Limbah Pengolahan Tebu Bisa Diolah Menjadi Biobriket

Tim Biobriket ITS (ki-ka) Dicka Tama Putra, Zakiyah Nur Rafifah, dan Fathul Mubin Gufron. (Foto: istimewa/its)

youngster.id - Kondisi lingkungan di sekitar industri pengolahan tebu semakin memburuk karena banyaknya ampas tebu (bagasse) dan limbah blothong yang dibiarkan begitu saja. Tetapi berkat inovasi bagasse dan limbah blothong ini dapat menjadi bahan bakar biobriket.

Produk inovasi ini  adalah hasil karya Zakiyah Nur Rafifah, Dicka Tama Putra, dan Fat’hul Mubin Gufron mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Mereka berhasil mengembangkan inovasi biobriket ini  yang sangat bermanfaat untuk masyarakat dan ramah lingkungan.

“Biobriket ini berbahan dasar bagasse dan limbah blothong dengan tambahan kulit singkong. Prinsip pembuatan biobriket dari bahan limbah ini tidaklah terlalu sulit hanya beberapa tahap,” ungkap Zakiyah yang dilansir laman ITS Senin (10/5/2021)

Dia menjelaskan, tahapan tersebut adalah pembuatan adonan, pencetakan adonan, dan pengeringan adonan sehingga menjadi briket siap pakai. Hal terpenting pada pembuatan biobriket ini adalah mengurangi kadar air bahan dasar briket dengan cara dijemur di bawah sinar matahari langsung.

Jika sudah, nantinya bahan dasar tersebut baru dapat digunakan untuk menjadi adonan dengan cara ditumbuk dan diberikan perekat. Tidak kalah pentingnya, pemampatan juga merupakan bagian yang sangat penting karena menyangkut kualitas kepadatan biobriket.

Semakin padat biobriket yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat daya nyala api yang dihasilkan. Menurutnya, langkah pembuatan biobriket ini dapat ditiru oleh masyarakat umum.

Zakiyah juga mengungkapkan alasan timnya menggunakan bagasse dan limbah blothong sebagai bahan dasar biobriket selain karena alasan lingkungan. Hasil analisisnya bersama tim menyatakan bahwa bagasse memiliki karakteristik mudah terbakar, memiliki kandungan air, gula, serat, dan mikroba yang dapat melepaskan panas akibat fermentasi.

“Penambahan kulit singkong membuat biobriket semakin rendah kadar airnya sehingga dapat mengefisienkan pembakaran,” ungkap ketua tim tersebut. Menurut Zakiyah, pengembangan inovasi biobriket ini masih bisa lebih dioptimalkan lagi.

Tim beda departemen ini membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menghasilkan inovasi biobriket tersebut. Karya mereka berhasil mendapatkan medali perunggu dalam ajang Smart Innovation and Ideas for Indonesia Transformation in Pandemic Era.

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version