youngster.id - KoinWorks datang membawa janji besar—menjadi jembatan bagi jutaan usaha kecil dan menengah Indonesia yang selama ini terpinggirkan sistem perbankan. Dengan jargon “inklusi finansial untuk semua”, platform ini tumbuh cepat, mengelola triliunan rupiah dana publik, dan menempatkan dirinya sebagai simbol keberhasilan fintech nasional.
Namun di balik gemerlap narasi itu, fondasi kepercayaan perlahan retak. Awal 2024 menjadi titik balik kelam: kasus fraud di anak usahanya, KoinP2P, mencuat ke permukaan, menyeret dana ratusan miliar rupiah dan mengguncang reputasi seluruh industri. Dari ruang-ruang rapat investor hingga forum lender ritel, satu pertanyaan menggema: bagaimana platform yang lahir dari semangat inklusi bisa terjerembap dalam ilusi integritas yang runtuh?
Latar Belakang dan Awal Mula
Pada tahun 2016, KoinWorks didirikan oleh dua sosok yaitu Benedicto Haryono dan Willy Arifin dengan visi yang cukup jelas: menyediakan akses pembiayaan bagi usaha kecil-menengah (UKM) di Indonesia yang selama ini sering terpinggirkan oleh bank konvensional. Mereka melihat bahwa meskipun Indonesia memiliki puluhan juta UKM, sangat banyak yang tidak memiliki catatan kredit bank yang kuat atau tidak memenuhi syarat pembiayaan formal — sehingga muncul peluang besar bagi model fintech peer-to-peer (P2P) untuk mengisi kekosongan ini.
KoinWorks menawarkan platform yang menghubungkan pemberi pinjaman (“lender”) dengan peminjam (“borrower”) melalui aplikasi dan sistem daring. Beberapa produk yang ditawarkan di antaranya:
- P2P lending (KoinP2P) yang memfokuskan pada UKM dan pelaku bisnis mikro.
- Layanan keuangan lainnya seperti KoinGold (emas digital), KoinBond (surat utang negara), KoinDeposito dan sebagainya (menurut laporan 2023). Platform ini menawarkan akses modal yang lebih cepat dan fleksibel dibanding bank konvensional, dengan target UKM, usaha mikro dan underbanked.
KoinWorks kemudian membangun platform di mana individu (lender ritel) bisa menyalurkan dana ke UKM atau pelaku usaha mikro melalui proses daring (online). Dalam strategi awalnya, mereka juga menggabungkan teknologi (data, scoring) dan “sentuhan manusia” (kunjungan lapangan, verifikasi fisik) untuk meningkatkan keandalan peminjam.
Model ini muncul di saat regulasi fintech lending Indonesia mulai terbentuk: sebelum 2016, belum banyak undang-undang atau regulasi kuat untuk fintech lending. Sebuah studi menunjukkan bahwa ketidakmampuan regulasi dapat menyebabkan kerentanan platform P2P di negara berkembang seperti Indonesia.
Pertumbuhan dan Ekspansi
KoinWorks pernah menjadi salah satu bintang paling terang dalam lanskap fintech lending Indonesia. Pertumbuhannya berlangsung cepat, didorong oleh agresivitas ekspansi, variasi produk, serta citra sebagai platform yang mendorong inklusi finansial berbasis teknologi. Dalam sebuah publikasi internal, KW Magazine Vol. 2 (2023), perusahaan menyebut telah menyediakan ragam layanan untuk berbagai segmen pengguna, sekaligus membangun kehadiran tim di kota-kota strategis seperti Yogyakarta, Bandung, Bali, dan Surabaya. Narasi pertumbuhan ini bukan tanpa dasar. Pada tahun 2018, misalnya, jumlah pendana (lender) KoinWorks telah menembus 86.000 orang, dengan rata-rata effective return mencapai 21,32% per tahun untuk instrumen tertentu—angka yang kala itu menjadi magnet utama bagi banyak investor ritel yang haus imbal hasil tinggi.
