youngster.id - Berkat minyak jelantah yang bisa menghidupkan mesin kendaraan bermotor, tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM),Abdul Afif Almuflih,Khoir Eko Pamudi dan Endri Geovani, berhasil menyabet empat penghargaan tingkat internasional.
Ketiga mahasiswa itu berhasil mengembangkan biogasoline dengan kadar oktan atau RON 90-93 berbahan minyak habis pakai atau minyak jelantah yang bisa menghidupkan mesin kendaraan bermotor.
Dijelaskan Afif, proses penelitiannya berawal dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan fokus pengembangan energi baru terbarukan. Selanjutnya biogasoline dipilih sebagai salah satu energi alternatif yang juga ramah lingkungan. “Selama satu tahun kami lakukan uji coba dan baru sekarang mendapatkan hasil yang maksimal,”kata Afif.
Dari penelitian tentang pengembangan biogasoline minyak jelantah (JECO-Gasoline) itu ketiganya sukses menyabet empat penghargaan tingkat internasional, yakni Gold Medal dari World Invention Intellectual Property Association (WIIPA) , Gold Medal dari Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA), Bronze Medal dari Malaysian Technology Expo (MTE) 2016, dan Special Award dari Toronto International Society of Innovation & Advanced Skillis (TISIAS) Kanada.
Menurut Afif, dipilihnya minyak jelantah dilakukan untuk memanfaatkan limbah minyak habis pakai yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan hanya dibuang begitu saja. Sementara jumlah minyak jelantah ini cukup berlimpah.
“Minyak jelantah ini merupakan minyak goreng yang dipakai secara berulang, jika digunakan terus bisa menimbulkan efek buruk bagi kesehatan tubuh,” jelas Afif, dilansir dari laman UGM.
Pemanfaatan minyak jelantah sebagai biogasoline dilakukan karena mereka melihat Indonesia merupakan negara dengan konsumsi minyak goreng yang cukup tinggi. Selain itu, Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan demikian peluang untuk memproduksi Jeco gasoline semakin terbuka lebar.
“Penelitian produksi biogasolin dari bahan dasar minyak goreng bekas atau jelantah ini ditujukan untuk menghasilkan bahan bakar bensin yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Ketiganya mencari metode yang tepat untuk memproses minyak jelantah menjadi biodiesel. Mereka memanfaatkan rekasi hydrocracking untuk mengonversi minyak jelantah menjadi biogasolin.
“Kami menggunakan tanah liat atau clay, yaitu bentonit terpilar alumina (AI) yang mudah didapat di alam. Lalu tanah liat diaktifkan dengan logam kadium (Cd) sebagai katalisatornya,” terangnya.
Produksi biogasolin dimulai dengan pembuatan katalis sebagai media konversi minyak jelantah. Selanjutnya, proses produksi dilakukan melalui proses hydrocracking. Minyak jelantah dipanaskan dalam tanur listrik kemudian akan menguap mengalir melewati katalis. Setelah itu, hasilnya akan menetes menjadi campuran biogasolin dan biodiesel yang selanjutnya dipisahkan menggunakan metode destilasi.
“Hasilnya bisa memproduksi sekitar 42% biogasolin (bensin) dan 29% biodiesel (biosolar). Dengan begitu, dalam 1 liter minyak bisa memproduksi sekitar 420 ml yang terdiri dari 240 ml biogasolin dan 180 biodiesel,” paparnya.
Ditambahkan Endri, katalis yang mereka kembangkan menggunakan tanah liat ini dapat digunakan secara berulangkali. Dengan demikian memungkinkan masyarakat untuk memproduksi sendiri biogasoline atau biodiesel dari minyak jelantah maupun minyak goreng fresh.
“Pembuatannya lebih sederhana dan proses produksi lebih cepat. Karena dalam proses pembuatannya hanya melalui dua tahap, yakni pembuatan katalis dan proses produksi menggunakan metode hydrocracking,” ungkapnya.
Menurut Khoir, produk biogasoline tersebut diperkirakan memiliki kadar oktan 90-93 sehingga cukup bagus untuk mesin kendaraan bermotor. Namun demikian kadar oktan tersebut masih akan diuji kembali di Fakultas Teknik UGM.
“Jika yang digunakan minyak sawit, maka biogasoline yang dihasilkan tentu akan lebih baik lagi. Sebab, minyak jelantah memiliki banyak endapan berupa sisa-sisa makanan,” katanya.
Endri berharap hasil penelitian yang mereka lakukan ke depan bisa dikembangkan lebih lanjut. Bahkan, dapat diproduksi sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
“Kami berharap hasil penelitian ini bisa menjadi pelopor produksi biogasolin dan biodiesel dari minyak jelantah,” harap Endri.
ANGGIE ADJIE SAPUTRA
Editor : STEVY WIDIA