youngster.id - Pada awal 2020, Sorabel sebenarnya sedang bersiap untuk selamat. Angka-angka di dashboard mulai terlihat masuk akal. Margin laba kotor bertahan di kisaran 58%. Pendapatan tumbuh dua digit setiap bulan. Model bisnis yang selama bertahun-tahun membakar kas akhirnya menunjukkan tanda-tanda kedewasaan. Di atas meja, term sheet pendanaan berikutnya sudah dibicarakan. Investor datang, bertanya, dan hampir sepakat. Pendanaan baru akan segera diperoleh.
Namun waktu tidak pernah menunggu startup yang kehabisan napas….
Kebangkitan Sorabel: Dari Garasi ke Puncak E-Commerce Fesyen
Sorabel—yang pada awal kelahirannya bernama Sale Stock—lahir bukan dari ruang rapat berpendingin udara atau pitch deck berlapis jargon Silicon Valley, melainkan dari sebuah garasi sederhana di Yogyakarta. Pada 2014, pasangan suami-istri Lingga Madu dan Ariza Novianti memulai bisnis ini sebagai pekerjaan sampingan, didorong oleh pengamatan yang sangat membumi: perempuan di luar kota-kota besar Indonesia kesulitan menemukan pakaian yang modis, terjangkau, dan layak pakai.
Di luar Jakarta dan kota metropolitan lainnya, pilihan fesyen sering kali terbatas, mahal, dan tidak relevan dengan tren. Ada jurang besar antara apa yang dipajang di mal-mal mewah dan apa yang benar-benar bisa dibeli masyarakat Indonesia sehari-hari. Konsumen ingin tampil trendi, pas di badan, dan tidak menguras dompet—tetapi pasar tidak menyediakannya.
Lingga dan Ariza melihat celah itu. Mereka mulai berburu pakaian murah dari pasar grosir Jakarta, lalu meluas hingga Thailand dan Tiongkok. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali secara daring—bukan lewat aplikasi canggih, melainkan melalui Facebook, WhatsApp, LINE, dan Facebook Messenger, apa pun yang paling nyaman bagi pelanggan. Modelnya sederhana, nyaris kasar, tetapi tepat sasaran.
Seiring waktu, Sale Stock berkembang melampaui skala usaha rumahan. Untuk memperbesar operasional, mereka mengajak tiga co-founder tambahan: Stanislaus Tandelilin, Ivan Samuel Heydemans, dan Listiarso Wastuargo. Apa yang semula hanya eksperimen sampingan berubah menjadi salah satu startup e-commerce fesyen paling panas di Indonesia.
Inti strategi mereka jelas: fesyen terjangkau tanpa basa-basi. Sale Stock bahkan menerapkan kebijakan “tanpa diskon”, sesuatu yang terdengar paradoksal di dunia e-commerce. Namun harga tetap murah karena mereka memangkas perantara dan menjual langsung ke konsumen. Pada dasarnya, mereka sedang membangun versi fast fashion khas Indonesia—tanpa markup kemewahan.
Dari Reseller ke Produsen: Titik Balik Strategis
Pada 2016, Sale Stock menghadapi masalah klasik reseller fesyen: kualitas produk yang tidak konsisten. Ukuran meleset, jahitan buruk, kancing copot. Keluhan pelanggan meningkat. Alih-alih menambal di hilir, perusahaan mengambil keputusan besar di hulu: memproduksi lini pakaian sendiri.
Ada tiga alasan utama di balik keputusan ini:
- Memastikan setiap jahitan dan kancing memenuhi standar internal,
- Menjaga margin keuntungan yang layak,
- Menjamin kepuasan pelanggan dalam jangka panjang.
Langkah ini terbukti krusial. Dari 2016 hingga 2019, penjualan tumbuh delapan kali lipat, sementara laba kotor melonjak enam kali lipat.
Di saat yang sama, Sorabel memperkenalkan fitur yang kelak menjadi ikon sekaligus beban terbesarnya: “Try First, Pay Later”. Kurir akan menunggu selama 15 menit di depan rumah pelanggan, sementara pelanggan mencoba pakaian layaknya berada di ruang ganti toko. Mereka hanya membayar barang yang benar-benar disimpan.
Bagi konsumen e-commerce pemula, layanan ini menyelesaikan persoalan terbesar: kepercayaan—soal ukuran, kualitas, dan rasa aman berbelanja daring. Meski mahal dan memiliki tingkat pengembalian tinggi di awal, layanan ini secara bertahap meningkatkan loyalitas pelanggan. Kepercayaan tumbuh, dan Sorabel menjadi “toko pakaian langganan” bagi jutaan perempuan Indonesia.