Ambisi KoinWorks juga tercermin lewat klaim-klaim dampak sosial yang melekat pada platformnya. Melalui anak usahanya, KoinP2P, perusahaan ini telah menyalurkan pembiayaan ke lebih dari 11.000 pelaku usaha kecil dan menengah. Dalam ekosistem fintech yang saat itu sedang tumbuh pesat, angka tersebut menjadi bukti bahwa KoinWorks tidak hanya membangun teknologi, tetapi juga menempatkan diri sebagai katalis ekonomi bagi UMKM.
Di balik panggung, perjalanan pendanaan KoinWorks menunjukkan betapa tingginya kepercayaan investor terhadap prospek perusahaan ini. Sebuah riset mengenai lanskap fintech lending Indonesia mencatat bahwa pada 2018, KoinWorks berhasil menggaet dukungan dari nama-nama besar seperti Mandiri Capital Indonesia, Convergence Ventures, Gunung Sewu, Beeblebrox, hingga Quona Capital. Arus modal semakin deras pada tahun-tahun berikutnya. Pada November 2019, KoinWorks memperoleh suntikan sekitar Rp190 miliar dari Saison Capital, investor asal Jepang yang dikenal fokus pada startup finansial.
Puncak euforia itu tampak pada 2022. KoinWorks meraih pendanaan Seri C senilai US$108 juta—sekitar Rp1,6 triliun—meski angka ini belum diverifikasi secara independen oleh berbagai sumber.
Tentunya, pendanaan besar yang diperoleh itu semakin memperkuat citra KoinWorks sebagai pemain besar yang bukan hanya diminati investor regional, tetapi juga diperhitungkan dalam peta fintech global.
Dengan demikian, KoinWorks tampak sebagai salah satu pemain fintech yang “bernilai tinggi”, dengan potensi inklusi keuangan yang besar di pasar Indonesia yang besar dan relatif under-banked.
Awal Masalah Muncul
Namun di balik pertumbuhan, mulai muncul gejala kelam. Pada akhir tahun 2024 terbuka bahwa anak usaha KoinWorks, KoinP2P, menghadapi kasus fraud besar: sebuah borrower (atau sekelompok borrower) diduga melakukan penipuan sehingga dana lender tertahan dan pembayaran imbal hasil tertunda. Media melaporkan bahwa jumlah kerugian yang dikaitkan dengan kasus itu sekitar Rp365 miliar (sekitar US$22–23 juta) akibat aktivitas peminjam yang kabur atau identitas ganda, pengajuan pinjaman fiktif, atau skema yang tidak semestinya.
Kronologi awal penipuan:
- Kasus dilaporkan ke polisi pada 3 Oktober 2024 oleh PT Lunaria Annua Teknologi (LAT).
- Menurut Polda Metro Jaya, terlapor berinisial MT (dan BAA sebagai direktur LAT) melakukan kerjasama sejak 2021 untuk meminjam dana melalui skema P2P lending: pertama melalui pengajuan 279 KTP palsu yang menghasilkan pinjaman Rp 330 miliar; dan kedua melalui skema bilateral senilai Rp35 miliar. Total kerugian diduga hingga Rp365 miliar.
- Pada kasus lain disebut bahwa kerugian bisa lebih besar, bahkan ada pernyataan kerugian sampai Rp1,2 triliun menurut data slip dari Bank Indonesia.
Regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kemudian memanggil manajemen KoinP2P untuk memberikan penjelasan, melakukan pemeriksaan on-site, dan menuntut rencana pemulihan.
Gejala-gejala yang muncul termasuk:
- Penundaan pembayaran atau penghentian sementara distribusi imbal hasil kepada lender.
- Klaim bahwa borrower mempergunakan identitas palsu atau skema ganda pengajuan pinjaman.
- Kelemahan dalam proses KYC/identitas, verifikasi fisik, dan kontrol risiko sebagaimana diungkap oleh regulator dan media.
Keruntuhan dan Skandal
Dampak langsung
- Karena kasus tersebut, KoinP2P membekukan sementara dana lender dan banyak lender mengeluh bahwa pembayaran gagal dilakukan.
