youngster.id - Semua skandal besar selalu berawal dari sebuah janji. Bagi Crowde, janji itu terdengar begitu menjanjikan hingga sampai ke pelosok desa: modal yang lebih adil, proses yang lebih cepat, dan harapan baru bagi petani kecil yang selama puluhan tahun terjebak dalam lingkaran pinjaman informal.
Ketika platform ini berdiri pada September 2015, digagas oleh Yohanes Sugihtononugroho dan Muhammad Risyad Ganis, Crowde membawa impian besar—menjadikan pertanian sebagai kelas aset baru yang dapat diakses oleh siapa saja melalui teknologi.
Di mata publik, kemunculan Crowde tampak seperti angin segar. Sebuah platform digital yang menghadirkan permodalan berbasis proyek, menghubungkan investor ritel hingga institusi dengan petani di berbagai daerah. Banyak kisah petani yang tiba-tiba dapat membeli benih lebih baik, memperluas lahan, atau sekadar lepas dari jeratan rentenir. Narasi resmi perusahaan dan liputan media memperkuat gambaran ini: teknologi bisa merombak ekosistem pertanian Indonesia yang lama mandek.
Namun seperti banyak kisah dalam dunia startup, jalan cerah itu menyimpan bayang-bayang. Ketika dana mengalir semakin besar, risiko pun ikut menggunung. Retakan kecil mulai muncul—pelaporan yang tak sinkron, aliran pengembalian yang tersendat, data penerima modal yang meragukan—hingga akhirnya badai benar-benar datang. Ribuan pengguna menunggu kepastian, petani kebingungan, investor kecil marah. Regulator turun tangan. Janji-janji itu, yang dahulu begitu meyakinkan, mendadak terasa rapuh.
Crowde bukan sekadar contoh startup gagal; ia adalah gambaran bagaimana harapan petani dapat menguap begitu cepat ketika tata kelola tidak sanggup mengikuti laju pertumbuhan. Kisahnya adalah peringatan tentang ambisi besar yang tak bertopang sistem kokoh—dan dampak kegagalan yang tidak hanya tercatat sebagai angka, tetapi sebagai nasib petani yang kembali kehilangan pegangan.
Awal Mula: Menutup Kekosongan Modal Petani
Crowde lahir dari kesenjangan nyata dalam sektor pertanian Indonesia. Sebagian besar petani kecil dan menengah—yang menjadi tulang punggung produksi pangan nasional—tidak memiliki akses ke pembiayaan formal. Data internal Crowde bahkan menyebut 78% petani tidak memenuhi syarat kredit perbankan konvensional. Kondisi ini membuka ruang bagi inovasi digital: fintech yang menjembatani modal dengan sektor riil.
Crowde berusaha menjadi platform peer-to-peer/crowdfunding yang memungkinkan masyarakat menyalurkan dana langsung ke proyek budidaya pertanian. Di baliknya ada visi untuk memberi ruang bagi petani kecil mengembangkan usahanya di tengah tantangan regenerasi petani dan minimnya literasi finansial. Misi perusahaan jelas: menciptakan kesempatan, bukan sekadar memberi pinjaman.
Di atas kertas, model yang diusung Crowde sangat meyakinkan. Petani mengajukan proyek budidaya—cabai, jagung, padi, dan lainnya—melalui platform. Dana yang terkumpul disalurkan ke rekening petani atau melalui toko tani mitra sebagai kontrol belanja. Investor dapat memilih proyek dengan imbal hasil tertentu, sementara Crowde memposisikan diri sebagai penghubung antara petani, penyedia input, dan pasar.
Kerja sama dengan pihak besar pun terjalin. Bank Mandiri, misalnya, pernah menyatakan bahwa portofolio pembiayaan melalui Crowde mencapai Rp90 miliar kepada lebih dari 17.000 petani. Data dari laman resmi Crowde menunjukkan rata-rata pinjaman proyek budidaya sebesar Rp51 juta tanpa agunan dengan tenor 1–12 bulan. Secara naratif, semua ini terlihat seperti ekosistem agribisnis modern yang ideal.
