Shari Semesta : Fashion Itu Tak Selalu Jahat Ke Lingkungan

Shari Semesta, Founder, Designer & CEO Imaji Studio (Foto: Stevy Widia/Youngsters.id)

youngster.id - Industri mode kerap menjadi faktor penyebab pencemaran lingkungan. Namun belakangan ini muncul tren untuk menerapkan sustainable fashion, yang juga disebut eco design.

Ya, selama ini karena tuntutan sandang secara massal, maka industri fesyen pun bergerak cepat. Hal itu membuat kegiatan produksi lebih banyak menggunakan bahan-bahan kimia beracun yang bisa mencemari lingkungan, misalnya dari pewarna kimia. Tentunya, penggunaan pewarna kimia akan mencemari lingkungan ketika berakhir sebagai limbah yang tidak dikelola dengan baik.

Energi yang digunakan untuk industri ini juga tidak sedikit. Bayangkan, sebagai industri terbesar di dunia yang menyuplai kebutuhan sandang untuk semua manusia, pabrik pakaian menggunakan banyak listrik untuk menggerakan mesin-mesinnya, belum lagi air.

Namun perlahan kesadaran akan lingkungan membuat para pelaku industri fesyen mulai gencar menerapkan slow fashion. Dalam slow fashion, orang menjadi lebih menghargai proses kreatif dari pakaian yang dikenakannya, rela memakainya selama bertahun-tahun hingga akhirnya pakaian itu tidak dipakai karena memang sudah tidak bisa dipakai lagi.

Meski belum banyak, di Tanah Air mulai bermunculan para pelaku industri mode dengan konsep slow fashion ini. Salah satunya adalah Imaji Studio, sebuah rumah mode yang menghadirkan karya fesyen berbasis bahan alami. Tak hanya itu mereka juga mendidik para pelanggannya untuk menghargai nilai kreativitas dan budaya dalam setiap produk yang mereka buat.

“Kami memang ingin mengurangi polusi fesyen. Karena bagi kami fesyen itu tak harus jahat ke lingkungan,” ungkap Shari Semesta, Founder dari Imaji Studio kepada Youngsters.id.

Produk fesyen dari Imaji Studio terbuat dari katun yang ditenun di Bali dengan menggunakan pewarna alami, yaitu kulit pohon dan daun-daun untuk mencetak motif di kain. Tak hanya itu, usaha yang dimulai sejak Agustus 2015 ini juga bekerjasama dengan puluhan pengrajin lokal di Bali dan Yogyakarta.

Menurut Shari, mereka menjalankan konsep sustainable fashion, atau disebut juga eco fashion. “Kami mengembangkan industri fesyen dengan cara-cara yang etis, mulai dari penggunaan bahan, perlakuan terhadap pekerja, sampai dalam hal memasarkan pun harus menerapkan sistem perdagangan yang mengutamakan dialog, transparansi, dan saling menghormati agar tercapai kesetaraan dalam perdagangan (fair trade),” ungkapnya.

Disebutkan Shari, semua produk Imaji Studio dikerjakan dengan tenaga manusia. Mulai dari pembuatan kain tenun, pembuatan motif pada kain hingga produksi menjadi busana, semua dikerjakan dalam rangkaian proses yang cukup panjang. Tak heran, jika produk Imaji ini terbilang limited edition. Bahkan, Shari mengaku dalam satu tahun mereka hanya meluncurkan tiga koleksi dengan jumlah sekitar 10 pieces per koleksi.

“Kami mengutamakan ide bagaimana produk yang dibuat bisa tahan lama, dan digunakan dalam waktu panjang karena memiliki kualitas baik,” ucap Shari lagi.

 

Produk fesyen Imaji Studio (Foto: Imaji STudio/Youngsters.id)

 

Nilai Budaya

Imaji Studio didirikan oleh Shari bersama sahabatnya, Lyris Alvina. Uniknya mereka berdua bukan berlatar belakang dari dunia fesyen. Shari adalah lulusan S2 master of media and cultural studies, Edith Cowan University. Sedangkan Lyris adalah seorang desain grafis.

Menurut perempuan kelahiran 13 Mei 1990 itu, ide untuk terjun ke industri mode itu berawal dari perjalanan ia dan Lyris ke berbagai tempat wisata. “Dari perjalanan itu muncul ide untuk membuat clothing line yang tidak saja punya desain yang unik, tetapi juga memiliki nilai seni dan tradisi di dalamnya,” ungkapnya.

Kecintaan pada dunia seni turut mendorong akan hal itu. Padahal putri dari penari kawakan Waty Sarwono ini belum pernah berbisnis busana sebelumnya.

“Saya penari tradisional sama seperti ibu. Saya juga banyak bergerak di bidang budaya. Jadi saat punya usaha saya ingin juga mengembangkan tradisi. Karena passion saya di fesyen, maka saya ingin punya clothing line yang memiliki nilai tradisonal, pilihannya adalah dengan natural dye (pencelupan alami),” ungkapnya.

