youngster.id - Perkembangan pesat ekonomi digital di Indonesia baru terjadi di daerah perkotaan dan beberapa provinsi dengan kecepatan adopsi teknologi yang tinggi. Hal ini menyebabkan adanya digital divide, jurang pemisah antar daerah-daerah di berbagai penjuru Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia.
Menindaklanjuti kondisi tersebit, diawal tahun 2020 ini, East Ventures meluncurkan laporan yang berjudul East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI). yang bertujuan untuk memetakan perkembangan ekonomi digital di 34 provinsi dan 24 kota besar di Indonesia.
“Dengan adanya pemetaan yang jelas, terbentuklah gambaran lengkap dan langkah strategis yang bisa ditempuh untuk memeratakan akses digital and kapabilitas teknologi di seluruh Indonesia pada era knowledge based economy,” ujar Wilson Cuaca, Co-founder dan Managing Partner East Ventures dalam acara East Ventures – Digital Competitiveness Index 2020, Kamis (30/1/2020) di Grand Ballroom Kempinski Jakarta.
EV-DCI merupakan alat yang digunakan untuk memetakan kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan 9 pilar terkait perekonomian digital serta aspek penunjang yang secara tidak langsung mendukung pengembangan ekonomi digital.
Willson menilai EV-DCI bisa menjadi panduan bagi perusahaan-perusahaan raksasa seperti Gojek, Traveloka, dan Tokopedia untuk terus melebarkan sayapnya ke seluruh sudut Nusantara.
“Karena beberapa perusahaan teknologi lainnya juga terlihat sudah mulai mengembangkan layanannya ke berbagai daerah Indonesia lainnya, seperti platform pendidikan Ruangguru kini telah digunakan oleh pelajar di 34 provinsi, begitu juga dengan penulis anggota komunitas IDN Media. Layanan aplikasi kasir yang disediakan Moka POS telah digunakan oleh UKM di Papua, sedangkan Sirclo mendukung penjual online yang berlokasi di Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Airy telah memiliki mitra properti di Bitung dan Samosir,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan kota-kota dengan skor EV-DCI tertinggi adalah tempat terbaik untuk memulai bisnis-bisnis digital baru. Bisnis digital, jelasnya, membutuhkan calon pengguna dengan kecepatan adopsi paling tinggi.
“Ekonomi digital menjanjikan inklusivitas, pemerataan peluang ekonomi bagi seluruh penduduk Indonesia. Akan tetapi, Indonesia seringkali hanya dilihat dari perkembangan area tertentu saja seperti Jakarta. Padahal, masih banyak daerah lain dari Sabang hingga Merauke yang masih belum mengecap manfaat dari ekonomi digital tersebut. Dengan melibatkan mereka ke dalam perekonomian digital, Indonesia bisa mengubah bonus demografi menjadi dividen demografi. Mengubah potensi menjadi realisasi,” jelas Wilson.
Untuk diketahui, saat ini Indonesia membukukan skor daya saing tinggi dalam aspek penggunaan teknologi komunikasi dan informasi. Hal ini menggambarkan tingkat adopsi teknologi yang tinggi, terutama terkait tingkat kepemilikan ponsel pintar dan akses internet. Sementara itu, ketersediaan jaringan data seluler yang makin merata di seluruh Tanah Air menjadi landasan skor yang tinggi dalam hal infrastruktur.
Di sisi lain, Indonesia membukukan skor rendah dalam aspek sumber daya manusia dan kewirausahaan. Skor SDM yang rendah menggambarkan langkanya pasokan talenta digital dan keterbatasan institusi pendidikan untuk menghasilkan tenaga kerja terampil di bidang teknologi dan informasi. Adapun, skor kewirausahaan yang rendah menggambarkan bahwa belum banyak pelaku usaha yang membuka bisnis atau bekerja dengan memanfaatkan teknologi digital.
Provinsi dengan skor EV-DCI paling tinggi seluruhnya berada di Pulau Jawa. Ini menggambarkan kesenjangan antara Pulau Jawa dengan wilayah lain di Indonesia. Ketimpangan juga ditunjukkan oleh skor EV-DCI DKI Jakarta yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. DKI Jakarta adalah provinsi dengan skor EV-DCI tertinggi, diikuti oleh Jawa Barat. Jakarta juga menjadi kota dengan skor EV-DCI terbaik dengan Kota Bandung di posisi kedua.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post