youngster.id - Autisme yang sekarang disebut Autism spectrum disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan kemampuan anak untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku.
Akibatnya, anak kesulitan untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku. ASD juga mencakup sindrom Asperger, sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS).
Menurut WHO, kejadian autisme adalah 1 dari 160 anak di seluruh dunia. Sangat penting untuk mewaspadai gejala atau tanda autisme sedini mungkin. Meskipun autisme tidak bisa disembuhkan, masih terdapat berbagai metode untuk menangani autisme yang bertujuan agar penderita dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari.
Menyikapi masalah ASD itu, kelompok PKM-KC (Karsa Cipta) mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR), melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), yang diketuai oleh Felicia Zevanya Maber Sitompul dan beranggotakan Bima Sakti Putra Yusuf, Ni Made Prami Dewanggi, Aulia Widi Mangesti, serta Rayhan Ajie Nugraha, mengembangkan “Aplikasi Pelatihan Interaksi Sosial Dasar berbasis Augmented Reality untuk Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD)”.
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) merupakan kegiatan bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan akademis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. UNAIR menjadi salah satu kampus yang gencar mendorong para mahasiswanya untuk melaksanakan kegiatan PKM. Tahun ini, terdapat 45 kelompok mahasiswa UNAIR yang mendapatkan dana bantuan dari pemerintah yang terdiri dari berbagai bidang PKM.
Salah satunya yaitu kelompok PKM-KC (Karsa Cipta). Kelompok itu dibimbing oleh seorang dosen Fakultas Psikologi UNAIR, Pramesti Pradna Paramita MEdPsych PhD.
“Kelompok kami memilih topik ini karena kasus autisme yang semakin meningkat setiap tahunnya. Kami ingin membantu anak autisme agar dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya. Kami juga ingin meluruskan kesalahpahaman masyarakat terhadap autisme yang menganggap bahwa ASD adalah penyakit. Padahal, ASD bukanlah penyakit, melainkan cara anak memandang dunia secara berbeda dari anak pada umumnya,” kata Felicia, Selasa (17/10/2023).
Tak hanya itu, lanjut Felicia, jumlah autisme yang terus meningkat ini juga tak diimbangi dengan dengan tenaga terapis yang memadai.
Menurut Felicia, terkait dengan kebaharuan dari penelitian sebelumnya, telah adanya intervensi untuk anak dengan ASD berbasis augmented reality di Indonesia, namun intervensi tersebut hanya memperhatikan kemampuan belajar, bukan kemampuan sosial.
User yang menggunakan augmented reality, dapat merasakan pengalaman yang lebih imersif dengan adanya stimulus tambahan pada media augmented reality. Stimulus tambahan tersebut yaitu intervensi social stories dan video modelling pada aplikasi mereka.
Dalam pembuatan aplikasi ini, Felicia dan teman-teman juga bekerja sama dengan UPTD ABK Sidoarjo, khususnya dalam pembuatan matriks aplikasi dan juga untuk uji coba aplikasi.
“Harapannya aplikasi ini juga dapat membantu para terapis serta orang tua dalam memberikan timulus untuk meningkatkan kemampuan sosial dan komunikasi dasar pada anak dengan ASD,” kata Felicia.
Dijelaskan Felicia, penelitian ini bertujuan untuk lebih memasifkan inklusivitas dalam masyarakat. Penelitian mereka juga sekaligus dapat menjadi media psikoedukasi untuk masyarakat yang terealisasikan dengan penggunaan aplikasi yang ramah untuk orang tua dan terapis.
Hadirnya aplikasi yang diberi nama AurA ini diharapkan dapat membantu individu autisme untuk mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan sosialnya, setidaknya pada tataran kemampuan dasar.
“Kami berharap ke depannya prototype ini dapat berkembang menjadi aplikasi yang dapat mengakomodir seluruh khalayak dengan gangguan ASD yang berasal dari berbagai latar belakang. Mereka juga berharap kelak inovasi-inovasi karsa cipta dapat dikembangkan lebih jauh untuk gangguan-gangguan lainnya,” tutup Felicia.
STEVY WIDIA