Pilihan itu, kata Shari, terinspirasi dari batik masa lalu yang mereka temui di Yogyakarta maupun Bali. Namun tak ingin sekadar batik, mereka pun mencari keunikan lain dari batik. ”Kami harus bisa menghadirkan sesuatu yang berbeda yang bisa appeal ke anak muda. Ketemulah pengrajin yang memiliki teknik airbrush, steam dan sponse untuk mencetak motif pada kain. Dari sanalah kami mulai produk ini,” sambung Shari.

Dengan bermodalkan Rp 200 juta, dana patungan berdua, proses produksi pun dimulai. “Kami sudah cocok dengan ide itu, jadi nekad aja untuk buat clothing line. Kami belajar desain fesyen secara otodidak,” ujarnya.

Menurut Shari, hampir satu tahun mereka bereskperimen, trial and error, untuk mendapatkan kain, motif dan mode yang sesuai.

Semua mereka kerjakan sendiri, mulai dari mencari pengrajin, membuat pola motif, pola baju hingga pemotretan, pemasaran di media sosial Instagram dan pengepakan ke pelanggan. “Semua kami kerjakan karena passion,” ujarnya sambil tersenyum.

Belakangan, sang suami Leo Pradana pun ikut terlibat dalam bisnis ini dan menjadi head of desain lini pria yang akan segera diluncurkan pertengahan tahun 2017. Produk Imaji Studio juga hadir di gerai bergengsi seperti Goodsdept Kemang Village dan sejumlah situs toko online ternama.

Shari Semesta dan Leo Pradana, co-Founder Imaji Studio, ingin mengembangkan industri fesyen yang ramah lingkungan (Foto: Stevy Widia/Youngsters.id)

Mendidik Pasar

Mode dari busana Imaji Studio memang terbilang sederhana namun unik. Potongan modern dalam tampilan yang etnik. Menurut Shari, filosofi Imaji Studio adalah jiwa wabi-sabi, yaitu filosofi Jepang yang mengakui keindahan dari ketidaksempuranaan pada benda-benda buatan tangan manusia.

Namun perempuan yang murah senyum ini mengakui tidak mudah memperkenalkan konsep slow fashion, yang memang belum begitu lazim di masyarakat Indonesia. Tak heran, di awal usaha Shari mengaku mengalami kesulitan dalam memperkenalkan produk Imaji Studio. Apalagi, masih banyak pembeli yang hanya sebatas melihat harga. Mereka cukup kaget mendapati produk Imaji Studio yang dibanderol mulai dari harga Rp 200 hingga Rp 1,5 juta.

Shari tidak berputus asa untuk memperkenalkan produk ini. Dia terus memberi pemahaman akan proses pembuatan kain katun yang ditenun tangan. Selain itu, bahan baku yang digunakan adalah bahan organik tanpa sedikitpun campuran kimia. Bahkan, untuk mencetak pola daun, mereka benar-benar menggunakan daun asli yang ditempelkan ke kain hingga membentuk cetakan.

“Kami memang ingin mendidik pasar bahwa ada makna dalam setiap produk kami. Dan kami akhirnya menemukan loyal customer. Mereka memang peduli dengan lingkungan, budaya dan kualitas,” ucapnya. Salah satunya adalah penyanyi Neo Nomora dari Los Angeles, AS.

“Kami buat customize piece untuk penampilan dia di panggung,” ujar Shari bangga. Menariknya kostum panggung ini dibuat dari sisa kain alias perca dari produksi Imaji Studio.

“Jadi kami punya program zero waste project. Semua sisa kain perca dari produksi kami tidak dibuang, tapi kami olah kembali menjadi aksesori, bahkan busana baru,” ucapnya.

Di sisi lain, Imaji Studio juga meningkatkan kerjasama dengan puluhan pengrajin di Bali dan Yogyakarta. “Kami menerapkan hubungan yang baik dan etis dengan para pengrajin. Sampai dalam hal memasarkan pun kami mengutamakan dialog, etis, saling menghormati dan fair trade dan sepadan dengan yang mereka kerjakan,” klaim Shari.

Alhasil, perlahan usaha ini semakin berkembang. Bahkan, diklaim Shari sudah break event point di tahun kedua. Oleh karena itu, Shari mengaku akan berinovasi dan mengembangkan usaha ini. Untuk itu, rencananya di pertengahan tahun 2017 mereka akan meluncurkan koleksi busana pria.

Shari juga menilai pasar industri ini mulai berkembang dan mendapat tempat di hati para pecinta fesyen Indonesia.

“Sekarang di Indonesia sustainable fashion mulai berkembang, makin besar awareness orang akan produk slow fashion. Dan enaknya, di industri ini sesama pelaku industri sustainable fashion tidak berlaku sebagai pesaing. Kami saling mendukung dan membantu untuk maju,” pungkas Shari.

 

============================================

Shari Semesta Susilo

========================================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version