Yogi Adjie Driantama : Berkorban Demi Sekolahkan Anak Putus Sekolah

Yogi Adjie Diantrama, Founder & Project Director Semut Sumut (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

youngster.id - Pendidikan adalah fondasi penting bagi perkembangan suatu negara. Meski terus berkembang, pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan, terutama dalam pemerataan memperoleh pendidikan. Beruntung, sejumlah pihak terpanggil untuk turut membantu, termasuk anak-anak muda.

Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, per tahun 2017/2018 masih ada 187,828 siswa putus sekolah dari rentang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) dan kejuruan (SMK).

Sementara merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Angka Partisipasi Sekolah (APS) masih rendah.  APS umur 16-18 tahun di Indonesia telah mencapai angka 71,20 di tahun 2017. Sekitar 29 dari 100 anak umur 16-18 tahun tidak bersekolah. Bisa juga dimaknai dengan masih tingginya anak putus sekolah pada kelompok umur tersebut yang seharusnya mereka sedang bersekolah pada pendidikan menengah atas.

Masalahnya berlanjut pada lambatnya peningkatan APS umur tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga tahun 2018, dimungkinkan masih ada anak pada kelompok umur tersebut tidak/putus sekolah. Pemerintah telah menjalankan program wajib belajar 12 tahun namun masih banyak kendala untuk menurunkan hal itu.

Sejatinya, pelaksanaan program pendidikan bukanlah tanggungjawab satu pihak. Berangkat dari kepedulian akan banyaknya anak putus sekolah, Yogi Adjie Driantama membuat program Semut Sumut. Ini adalah program yang membuka ruang belajar bagi anak-anak putus sekolah untuk mendapatkan pelajaran di beberapa bidang.

“Semut Sumut merupakan sebuah wadah yang memberikan ruang gratis kepada anak yang putus sekolah. Jadi anak-anak yang bergabung dan belajar di sini dapat memilih satu dari empat bidang yang ditawarkan. Ada grafik desain, videografi, musik dan public speaking. Anak-anak mendapatkan kesempatan untuk belajar dari para pengajar yang profesional di bidangnya secara gratis selama satu tahun,” tutur Yogi, Founder & Project Director Semut Sumut kepada youngster.id.

Yogi merupakan salah satu penerima penghargaan dari konsorsium SDG PIPE (Sustainable Development Goals Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan). Konsorsium SDG PIPE ini terdiri dari Go Global Indonesia dan Yayasan Bina Antarbudaya, Campaign, PIRAC dan FILANTROPI Indonesia untuk menstimulasi generasi muda agar optimis, selalu berinovasi, dan kreatif guna membuat perubahan.

Program Semut Sumut ini mulai terbentuk sejak tahun 2017. Yogi merekrut anak-anak putus sekolah, penjual koran, dan office boy di sejumlah lokasi di Medan untuk mendapatkan pendidikan keterampilan sehingga menjadi bekal beroleh pekerjaan yang lebih baik.

 

Putus Sekolah

Yogi mengungkapkan, ide untuk program Semut Sumut ini berangkat dari keprihatinan akan kondisi anak SMA dan SMK di daerah asalnya, Sumatera Utara. Dia mendapati bahwa setiap hari ada 9 anak SMA dan 16 anak SMK yang putus sekolah.

Selain itu, ide untuk mengembangkan Semut Sumut juga dilatarbelakangi alasan pribadi Yogi yang tak selesai mengenyam pendidikan formal sampai tuntas.

“Di sini saya ada di klasifikasi yang sama dengan para murid Semut Sumut. Saya rasa negara terlalu sibuk dan buang-buang waktu membicarakan anak-anak kuliah saja. Seharusnya di negara yang besar ini juga memberikan porsi yang sama kepada anak-anak yang putus sekolah yang keberadaannya tidak kalah jauh dengan para wisudawan yang ada saat ini,” ujar Yogi.

