Pratiwi Hamdhana : Berdayakan Difabel Di Indonesia Timur Lewat Tenun

Pratiwi Hamdhana AM, Founder & Managing Director Tenoon (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

youngster.id - Kaum difabel jumlahnya mencapai sekitar 30 juta dari populasi penduduk Indonesia. Selain harus menjalani keterbatasan fisik, mereka masih menghadapi tantangan, khususnya di bidang ketersediaan lapangan pekerjaan. Padahal produk dari penyandang disabilitas ini tidak kalah dengan pekerja normal.

Menurut Data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah total penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 21 juta jiwa. Dari jumlah tersebut usia angkatan kerjanya kurang lebih sebanyak 11 juta jiwa dan 96,31 persen di antaranya telah bekerja di berbagai sektor pekerjaan. Sedang yang masih menganggur ada 4%.

Sebelumnya dari penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia pada akhir 2017 memperkirakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 12,15%. Sementara untuk prevalensi disabilitas provinsi di Indonesia antara 6,41% hingga 18,75%. Dan tiga provinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi adalah Sumatra Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan.

Rendahnya penyerapan penyandang disabilitas ini sangat memprihatinkan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah diamanatkan bahwa tiap 100 pekerja, perusahaan wajib mengambil 1% dari kelompok difabel.

Ingin berkontribusi dalam masalah ini, Pratiwi Hamdhana AM memutuskan untuk membangun Tenoon, sebuah wirausaha sosial yang memberdayakan kaum disabilitas terutama di wilayah Indonesia Timur.

“Belakangan ini usaha yang berdampak sosial mulai bermunculan di Indonesia. Kami turut ambil bagian dalam hal ini, yaitu dengan membuat produk berlabel Tenoon. Ini adalah produk kerajinan tangan hasil karya dari teman-teman difabel dan kaum marjinal dari Indonesia Timur,” ungkap Pratiwi, Founder dan Managing Director Tenoon, saat ditemui youngster.id di Jakarta.

Perempuan yang akrab disapa Wiwi ini mengaku ingin membangun bisnis yang bisa berdampak bagi lingkungan sekitar. “Kebetulan saya kuliah di jurusan yang mengarahkan saya untuk menjadi wirausaha. Tapi saya merasa kalau sekadar untuk wirausaha saja sudah banyak yang melakukan. Sementara saya melihat wirausaha sosial masih kurang di Indonesia. Saya pun memutuskan untuk jadi sociopreneur dengan model bisnis yang dapat menggabungkan bisnis dengan dampak sosial,” ungkap lulusan S2 University of Warwick MSc ini.

Pilihan ini membuat lajang asal Makassar ini pun memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mendirikan Tenoon pada pertengahan 2017. “Saya riset, ternyata di kawasan Indonesia Timur terutama di Sulawesi Selatan jumlah penyandang disabilitas itu banyak. Dan ternyata sedikit dari mereka yang mendapatkan pekerjaan. Karena itulah saya memutuskan untuk fokus di Indonesia Timur, apalagi kampung saya di sana,” ungkap Wiwi.

 

Sang Pemimpi

Perempuan kelahiran Makassar, 22 Maret 1992 ini mengaku bahwa ia adalah seorang pemimpi besar. Dia percaya dengan konsep Mestakung, semesta mendukung. Bahwa apapun yang ingin diwujudkan itu akan mendapat dukungan dari alam semesta. Termasuk cita-citanya menjadi seorang pengusaha.

“Dari TK saya sangat senang berjualan atau berdagang. Sampai akhirnya saya mengenal istilah wirausaha. Saya bercita-cita menjadi pengusaha. Saya berjualan dari TK, SMP, SMA, hingga mendirikan usaha pertama saya di semester kedua dan berjalan selama 6 tahun,” kata pendiri Studio 123 itu.

Namun panggilan jiwanya untuk berpetualang sangatlah besar. Wiwi pun memutuskan untuk mewujudkan mimpinya berkeliling dunia. “Saya lahir dan tumbuh besar di salah satu kota di bagian timur Indonesia. Setelah lulus kuliah saya merantau selama 4 tahun ke 2 benua berbeda dan sempat menetap satu tahun di pulau kecil di Papua Barat,” kisah mantan volunteer di Indonesia Mengajar itu.

Sampai kemudian dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2 di di Universitas Warwick.  Di sini lewat mata kuliah Innovation and Entrepreneurship, dia tertarik dengan program wirausaha sosial. Dan konsep inipun dia bawa pulang dengan membangun Tenoon.

“Saya percaya setiap mimpi memiliki kesempatan yang sama untuk diperjuangkan. Itulah yang menginspirasi saya untuk memulai proyek kolaborasi kreatif dengan teman-teman difabel dan kaum marjinal para pengrajin tenun di Indonesia Timur, dan akhirnya lahirlah Tenoon,” tegas Wiwi.