Puncak Kejayaan
Menjelang akhir 2018, Sorabel tampak tak terbendung. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 5 juta kali di seluruh Indonesia. Mereka menempati posisi kedua sebagai situs e-commerce fesyen paling banyak dikunjungi, hanya kalah dari Zalora. Perusahaan mempekerjakan sekitar 800 orang, termasuk lebih dari 20 desainer fesyen internal. Mereka mengklaim pangsa pasar 9% di segmen e-commerce fesyen perempuan Indonesia.
Sekitar 80% penjualan berasal dari lini fesyen merek sendiri, dengan margin laba kotor mencapai 58%—angka yang jauh melampaui marketplace pada umumnya. Perusahaan bahkan dikabarkan hampir mencapai titik impas pada 2019.
Pada awal 2019, Sorabel mencatat run rate GMV US$60 juta, dengan pendapatan bulanan mencapai US$5 juta pada akhir tahun. Perusahaan tampak mencetak uang.
Pendanaan pun mengalir. Pada Agustus 2017, Sorabel menggalang US$27 juta pendanaan Seri B dari investor seperti Gobi Partners, Alpha JWC Ventures, Convergence Ventures, Korea Investment Partners, SMDV (Sinar Mas), dan MNC Media. Pada 2019, mereka juga memperoleh pendanaan utang US$2 juta dari InnoVen Capital, yang didukung oleh Temasek dan UOB Group, ditambah dua pendanaan jembatan yang nilainya tidak diungkapkan.
Total dana yang terkumpul besar. Traksi ada. Investor optimistis.
Pada Januari 2019, Sale Stock resmi berganti nama menjadi Sorabel. Rebranding ini dimaksudkan untuk melepaskan citra “barang murah” dan memosisikan diri sebagai merek fesyen yang lebih premium dan inklusif. Pendapatan tumbuh 2,4 kali lipat setelah rebranding.
Bahkan, pada pertengahan 2019, Sorabel merencanakan ekspansi regional ke Filipina dengan merek “Yabel”. CEO Jeffrey Yuwono berbicara tentang Sorabel seolah-olah ia adalah Zara atau ASOS berikutnya di Asia Tenggara.
Di atas kertas, segalanya terlihat sempurna.
Retakan di Balik Pertumbuhan
Namun kenyataan di balik layar jauh lebih rapuh.
“Sorabel belum mencapai profitabilitas, meskipun memiliki margin laba kotor sebesar 58%,” ungkap Jeffrey. Sejak 2016, perusahaan tidak pernah memiliki runway lebih dari enam bulan. Bahkan setelah pendanaan Seri B sebesar US$27 juta.
Uang terus masuk—dan terus keluar.
Gudang dibangun. Karyawan ditambah. Ekspansi luar negeri dijalankan. Model “Try First, Pay Later” dioperasikan dalam skala besar. Semua ini meningkatkan GMV, tetapi juga membakar kas dengan kecepatan brutal.
Pada September 2016, bahkan di tengah pertumbuhan stabil, Sale Stock sempat melakukan PHK terhadap sekitar 220 karyawan demi mengendalikan biaya. Pada 2018, Jeffrey Yuwono mengambil alih posisi CEO dari Lingga Madu. Perusahaan fokus memperbaiki kualitas dan memperbesar lini internal, dan memang—angka-angka terus membaik.
Kuartal IV 2019 menunjukkan sinyal positif:
- Pertumbuhan pendapatan bulanan dua digit (10–20%),
- CM3 positif (margin kontribusi setelah pemasaran),
- Margin laba kotor tetap di 58%.
Pada Juli 2019, CEO secara terbuka menyatakan Sorabel sedang mengupayakan pendanaan Seri C, terutama dari investor Tiongkok, dengan target profitabilitas pada kuartal I 2021. Term sheet ada di meja. Due diligence berjalan.
Namun, pada Agustus 2019, CMO Widijastoro Nugroho dan CTO Garindra Prahadono mengundurkan diri—sinyal bahwa tekanan internal kian berat.
Ketika Waktu Menjadi Musuh
Awal 2020 menjadi titik balik yang fatal.
Pada Februari 2020, Sorabel menutup operasional Yabel di Filipina untuk menekan kerugian. Fokus dikembalikan ke Indonesia. Namun pada Maret 2020, pandemi COVID-19 menghantam tanpa ampun.
