Electro DE Alat Pengubah Limbah Batik Jadi Air Bening

Peneliti Departemen Kimia FMIPA UGM, Dr Noto. (Foto: istimewa)

youngster.id - Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada berhasil mengembangkan alat pengolahan limbah batik. Air keruh yang berasal dari limbah batik, mampu diubah menjadi air bening. Bahkan kadar air tersebut memenuhi ambang baku normal.

Ini berkat kerja sama peneliti Departemen Kimia FMIPA UGM, Dr Noto, bersama Dr Fean D Sarian dari Kochi University Technology Jepang dan Dr Ahmad Kusumaatmaja.

“Pengolahan limbah batik selama ini yang dilakukan hanya menyaring padatan saja, sedangkan zat kimia dan zat warna tidak terproses masuk ke tanah. Padahal zat itu kalau tak terproses dan masuk ke sumur bisa membahayakan kesehatan masyarakat,” kata Noto yang dilansir laman resmi UGM baru-baru ini.

Tidak hanya menyaring, alat bernama Electro-DE ini dapat menghasilkan air dengan standarisasi sesuai ambang batas. Alhasil, air limbah tersebut bisa kembali digunakan untuk proses pembuatan kain batik selanjutnya.

Alat yang diberi nama Electro-DE (Electrolytic-Dye Eater) ini dirancang berbasis teknologi elektrokimia dengan menggunakan elektroda khusus. Selain itu alat dilengkapi dengan radiasi untuk mempercepat pemecahan zat warna menjadi senyawa yang ramah lingkungan.

Alat tersebut saat ini telah digunakan oleh perajin batik di sebuah rumah produksi batik di Gulurejo, Lendah, Kulonprogo. Peluncuran alat secara perdana dilakukan pada 22 Januari 2020 lalu secara langsung oleh Bupati Kulon Progo Sutedjo dalam acara pencanangan program Desa Batik Sehat FKKMK UGM.

Mesin ini mampu menampung limbah cair berkapasitas 50 liter dengan konsentrasi zat warna maksimal 100 mg/L. Dalam sehari, mesin dapat beropreasi non-stop hingga 8-10 jam dengan kemampuan memproses limbah 500 liter per hari.

“Untuk satu kali proses pengolahan limbah memakan waktu sekitar 1 jam hingga menghasilkan air yang mendekatai batas ambang baku,” terangnya.

Alat yang dikembangkan sejak tahun 2017 silam ini telah didaftarkan paten dan ditargetkan bisa segera dikomersialisasikan pada tahun 2020 ini. “Kalau diproduksi secara massal 1 unitnya sekitar Rp 80 juta dan bisa dipakai hingga 20 tahun ke depan,” ujar Noto.

Saat ini riset untuk pengembangan mesin pengolah limbah batik masih terus dilakukan. Upaya penyempurnaan dilakukan dalam beberapa sisi salah satunya pemanfaatan panel surya untuk suplai energi.

STEVY WIDIA

Exit mobile version