Dia mengaku modal bisnis ini tidaklah banyak. “Dimulai dengan apa yang saya punya. Tidak banyak dan bootstrapping. Yang penting saya bisa punya produk dulu dan jualan untuk kegiatan berkelanjutan,” ujarnya sambil tersenyum.

Yang menjadi masalah terbesar di awal adalah mencari tenaga kerja disabilitas. Menurut Wiwi, karena stigma yang terlanjur melekat membuat banyak penyandang difabel tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan. “Waktu awal mulai, saya ketemu dengan seorang teman difabel yang ingin bekerja. Tetapi dia ternyata tidak bisa menjahit. Lalu banyak juga yang apply melalui lowongan kerja yang kami buka di Kerjabilitas, tetapi lagi-lagi mereka tidak punya skill seperti yang kami harapkan,” kisahnya.

Akhirnya, Wiwi memutuskan untuk mengubah keadaan. Dia menerima para pelamar yang mau bekerjasama tanpa melihat kemampuan keahlian khusus tersebut. “Kami memutuskan untuk memberi mereka training menjahit. Sehingga akhirnya keterampilan mereka bertambah dan bisa mendapatkan pekerjaan seperti yang kami inginkan,” katanya.

Saat ini sudah ada tiga orang pekerja tetap dan enam orang mitra yang semuanya penyandang disablitas bekerja bagi Tenoon. Selain itu, Wiwi mengaku Tenoon terus melakukan workshop rutin bagi para penyandang disablitas di sekitar wilayah Makassar.

“Selain mendapat ketreampilan, mereka juga bisa memperoleh penghasilan untuk meningkatkan taraf hidup mereka,” ujar Wiwi lagi.

 

Melalui Tenoon, Pratiwi Hamdhana AM ingin memberdayakan para poenyandang disabilitas (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

 

Misi dan Harapan

Wiwi mengaku, produk dari tenun ini dipilih karena dia sendiri cinta dengan kain etnik. Bahan bakunya dia ambil dari Bima, Toraja dan Mamasa. “Kami fokus utama mengambil sumber daya dari Indonesia Timur,” ujarnya.

Lalu dengan ilmu yang dia peroleh dari pendidikan di luar negeri dia menerapkan konsep modern dalam model bisnis. Termasuk mengandalkan pemasaran online. Alhasil, dengan usaha dan ketekunan, Tenoon yang dibangun sejak November 2016 mulai memperlihatkan hasil. Kini label ini telah memiliki sejumlah produk andalan berupa notebook dan tas. Dengan harga yang cukup bergengsi produk ini mampu meraih penjualan hingga 1000 pieces per bulan.

Selain penjualan di web sendiri, Tenoon juga hadir di sejumlah marketplace, termasuk dari Australia. “Kami juga menjual produk di platform yang khusus menjajakan barang handmade secara internasional,” ujar Wiwi.

Meski mulai bisa melihat hasil mimpinya Wiwi mengaku masih banyak yang ingin dia raih. Apalagi dia melihat kehidupan pengrajin tenun terutama di wilayah Indonesia Timur juga masih jauh dari sejahtera.

“Misi kami yakni mengenalkan tenun ke lebih banyak anak muda. Makanya produk kami sebisa mungkin mengikuti tren,” ucap penggemar nasi goreng itu. Alhasil produk Tenoon cepat meraih pasar. “Yang paling best seller adalah tas notebook yang penjualannya bisa mencapai 1.000 piece dalam satu bulan. Sedangkan untuk tas bisa 200-300 pieces per bulan,” ungkapnya. Harga yang dijual untuk berbagai produk Tenoon ini, mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 500 ribu per piece.

Hal ini karena bisnis model Tenoon tidak hanya mengandalkan Business to Customer tetapi juga Business to Business. “Kami tidak punya stok banyak karena modal terbatas,” ujarnya.

Sesungghnya Wiwi berharap bisa menaikkan produksi. Karena dengan begitu dia dapat membuka lapangan pekerjaan bagi kaum disabilitas lebih besar lagi. Namun, dia juga berhadapan dengan tantangan supply bahan baku bagi produksi.

“Tantangan sekarang ada pada suply chain dari kain tenun di berbagai daerah. Pasalnya produksi kain tenun itu tidak secepat membuat kain lain. Satu kain tenun yang lebar kurang dari 1 meter dengan panjang 2 meter, pengerjaannya bisa satu bulan. Kami juga tidak dapat memaksakan mitra penenun untuk berproduksi massal dan cepat. Nanti kualitas akan berbeda,” ungkapnya.

Akhirnya untuk menyiasati hal itu, Wiwi mengaku mencari lebih banyak penenun. “Kami ingin makin banyak orang terutama anak muda mencintai produk Tenoon. Dengan meningkatkan demand maka akan mendorong para pengrajin tenun khususnya di Indonesia Timur untuk terus berproduksi. Dengan demikian produksi juga akan meningkat dan jumlah pekerja difabel yang kami rekrut juga semakin banyak. Itu cita-cita kami,” pungkas Wiwi.

 

=====================================

Pratiwi Hamdhana AM 

 ===================================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version