- Reputasi KoinWorks menjadi tercemar, kepercayaan masyarakat (termasuk lender) terhadap platform menurun.
- Regulator dan kepolisian mulai turun tangan: Polda Metro Jaya melakukan penyelidikan terhadap LAT dan KoinP2P.
Penyebab mendasar
Beberapa analisis menunjukkan bahwa kegagalan tersebut bukan hanya karena satu borrower nakal, tetapi juga karena lemah-nya tata kelola, pengawasan internal, dan pemilihan risiko peminjam yang longgar:
- Dalam artikel “Fraud, Lies and Unicorn: Hard Lessons from Indonesia’s Tech Startup Failures” yang ditulis Guru Besar Binus University, Prof. Gatot Soepriyanto Ph.D., dijelaskan bahwa KoinWorks mengalami lolosnya ratusan pinjaman fiktif melalui anak usahanya KoinP2P.
- Faktor-faktor seperti opportunity (kesempatan untuk melakukan fraud karena sistem kontrol yang lemah), pressure (tekanan pertumbuhan cepat), dan rationalization (pelaku merasa “sementara pinjaman” atau “untuk ekspansi”) disebut sebagai penyebabnya.
Skandal besar
- Kasus pinjaman Rp365 miliar (atau lebih besar) menjadi titik puncak skandal KoinWorks.
- Sebagai respons, KoinP2P menyatakan akan menanggung tanggung-jawab untuk memulihkan dana lender yang terdampak, dengan estimasi hingga 2 tahun dan pemberian “kompensasi” sebesar 5% per tahun.
- Namun sampai laporan-terakhir publikasi, belum jelas berapa persen dana yang berhasil dipulihkan, sehingga banyak lender masih menunggu kejelasan.
Seiring dengan terkuaknya kasus tersebut, kepercayaan lender ritel mulai menipis. Ketika seorang lender ritel melihat bahwa dana yang ditempatkan di platform tidak jelas kapan bisa ditarik atau kapan imbal hasil akan dibayarkan, maka rasa aman yang selama ini menjadi keunggulan model P2P mulai terkikis.
Bagi KoinWorks, dampaknya juga besar: reputasi yang dulu kuat sebagai pemimpin fintech terancam, kebutuhan untuk melakukan audit independen meningkat, dan tekanan regulasi menjadi lebih keras. Manajemen harus mengumumkan rencana restrukturisasi portofolio, menjelaskan klaim-klaim lender, dan menunjukkan bukti pemulihan. Namun dalam saat yang sama, media dan publik menyoroti bahwa masalah ini bukan semata borrower yang nakal, melainkan juga kelemahan sistem internal (governance, manajemen risiko) dan tekanan pertumbuhan yang agresif.
Kondisi Terkini
Hingga awal 2025 laporan menyebut bahwa KoinP2P tengah dalam proses penyelesaian klaim lender, dan OJK memantau secara intensif. Namun pemulihan penuh akan membutuhkan waktu, transparansi, dan kemungkinan penyertaan modal tambahan. Masalah ini bukan hanya membebani KoinWorks sebagai entitas tunggal, tetapi juga memberi tekanan bagi seluruh industri fintech lending di Indonesia — yang harus menegaskan kembali bahwa inklusi finansial tidak bisa dikorbankan demi pertumbuhan cepat.
