youngster.id - Riset terbaru impact.com menunjukkan terjadi pergeseran perilaku konsumen di Asia Tenggara. Kepercayaan terhadap influencer menurun seiring audiens semakin jenuh dengan paparan berlebihan dan konten yang tidak otentik.
Managing Director APAC impact.com Adam Furness mengatakan, seiring berkembangnya preferensi konsumen di Asia Tenggara, brand perlu beralih dari model influencer tradisional dan metrik yang semu, menuju kemitraan jangka panjang yang benar-benar memengaruhi perilaku pembelian.
“Hasil riset kami bersama Cube menegaskan bahwa pemasaran berbasis kinerja menjadi inti keberhasilan brand dalam menjangkau dan memengaruhi konsumen. Strategi seperti investasi pada model afiliasi kini menjadi fondasi pertumbuhan yang berkelanjutan dan dapat diskalakan, dan tren ini semakin terlihat di seluruh kawasan,” ucapnya dikutip Jumat (18/7/2025).
Hasil riset ini berdasarkan wawasan lebih dari 2.400 konsumen, kreator, dan pakar industri di enam pasar Asia Tenggara yaitu Singapura, Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Laporan ini menemukan, kepercayaan terhadap influencer terus menurun seiring audiens semakin jenuh dengan paparan berlebihan dan konten yang tidak otentik, dengan penurunan sebesar 7% dari 2024 dalam pengaruh mega influencer terhadap keputusan pembelian.
Sedang Micro dan nano influencer mengalami penurunan yang lebih kecil, menunjukkan bahwa persepsi keaslian mereka cenderung tetap terjaga di tengah penurunan kepercayaan secara keseluruhan. Selain itu, terjadi kesenjangan antar tingkatan influencer pun semakin mengecil akibat penurunan tingkat kepercayaan terhadap influencer dengan jumlah pengikut besar.
Hanya 59% responden yang mengaku terpengaruh oleh mega influencer (dengan lebih dari 1 juta pengikut), turun 7% dibandingkan tahun lalu. Konten shoppable juga terbukti sangat efektif dalam mendorong pembelian, dengan tautan produk yang dibagikan kreator (31%) serta promosi yang dijalankan platform (30%) mengungguli promosi brand atau unggahan influencer tanpa tautan pembelian langsung.
Riset ini juga mengungkap pergeseran perilaku konsumen di Asia Tenggara. Hiburan tetap menjadi alasan utama konsumen berinteraksi dengan konten influencer, namun tujuan untuk belajar kini semakin penting, dengan 77% responden mencari hiburan dan 64% ingin mempelajari hal baru.
Munculnya Segmen Key Opinion Sellers (KOS) yang berbeda dan berkembang pesat. Tren ini terutama terlihat di platform seperti TikTok Shop, di mana 9 dari 10 kreator TikTok teratas di Thailand merupakan KOS.
Selain itu, pertumbuhan signifikan affiliate marketing. Konsumen semakin banyak yang membeli melalui kreator afiliasi, dengan lebih dari 83% responden melaporkan bahwa mereka pernah melakukan pembelian melalui tautan afiliasi.
Penggunaannya bervariasi di setiap kategori, dengan lebih dari setengah responden membeli produk kecantikan (62%) dan fesyen (54%) melalui penjual afiliasi. Pemasaran afiliasi (affiliate marketing) muncul sebagai penggerak kuat pertumbuhan commerce influencer, seiring brand dan kreator menghadapi ekspektasi konsumen yang semakin tinggi akan orisinalitas, nilai, dan relevansi.
Marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, dan Lazada menawarkan komisi mulai dari 4 hingga 13%, dengan kategori kecantikan secara konsisten memberikan komisi tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa marketplace menjadi saluran yang menarik bagi kreator afiliasi, dengan 34% konsumen menemukan produk melalui marketplace, diikuti oleh situs web brand (32%) dan channel influencer (31%).
“Penelitian tahun ini juga menegaskan pentingnya membangun koneksi dengan kreator secara otentik untuk menghasilkan dampak yang terukur,” pungkas Adam.
STEVY WIDIA
Discussion about this post