Prihatin akan kondisi itu, pemuda kelahiran Medan, 29 Januari 1996 ini pun rela meninggalkan pekerjaan mapan yang telah dimilikinya. Yogi ingin membangun wadah yang dapat membantu memberikan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah itu. Bahkan, dia memilih nama semut yang merupakan gambaran betapa anak-anak yang putus sekolah ini adalah kaum kecil yang banyak jumlahnya.

“Konsep atau filosofi semut yang diartikan di sini adalah membuka ruang belajar bagi pelajar putus sekolah berusia 16–25 tahun yang putus sekolah di Sumut. Sejatinya, semut ini bukanlah binatang yang kecil dan mereka bisa mengangkat beban yang lebih besar daripada badan semut itu sendiri. Saat ini ada 13 ribu jumlah anak putus sekolah di Sumut, belum lagi di daerah lain. Nah melihat jumlah itu masuk dalam kategori bonus demografi ya,” paparnya.

Menurut Yogi, sejak awal program Semut Sumut ini adalah menjadi ruang belajar bagi para pelajar yang putus sekolah dengan usia 16-25 tahun. “Klasifikasinya harus yang putus sekolah karena faktor ekonomi, bukan karena kriminalitas atau malas serta narkoba,” ujarnya

Di sini mereka bisa mendapatkan ilmu keterampilan seperti video maker, public speaking, dan desain grafis secara gratis selama satu tahun.

Ia berharap anak-anak yang putus sekolah ini punya dasar yang kuat sebelum masuk ke dunia kerja. Bahkan, melalui program ini diharapkan bisa mengubah nasib jutaan orang,

“Anak-anak yang selalu dipandang kecil bisa mengangkat negara ini ke arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk. Tentunya melalui program ini kami ingin mencegah untuk tidak ke arah yang lebih buruk. Makanya Semut Sumut ini berkomitmen bagaimana anak-anak ini memiliki skill, bisa memiliki ilmu pengetahuan agar nggak ada di level yang sama meskipun mereka tidak kuliah atau tidak memiliki pendidikan formal secara tuntas,” tegasnya.

Impian ini awalnya tidak mudah. Yang terberat adalah motivasi. “Anak-anak putus sekolah ini sudah kehilangan motivasi, mereka sudah sempat kehilangan arah. Bayangan mereka hanya soal bagaimana bisa makan untuk hari esok. Jadi tugas paling berat kami bagaimana cara membangun di awal lagi. Memotivasi bahwa mereka punya masa depan yang cerah,” kisahnya.

Menurut Yogi, anak-anak yang menjadi binaan Semut Sumut ini umumnya anak yang putus sekolah sejak SD. “Kebanyakan mereka sudah 5 sampai 10 tahun tidak mengasah otak lagi untuk belajar, ini bagian tugas beratnya,” ujarnya.

 

Yogi Adjie Diantrama menjadi salah satu penerima penghargaan dari konsorsium SDG PIPE (Sustainable Development Goals Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan) (Foto: Fahrul Anwar/youngster.id)

 

Motivasi dan Protes

Berkat motivasi yang terus diberikan, saat ini sudah ada 41 anak yang ikut dalam program Semut Sumut. Menurut Yogi, mereka diseleksi melalui wawancara dan masuk kategori usia produktif untuk siap bekerja.

“Jujur saja proses dan persiapan program Semut Sumut ini cukup lama, hampir memakan waktu selama 5 bulan dari tahun 2017 itu, karena anak-anak ini termasuk yang sulit ditemui. Maksudnya, mereka hampir tidak memiiki ponsel, tidak memiliki akses terhadap internet. Jadi kami mencari mereka melalui sistem offline langsung ke lapangan, terjun dan pencarian dari mulut ke mulut. Karena kami nggak ingin melihat anak-anak putus sekolah setiap harinya. Bagimana Indonesia sebagai negara bisa mencegah itu, dan melunasi janjinya agar anak-anak Indonesia mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang sama untuk belajar,” ungkapnya.

Kepedulian Yogi ternyata menarik perhatian sejumlah tenaga profesional. Mereka tergerak untuk ikut membimbing anak-anak yang putus sekolah. Ada 12 pengajar yang ikut bergabung dan rela berbagi ilmu tanpa bayaran.