Perkembangan KoinWorks dan fraud anak usahanya (KoinP2P)
|
Tahun / Periode |
Peristiwa & detail kronologis |
Dampak / catatan penting |
|
2016–2020 |
KoinWorks tumbuh sebagai platform fintech P2P, menambah produk (KoinP2P, KoinGold, KoinDeposito, dsb.). Menggaet lender ritel dan UMKM sebagai borrower. |
Membangun basis lender & borrower; mendapat pendanaan VC/ investor. |
|
2018–2021 |
Perluasan layanan dan percepatan penyaluran pinjaman; peningkatan volume transaksi (klaim perusahaan tentang ribuan UKM yang dibiayai). |
Skala operasi membesar → kebutuhan sistem verifikasi dan kontrol juga meningkat. |
|
2021–2023 |
Periode ekspansi produk; aktivitas pemasaran untuk menarik lender ritel. |
Tekanan untuk mempertahankan imbal hasil bagi lender sambil menambah volume penyaluran. |
|
3 Okt 2024 |
PT Lunaria Annua Teknologi (KoinP2P) melaporkan dugaan penipuan ke Polda Metro Jaya (lap. no. LP/B/5983/SPKT/Polda Metro Jaya). |
Awal pelaporan resmi; indikasi fraud struktural mulai terkuak. |
|
19–22 Nov 2024 |
Media memberitakan potensi kerugian besar akibat borrower yang “membawa kabur” dana: angka yang ramai disebut antara Rp360–365 miliar (beberapa laporan menyebut variasi angka). Polisi mulai memanggil pihak terkait. |
Pembekuan/penundaan pembayaran ke lender; OJK mulai awasi ketat; banyak pengaduan nasabah. |
|
21 Nov 2024 |
OJK melakukan pengawasan ketat terhadap PT Lunaria Annua Teknologi terkait penundaan pembayaran akibat dugaan penyalahgunaan dana oleh borrower. |
OJK memonitor proses penyelesaian, meminta komitmen manajemen terkait permodalan & langkah perbaikan. |
|
Nov–Des 2024 |
Polda Metro Jaya dan penyidik melakukan penyelidikan; terungkap modus pinjaman ganda & penggunaan identitas palsu; terlapor berinisial MT disebut terlibat. |
Kasus berlanjut ke tahap penyidikan; reputasi KoinWorks menurun tajam. |
|
Jan 2025 |
OJK melakukan pemeriksaan khusus terhadap KoinP2P (pemeriksaan mendalam terhadap praktik operasional & governance). |
Tekanan regulasi meningkat; OJK menuntut rencana penyelesaian kepada manajemen. |
|
Q1–Q2 2025 |
Manajemen KoinWorks mengumumkan langkah-langkah perbaikan: restrukturisasi portofolio, pemetaan klaim lender, rencana pemulihan dana dan timeline kompensasi; implementasi perbaikan verifikasi. |
Langkah mitigasi; namun kepercayaan lender perlu waktu untuk pulih. (rincian implementasi menunggu audit independen). |
|
Mar 2025 (laporan lanjutan) |
OJK menyatakan jumlah imbal hasil/lender yang belum dibayar mencapai kisaran Rp360 miliar; OJK terus memantau dan mendorong penyelesaian. |
Kasus menjadi contoh penting bagi penguatan pengawasan fintech P2P di Indonesia. |
Pembelajaran dan Implikasi Lebih Luas
Kasus KoinWorks telah menjadi salah satu contoh bagaimana model fintech P2P — yang pada dasarnya sangat menjanjikan dalam inklusi keuangan — bisa tertangkap oleh jebakan: pertumbuhan cepat tanpa disertai tata kelola yang memadai. Beberapa pelajaran yang muncul adalah:
- Teknologi, meskipun penting, bukan jaminan bahwa risiko akan terkendali. Verifikasi identitas, audit internal, dan manajemen risiko tetap kunci.
- Regulasi harus berjalan seiring dengan pertumbuhan: jika sebuah platform tumbuh dengan cepat tetapi regulasi atau pengawasan tertinggal, maka kerentanan muncul. Studi menunjukkan bahwa sebelum regulasi fintech kuat diterapkan, risiko platform P2P sangat tinggi.
- Kepercayaan merupakan aset kritikal. Di industri marketplace keuangan, jika aliran dana ritel dan imbal hasil terganggu, maka kontrol reputasi bisa runtuh dengan cepat.
- Investor, lender, dan regulator perlu lebih berhati-hati terhadap hype: pertumbuhan besar bukan jaminan model bisnis sehat; angka pinjaman besar atau lender banyak belum tentu mencerminkan kualitas underwriting dan governance. (*AMBS/diolah dari berbagai sumber)


















Discussion about this post