Investor tidak bisa terbang ke Jakarta. Due diligence terhenti. Term sheet ditarik. Semua pembicaraan pendanaan berhenti dalam semalam—“dari bertemu 10 investor per minggu menjadi nol”.
Antara April hingga Juni 2020, penjualan anjlok drastis:
- Permintaan fesyen turun 50–70%,
- Pelanggan inti (kelas menengah dan menengah ke bawah) paling terdampak PHK,
- Trafik situs jatuh dari 1,15 juta kunjungan pada Maret menjadi 410 ribu pada April,
- Musim Hari Raya mencatat penjualan terendah sepanjang sejarah,
- Rantai pasok terganggu, stok tidak bisa diisi ulang.
Runway yang sudah pendek kini habis.
Pada Juli 2020, Sorabel mengumumkan penutupan. Memo internal menyatakan seluruh operasional akan dihentikan dan seluruh karyawan dilepas per 30 Juli 2020. Perusahaan mengajukan likuidasi.
“Hubungan kerja seluruh karyawan akan berakhir efektif per 30 Juli. Tentu tidak ada yang mengira hal ini akan terjadi.”
Bukan Produk yang Gagal, Melainkan Waktu
Sorabel tidak tumbang karena produk buruk atau pasar yang tak ada. Justru sebaliknya. Mereka hampir berhasil. Margin membaik. Merek diperbarui. Pendapatan tumbuh. Pendanaan hampir tertutup.
Namun mereka berdiri di garis finish dengan runway terlalu pendek, dan ketika COVID-19 datang, tidak ada ruang untuk bernapas.
Struktur Unit Economics Sorabel (Pra-COVID)
|
Komponen |
Kondisi Sorabel |
Catatan Kritis |
|
Model Bisnis |
Direct-to-Consumer (D2C) fesyen |
Bukan marketplace → tanggung jawab inventori penuh |
|
Produk |
80% private label |
Margin tinggi, risiko stok tinggi |
|
Gross Margin |
±58% |
Sangat sehat secara teori |
|
CAC (Customer Acquisition Cost) |
Relatif tinggi |
Didukung marketing & logistik kompleks |
|
LTV (Lifetime Value) |
Tinggi (loyalitas meningkat) |
Didukung Try First, Pay Later |
|
Return Rate |
Sangat tinggi (hingga ±300% awal) |
Membakar biaya logistik & handling |
|
CM3 (Contribution Margin after Marketing) |
Positif (Q4 2019) |
Baru tercapai sangat terlambat |
|
Profitabilitas |
❌ Belum tercapai |
Margin sehat ≠ arus kas sehat |
Insight utama: Sorabel bukan gagal di margin, tetapi gagal mengonversi margin menjadi arus kas positif secara konsisten.
Dua Kesalahan Besar
Kesalahan pertama: Menskalakan model dengan pembakaran kas tinggi tanpa jaring pengaman
“Sejak 2016, kami tidak pernah memiliki runway lebih dari enam bulan. Hal ini menciptakan disiplin yang baik karena kami harus selalu sangat fokus melakukan perbaikan agar layak mendapatkan pendanaan baru. Namun, margin kesalahan menjadi sangat kecil dan jelas tidak cukup untuk bertahan dari kondisi force majeure seperti pandemi global,” ujar Jeffrey.
Sorabel tumbuh dengan cepat, tetapi perusahaan tidak pernah memiliki runway lebih dari enam bulan—bahkan setelah memperoleh pendanaan Seri B sebesar US$27 juta.
Mereka membangun gudang, menambah jumlah karyawan, berekspansi ke luar negeri, dan menjalankan model “Try First, Pay Later” yang luar biasa bagi pengguna tetapi sangat mahal untuk dioperasikan.
Model ini memang menyelesaikan persoalan kepercayaan, tetapi dengan biaya per pesanan yang sangat tinggi, terutama ketika Sorabel semakin besar.
Biaya pengiriman, pengembalian barang, pengemasan ulang, dan kompleksitas operasional membakar kas lebih cepat daripada kemampuan mereka menutup kebocoran—bahkan ketika volume pesanan tampak menggiurkan di dashboard.
Ketika bisnis hanya berjalan selama arus kas terus mengalir…
Satu guncangan tak terduga (halo, COVID) bisa menghancurkan segalanya.