“Mereka dari kalangan profesional yang punya visi yang sama dengan saya. Saya gak ngutip apapun dan tidak menerima apapun,” ujarnya.

Di sisi lain, masalah yang dihadapi Yogi adalah pendanaan. Pasalnya ini adalah program sosial dengan konsep self funding. Program Semut Sumut yang dijalankan ini sama sekali tak memiliki sponsor.

Selain berdiri secara self funding, menurt Yogi, kendala lain yang dihadapi Semut Sumut masih di fasilitas belajar. Untuk itu, sebagai lokasi belajar masih menggunakan rumah Yogi.

“Jadi dana untuk menggerakan ini dari dana saya pribadi dan teman-teman di tim juga. Mereka yang rumahnya jauh asalkan mau sekolah kami kasih ongkos sehingga mereka sampai ke tempat ini. Kalau mau menginap kami juga menyediakan tempat,” katanya.

Pemuda yang pernah kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumut ini mengaku menggunakan hampir semua tabungan yang didapat dari bekerja di sebuah perusahaan untuk membelikan sejumlah alat musik bagi anak-anak Semut Sumut. Sedangkan untuk perangkat elektronik seperti komputer mereka menggunakan milik para pengajar secara bergantian.

Kondisi ini cukup berat untuk ditanggung. Meski masih mengalami keterbatasan dana, Yogi dan kawan-kawannya tidak mau berhenti untuk mewujudkan program mereka. Untuk itu Yogi dan teman-teman menggalang donasi melalui Kitabisa.com. Selain itu, mereka juga menjual merchandise khusus.

“Model bisnis yang kami jalankan sekarang hanya mengandalkan merchandise yang kami buat sendiri. Ke depannya kami kepingin karya-karya dari anak-anak di Semut Sumut ini bisa menjadi produk yang bisa dijual agar fasilitas belajar yang kami inginkan perlahan bisa terpenuhi,” terangnya.

Mereka ingin membuktikan bahwa anak-anak putus sekolah jika mendapat pembinaan akan dapat produktif. “Mereka juga berhak mendapat kesempatan yang sama untuk bekerja. Karena meski ijasah mereka kalah, tetapi dalam keterampilan mereka bisa diadu,” ungkapnya.

Langkah Yogi juga mendapat dukungan dari orang tua dari anak-anak putus sekolah tersebut. “Antusias mereka saya yakin jauh lebih besar dari orang tua–orang tua yang bisa menyekolahkan hingga kuliah anaknya. Karena mereka sangat terbantu. Sebab, setelah berpuluh-puluh tahun atau belasan tahun mereka dapat menemukan program yang memperdulikan anaknya. Semua orang tua yang kami jumpai untuk mengajak anaknya belajar menitikkan air mata karena mereka bersyukur anaknya ada yang memperdulikan,” kata Yogi sambil tersenyum.

Di sisi lain, Yogi mengaku program ini merupakan bentuk “protes” kepada pemerintah, karena merasa negara tidak ada di dekatnya selama ini dalam memperhatikan-anak-anak putus sekolah.

“Sampai saat ini, kami memang belum melibatkan pemerintah setempat, dan untuk meminta bantuan ke pemerintah saya rasa tidak ada ke arah sana. Mungkin ini program kemarahan dari anak-anak putus sekolah. Selama ini dimana negara dalam hidup mereka. Jadi, dalam tanda petik yang baik, program ini sebagai bentuk kemarahan kami kepada negara, bahwasannya kami juga bisa tanpa bantuan kalian,” kata Yogi bersemangat.

Yogi berharap Semut Sumut dapat tumbuh dan berkembang. Bahkan, diharapkan dapat merambah ke daerah lain. “Kami berharap program Semut Sumut ini tidak hanya di Medan, tapi juga bisa buka di daerah-daerah lain,” ucapnya berharap.

 

===================================

Yogi Adjie Diantrama

==================================

 

FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia

Exit mobile version