youngster.id - Terdapat kesenjangan antara praktik bisnis keberlanjutan dan transformasi digital di kalangan perusahaan dan organisasi di Indonesia. Bahkan, di wilayah ASEAN, Indonesia tertinggal dari negara lain dalam upaya keberlanjutan.
Hal itu terungakp dari temuan hasil studi terbaru Paessler berjudul “Keeping Watch: Monitoring Your Path to Sustainable IT”. Studi ini bertujuan untuk menyoroti kondisi praktik upaya keberlanjutan di kalangan bisnis saat ini dan menyelami lebih dalam tentang faktor pendorong dan penghambat dalam menerapkan praktik IT keberlanjutan.
Sejumlah rintangan perusahaan dalam mengadopsi praktik keberlanjutan di Indonesia pun terungkap di dalam studi ini. Antara lain: menyeimbangkan metrik ESG dengan target pertumbuhan (68%), biaya penerapan ke bisnis (50%), kurangnya kejelasan dari pembuat regulasi tentang standar pelaporan (45%), dan minimnya pengetahuan teknis tentang implementasi perencanaan (40%).
Hasil studi menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan masih menganggap praktik upaya keberlanjutan dan transformasi digital masih berjalan sendiri-sendiri serta tidak saling terkait. Para perusahaan tengah berupaya mengembangkan kerangka kerja keberlanjutan dan strategi transformasi digital secara setengah-setengah.
Akibatnya, sumber daya yang mereka miliki—baik itu anggaran biaya, waktu, maupun keahlian yang terlibat—menjadi kurang efektif. Mereka juga tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk mengembangkan kerangka kerja keberlanjutan dan menjalankannya; yang dengan jelas menyoroti ketidakterkaitan antara praktik keberlanjutan yang dilakukan dan perjalanan transformasi digital mereka.
Dengan ekonomi Indonesia yang diperkirakan akan tumbuh hingga 4.8% pada tahun 2023 dan 5% pada tahun 2024, sejumlah bisnis yang berfokus pada transformasi digital, upaya keberlanjutan, serta peningkatan produktivitas dan efisiensi sebagai area prioritas utama lebih siap dalam menghadapi perlambatan ekonomi global.
“Banyak perusahaan melihat upaya keberlanjutan dan profitabilitas sebagai hal yang kontradiktif. Namun, jika kita mengukurnya dengan benar, kombinasi keduanya dapat menghasilkan efisiensi biaya dan keunggulan kompetitif. Sangat penting untuk membangun strategi IT yang kuat, strategi transformasi digital dan mengembangkan kerangka kerja keberlanjutan yang semuanya terintegrasi dengan kerangka kerja monitoring IT secara komprehensif,” ujar Felix Berndt, Regional Sales Manager Asia Pacific Paessler, Selasa (27/6/2023).
Meskipun keberlanjutan merupakan salah satu dari 3 prioritas bisnis utama untuk tiga tahun ke depan, keberlanjutan bahkan tidak termasuk sebagai salah satu dari 5 tantangan teratas bagi bisnis di sejumlah negara dan sektor. Sebaliknya, tantangan seperti meningkatnya persaingan, transformasi digital, mendorong pertumbuhan (top line), meningkatkan profitabilitas (bottom line), dan manajemen SDM dipandang sebagai lima tantangan teratas oleh bisnis. TIga pendorong utama untuk mengadopsi kerangka kerja keberlanjutan adalah reputasi (45%), mengikuti standar operasional industri (36%), dan mematuhi kerangka regulasi (24%).
Vertikal bisnis teknologi, telekomunikasi, dan pusat data (82%) dinilai sebagai tiga jenis vertikal bisnis yang telah memiliki strategi IT yang sudah berjalan, diikuti oleh bisnis manufaktur (79%), dan layanan penting/sektor publik (66%). Di saat sektor publik tertinggal dalam hal ini, 31% mengatakan bahwa mereka akan memulai perjalanan strategi IT yang berkelanjutan di tahun depan.
“Transformasi digital dapat memungkinkan adanya keberlanjutan dengan membantu bisnis-bisnis menjadi lebih efisien, mengurangi dampak terhadap lingkungan, dan membantu mereka mencapai tujuan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan teknologi digital yang tepat dapat membantu memantau dan mengoptimalkan penggunaan energi, mengurangi limbah, dan menyederhanakan sistem rantai pasok. Pengetahuan atas pentingnya strategi IT yang berkelanjutan dapat ditingkatkan jika didukung oleh sistem monitoring IT yang efektif,” tutup Felix. (*AMBS)
Discussion about this post