youngster.id - Sebuah studi terbaru yang dirilis hari ini oleh platform perjalanan digital Agoda mengungkapkan bahwa adopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di kalangan para pengembang perangkat lunak di Asia Tenggara. Pengembang asal Indonesia menonjol sebagai salah satu yang paling progresif dalam pemanfaatan AI di kawasan.
Chief Technology Officer Agoda Idan Zalzberg mengungkapkan, di seluruh Asia Tenggara dan India, AI telah menjadi bagian dari rutinitas kerja pengembang. Sekitar 95% pengembang menggunakan AI setiap minggu, dan 56% selalu membuka asisten AI. Produktivitas menjadi alasan utama adopsi, dengan 80% menyebutkan kecepatan dan otomatisasi sebagai motivasi utama. Para insinyur merasakan manfaat nyata, di mana 37% mampu menghemat empat hingga enam jam kerja setiap minggu.
“Kecerdasan buatan sedang mengubah cara pengembang di seluruh Asia Tenggara dan India membangun, belajar, dan berkolaborasi. Apa yang awalnya digunakan untuk mempercepat tugas seperti menulis, menguji, atau memperbaiki kode kini telah berkembang menjadi perubahan besar dalam cara perangkat lunak dikembangkan. Kini, AI membantu tim bekerja lebih cepat, terus belajar, dan memecahkan masalah dengan cara baru,” ungkapnya dikutip Jumat (7/11/2025).
Namun, AI masih lebih dianggap sebagai alat produktivitas dibanding mitra kreatif. Hanya 22% yang menggunakannya untuk memecahkan masalah baru, dan kurang dari setengah (43%) percaya bahwa kinerja AI setara dengan insinyur tingkat menengah. Meskipun 94% mengandalkan AI untuk pembuatan kode, penggunaannya menurun untuk tugas lain seperti dokumentasi, pengujian, dan penyebaran. Hal ini menyoroti kesenjangan antara penggunaan dan keandalan, serta kebutuhan akan hasil yang lebih konsisten dan dapat dipercaya.
“Di kawasan ini, penggunaan AI sudah umum, tetapi belum merata. Pengembang memandang AI secara pragmatis untuk mempercepat pekerjaan, menjaga kualitas, dan bereksperimen secara bijak, bukan menggantikan keahlian atau penilaian manusia. Peluang terbesar ada pada upaya mendukung kematangan ini melalui praktik terstruktur dan eksperimen yang bertanggung jawab, sehingga adopsi yang tinggi dapat berkembang menjadi kemampuan yang berkelanjuta,” kata Idan lagi.
Pengembang di Indonesia muncul sebagai salah satu pengguna AI paling maju di wilayah ini. 78,9% melaporkan menggunakan Cursor dalam enam bulan terakhir – bersama dengan 90,1% untuk ChatGPT – menempatkan Indonesia di antara pengguna IDE yang terintegrasi dengan AI paling aktif daripada hanya mengandalkan LLM berbasis chat.
Hasil survey Agoda juga mendapati pengawasan dan verifikasi kini menjadi bagian penting dalam alur kerja AI sehari-hari. Sekitar 79% pengembang menyebutkan hasil yang tidak konsisten atau tidak andal sebagai hambatan utama untuk penggunaan AI yang lebih luas. Untuk menjaga kualitas, 67% meninjau semua kode yang dihasilkan AI sebelum digabungkan, dan 70% secara rutin memperbaiki hasilnya untuk memastikan ketepatan.
“Kebijakan formal masih terbatas; hanya satu dari empat tim yang bekerja di bawah pedoman AI resmi. Namun, keandalan terus meningkat melalui proses tinjauan dan validasi yang dipimpin oleh tim. Fokus pada verifikasi ini tidak memperlambat inovasi justru memperkuatnya. Sebanyak 72% pengembang melaporkan peningkatan produktivitas dan kualitas kode yang lebih baik, membuktikan bahwa pengawasan manusia tetap menjadi kunci dalam adopsi AI yang bertanggung jawab,” ungkapnya.
Selain itu, pengalaman AI tidak merata dan berisiko menciptakan kesenjangan. Dengan adopsi yang kini hampir universal, fokus bergeser pada bagaimana pengembang menggunakan AI secara bertanggung jawab dan efektif.
Sebagian besar pengembang belajar secara mandiri — 71% melalui tutorial, proyek pribadi, atau komunitas online — sementara hanya 28% yang mendapatkan pelatihan dari perusahaan. Akses terhadap program pelatihan formal juga bervariasi antar negara; pengembang di Singapura hampir dua kali lebih mungkin mendapat pelatihan resmi dibandingkan dengan di Vietnam.
Meski terdapat kesenjangan, para pengembang tetap mendorong pertumbuhan diri. Sebanyak 87% telah menyesuaikan rencana belajar atau karier mereka untuk memanfaatkan AI, dan 62% berharap AI membuka peluang karier yang lebih luas membangun fondasi kemampuan jangka panjang yang lebih kuat di kawasan ini.
“Pertumbuhan yang digerakkan sendiri ini menunjukkan bahwa pengembang belajar lebih cepat dibanding kemampuan perusahaan dalam memberikan pelatihan, dengan karakter yang ambisius, gemar bereksperimen, dan semakin melek AI,” ujarnya.
Studi ini diinisiasi oleh Agoda bekerja sama dengan Macramé Consulting. Dengan mengumpulkan masukan dari komunitas pengembang di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam, dan India, serta wawasan dari perusahaan terkemuka seperti Carousell, MoMo, Omise, dan SCB 10x.
STEVY WIDIA


















Discussion about this post