Kesalahan kedua: Pergeseran branding yang membingungkan audiens inti
Sale Stock dicintai oleh pembeli berpenghasilan menengah ke bawah yang menginginkan pakaian murah dan trendi.
Kemudian perusahaan mencoba “naik kelas”: melakukan rebranding menjadi Sorabel, memosisikan diri sebagai merek yang lebih “eksklusif”, menjauh dari identitas awal sebagai pemburu harga murah
Hasilnya?
Sebagian pelanggan lama tidak mengikuti.
Pelanggan baru belum sepenuhnya mempercayai merek tersebut.
Rebranding itu mahal—dan bisa mematikan jika dilakukan terlalu dini atau terlalu terlambat.
“Alasan utamanya adalah rebranding membutuhkan modal besar dan proses yang sulit, sementara kami memiliki target pertumbuhan tinggi dan dana yang terbatas,” kata Jeffrey.
Tiga Pelajaran Terakhir
Pelajaran pertama: Jangan membangun produk andalan yang tidak sanggup ditopang oleh kondisi keuangan
Layanan “Try First, Pay Later” milik Sorabel adalah jenis fitur yang diimpikan setiap pendiri—pelanggan menyukainya, kepercayaan melonjak, dan pengalaman terasa luar biasa.
Namun di balik layar? Biayanya sangat mahal:
- Kurir menunggu di luar selama 15 menit
- Tingkat pengembalian awal yang sangat tinggi (bahkan hampir 300% pada satu titik)
- Biaya penanganan ganda
- Pengambilan pembayaran tunai di depan pintu
- Keterlambatan dan penyusutan inventori
Fitur ini menyelesaikan masalah nyata… tetapi model bisnisnya tidak mampu menyerap biaya tersebut dalam jangka panjang.
Pelajaran kedua: Selalu lindungi runway (bahkan ketika segalanya tampak baik-baik saja)
Sorabel tumbuh 2,4 kali lipat setelah rebranding. Margin kuartal IV 2019 sudah positif. Di atas kertas, mereka tampak tak terbendung.
Namun mereka tetap hanya memiliki cadangan kas kurang dari enam bulan.
Ketika COVID datang, kelemahan mendasar ini langsung tersingkap.
Pelajaran ketiga: Waktu adalah hal yang sangat penting
Sorabel mati karena waktu yang tidak tepat.
Mereka baru saja melakukan rebranding.
Mereka baru saja memperbaiki margin.
Pendapatan tumbuh 2,4 kali lipat.
Term sheet sudah ada di meja.
Mereka akhirnya berada di jalur menuju profitabilitas.
Lalu COVID datang, menutup semua pintu, dan mengubah semua “hampir tercapai” menjadi “tidak pernah terjadi”.
- Investor yang siap menutup pendanaan tidak bisa terbang ke Jakarta.
- Pendanaan Seri C yang seharusnya menyelamatkan perusahaan menguap dalam semalam.
- Seluruh pasar inti mereka (perempuan kelas menengah) berhenti membeli produk fesyen sepenuhnya.
Sejatinya, Sorabel tidak runtuh karena produknya gagal. Jutaan perempuan Indonesia telah mempercayainya—mengunduh aplikasinya, menunggu kurir di depan rumah, mencoba pakaian di ruang tamu sendiri, lalu membayar hanya yang mereka pilih. Kepercayaan itu nyata. Pasarnya ada. Bahkan jalur menuju profitabilitas akhirnya terlihat jelas setelah bertahun-tahun berdarah-darah.
Yang tidak dimiliki Sorabel hanyalah waktu. Runway perusahaan selalu pendek. Terlalu pendek untuk salah langkah. Terlalu pendek untuk menunda keputusan. Terlalu pendek untuk menahan satu guncangan besar. Ketika pandemi COVID-19 datang, pintu pendanaan tertutup dalam semalam. Pesawat investor berhenti terbang. Konsumen berhenti membeli. Dan perusahaan yang “tinggal sedikit lagi” itu kehabisan napas sebelum sempat menyentuh garis akhir.
Tragedi Sorabel adalah tragedi startup yang tidak melakukan kesalahan besar—tetapi tidak diberi cukup ruang untuk bertahan dari kesalahan kecil. Ini adalah kisah tentang bagaimana produk yang tepat, pasar yang nyata, dan margin yang sehat tetap bisa kalah oleh satu variabel yang sering diremehkan: runway. (*AMBS/diolah dari berbagai sumber)


















Discussion about this post