efektif di tingkat global. Dengan mengadopsi model Frontier Firm, perusahaan di Indonesia memiliki peluang unik untuk meningkatkan produktivitas, mempercepat inovasi di berbagai sektor, seperti layanan keuangan, layanan publik, serta usaha kecil dan menengah (UMKM), yang akhirnya turut mendorong pertumbuhan inklusif dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Laporan itu menyebutkan, sekitar 63% pemimpin bisnis di Indonesia menyatakan bahwa produktivitas harus ditingkatkan, namun 88% tenaga kerja, baik karyawan maupun para pemimpin bisnis, mengaku kekurangan waktu atau energi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Untuk mengatasi hal ini, 95% pemimpin bisnis di Indonesia menyatakan mereka yakin akan penggunaan agen AI sebagai anggota tim digital pendukung, guna memperluas kapasitas kerja dalam satu hingga dua tahun ke depan. Lebih dari separuhnya, atau sekitar 52%, menjadikan penambahan kapasitas tim dengan tenaga kerja digital sebagai prioritas utama, lalu diikuti peningkatan kapasitas melalui kegiatan upskilling.
Karyawan di perusahaan yang mengadopsi model Frontier Firm di Indonesia lebih dari dua kali lipat lebih optimis bahwa perusahaan tempat mereka bekerja sedang berkembang—sentimen yang lebih besar dibandingkan rata-rata angka global dan di Asia-Pasifik. Bahkan, hampir tiga kali lipat dari mereka yang percaya diri dalam menghadapi beban kerja yang besar dan merasa memiliki kesempatan untuk fokus ke pekerjaan yang penting.
Di Indonesia, 59% pemimpin menyatakan bahwa perusahaan mereka sudah menggunakan agen AI untuk mengotomatisasi pekerjaan—angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata di Asia-Pasifik yang sebesar 53%.
Semakin banyak karyawan di Indonesia memanfaatkan AI berkat ketersediaan dan fungsinya yang praktis. Hampir setengahnya (48%) menyatakan lebih memilih mengandalkan AI dibandingkan rekan kerja karena AI siap sedia selama 24 jam penuh. Tidak hanya itu, sebanyak 28% karyawan mengatakan bahwa kecepatan adalah alasannya, sementara 38% lainnya mengarah pada kemampuan berpikir kreatif AI. Menariknya, 66% pekerja menganggap AI sebagai teman diskusi, sementara 33% lainnya menganggapnya lebih dari sekedar tools yang suka diperintah.
lima tahun ke depan, para pemimpin bisnis di Indonesia memperkirakan tim mereka akan mulai menjalankan tugas baru. Sebanyak 48% berharap AI akan dimanfaatkan untuk merancang ulang proses kerja, 63% berencana membangun multi-agent systems, sementara 69% akan fokus pada pelatihan, dan 58% lainnya akan mengelola agen AI secara langsung.
Mengingat AI mulai mengubah cara kerja tim, 65% manajer di Indonesia memperkirakan bahwa pelatihan dan upskilling AI akan menjadi bagian penting untuk tim mereka ke depannya. Namun, masih ada kesenjangan yang tertinggal. Meskipun 87% pemimpin sudah memahami konsep agen AI, hanya 56% karyawan yang memiliki tingkat pemahaman yang sama. Menjembatani kesenjangan ini sangat penting untuk memastikan adopsi AI yang inklusif dan berjangka panjang untuk ketenagakerjaan.
“Inilah saatnya kita berinvestasi untuk manusia, mengembangkan keterampilan baru, dan membangun budaya kerja di mana setiap orang siap menjadi agent boss. Dengan mengatasi kesenjangan ini, kita tidak hanya sekadar mengadopsi teknologi, tetapi juga membuka seluruh potensi yang dimiliki tenaga kerja kita, serta membangun masa depan kerja yang lebih inklusif dan inovatif,” tutup Dharma. (*AMBS)
Discussion about this post