youngster.id - Perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang tidak dikelola dengan baik berpotensi memperlebar ketimpangan global. Negara-negara memasuki era AI dengan kesiapan yang sangat berbeda, dan tanpa kebijakan yang tepat, kesenjangan tersebut dapat semakin dalam.
Hal itu terungkap dalam laporan terbaru United Nations Development Programme (UNDP) berjudul “The Next Great Divergence: Why AI May Widen Inequality Between Countries”.
“AI berkembang sangat pesat, dan banyak negara masih berada di garis start. Pengalaman Asia dan Pasifik menunjukkan betapa cepatnya kesenjangan dapat muncul antara negara yang menguasai AI dan negara yang dikendalikan AI,” ujar Kanni Wignaraja, Asisten Sekretaris Jenderal PBB sekaligus Direktur Regional UNDP untuk Asia dan Pasifik, dikutip Kamis (4/12/2025).
UNDP menyoroti Asia dan Pasifik sebagai kawasan yang menjadi pusat transisi AI. Kawasan yang merupakan rumah bagi 55% populasi dunia itu mencakup lebih dari separuh pengguna AI global. Tiongkok mendominasi dengan 70% paten AI dan lebih dari 3.100 perusahaan AI baru muncul di enam negara kawasan tersebut. AI diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB tahunan kawasan sekitar dua poin persentase dan menambah hampir 1 triliun dolar AS bagi ASEAN dalam satu dekade.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa AI dapat mengikis “era konvergensi”—periode hampir lima dekade ketika negara berpenghasilan rendah mulai menyamai negara kaya melalui kemajuan teknologi, kesehatan, dan pendidikan. Tanpa intervensi inklusif, AI justru berpotensi membalikkan kemajuan tersebut.
Perbedaan kesiapan digital antarnegara juga menjadi sorotan. Singapura, Korea Selatan, dan Tiongkok telah berinvestasi besar dalam infrastruktur dan keterampilan AI, sementara banyak negara lain masih berjuang mengembangkan literasi digital dan akses internet dasar. Keterbatasan kapasitas komputasi dan tata kelola turut membatasi pemanfaatan AI, sekaligus meningkatkan risiko terkait hilangnya pekerjaan, eksklusi data, serta lonjakan kebutuhan air dan energi dari sistem AI.
Sara Ferrer Olivella, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia menambahkan bahwa kemajuan AI harus berjalan seiring dengan penggunaan sumber daya alam yang bertanggung jawab.
“Di sini pentingnya perencanaan terpadu air–energi–pangan untuk memastikan pengembangan AI tetap selaras dengan keberlanjutan lingkungan,” imbuh Sara.
Laporan juga menyoroti kerentanan kelompok tertentu. Pekerjaan yang dilakukan perempuan hampir dua kali lebih rentan terhadap otomatisasi, dan pemuda berusia 22–25 tahun menghadapi penurunan lapangan kerja di sektor yang terdampak AI. Di Asia Selatan, kepemilikan ponsel oleh perempuan dilaporkan hingga 40% lebih rendah dibanding laki-laki. Masyarakat perdesaan dan adat bahkan sering tidak tercakup dalam sistem data AI, sehingga meningkatkan risiko bias dalam algoritma dan eksklusi layanan publik.
Meski demikian, AI juga dinilai memberi peluang besar bagi tata kelola publik. Platform Traffy Fondue di Bangkok telah memproses hampir 600.000 laporan warga, aplikasi Moments of Life di Singapura mempercepat pengurusan dokumen, sementara Beijing memanfaatkan teknologi digital twin untuk mitigasi banjir dan perencanaan kota.
Namun, hanya sedikit negara yang memiliki regulasi AI komprehensif. UNDP memproyeksikan lebih dari 40% pelanggaran data pada 2027 akan berkaitan dengan penyalahgunaan AI generatif, menunjukkan perlunya kerangka tata kelola yang lebih kuat.
“Penentu utama di era AI adalah kapabilitas. Negara yang berinvestasi pada keterampilan, kapasitas komputasi, dan tata kelola akan meraih manfaat, sementara lainnya berisiko tertinggal,” kata Philip Schellekens, Chief Economist UNDP untuk Asia dan Pasifik.
Laporan UNDP menegaskan bahwa risiko tersebut dapat diubah menjadi peluang jika negara membangun strategi AI yang inklusif dan berkelanjutan. (*AMBS)