Pertumbuhan: Angka-Angka yang Membuat Takjub
Dari 2017 hingga 2021, Crowde sering disebut sebagai rising star di sektor agritech. Pada akhir 2019, mereka mengklaim telah menyalurkan lebih dari Rp81 miliar kepada 17.000 petani. Pada 2020, hanya dalam dua bulan, mereka mencatat penyaluran Rp22 miliar dan bermitra dengan lebih dari 28.000 petani.
Arah pendanaan pun berubah. Jika sebelumnya didorong investor ritel, mulai 2021 sekitar 92% dana justru datang dari institusi. Pada akhir 2023, Crowde menyebut total penyaluran pendanaan sejak berdiri mencapai Rp1,024 triliun—angka yang memperlihatkan skala besar pergerakan modal mereka.
Narasi ini membuat Crowde tampil sebagai salah satu pionir fintech agrikultur Indonesia yang paling menjanjikan.
Namun keberhasilan itu tak mampu menutupi gejolak yang mulai terasa. Laporan media dan pengawasan perbankan menyinggung munculnya dugaan penyalahgunaan dana channeling oleh sejumlah fintech, termasuk Crowde. Salah satu yang paling mencolok muncul ketika J Trust Bank melaporkan dugaan penggelapan dana channeling senilai sekitar Rp53 miliar, dengan temuan bahwa beberapa nama “petani” sebagai penerima pinjaman ternyata tidak mengetahui bahwa mereka diajukan sebagai debitur.
Crowde membantah tuduhan tersebut dan mengklaim telah menyalurkan dana sesuai prosedur—namun persoalan tak berhenti di sana. Analisis lain menunjukkan dugaan lebih serius: dari total pinjaman Crowde pada 2021–2024 yang mencapai Rp1,3 triliun, hanya sekitar Rp500 miliar yang benar-benar mengalir ke sektor pertanian, sementara sisanya diduga masuk ke transaksi fiktif atau pembiayaan komoditas yang lemah verifikasi.
Pada titik ini, regulator mulai memberi perhatian khusus. OJK meningkatkan pengawasan terhadap fintech P2P agrikultur dan mulai memetakan masalah serius dalam praktik penyaluran dana.
Puncak Kejatuhan: Izin Dicabut, Harapan Menghilang
Puncak krisis terjadi pada 2025. Setelah ditempatkan dalam status pengawasan khusus dan dianggap gagal memenuhi ekuitas minimum yang disyaratkan—Rp12,5 miliar—OJK akhirnya mencabut izin usaha PT Crowde Membangun Bangsa. Keputusan ini efektif mematikan seluruh operasional Crowde sebagai platform pembiayaan.
Yang tersisa adalah proses panjang: penyelesaian kewajiban kepada investor, kepastian bagi petani mitra, dan pertanyaan besar yang menggantung di ruang publik tentang bagaimana sebuah startup dengan visi mulia bisa runtuh sedemikian cepat.
Perjalanan Crowde hingga dibekukan OJK
|
Tanggal / Tahun |
Peristiwa |
Catatan / Dampak Penting |
|
September 2015 |
Crowde didirikan oleh Yohanes Sugihtononugroho dan Muhammad Risyad Ganis |
Awal berdiri sebagai fintech agrikultur yang ingin memfasilitasi modal kepada petani. |
|
25 Jan 2018 |
Crowde menyatakan target himpun investasi Rp 100 miliar untuk petani di 2018. ( |
Ekspansi awal menunjukkan pertumbuhan optimis. |
|
Desember 2019 |
Crowde menyatakan telah menyalurkan dana > Rp 81 miliar kepada > 17.000 petani. |
Tanda bahwa usaha mereka tumbuh, angka diseminasi modal mulai besar. |
|
Juni 2021 |
Crowde diberitakan telah memberikan bantuan non‐tunai senilai Rp 380 miliar dalam bentuk pupuk, benih, alat kepada puluhan ribu petani sejak 2017. |
Menunjukkan ekspansi model bisnis: bukan hanya uang, tetapi juga input produksi dan pelatihan. |
|
2022 |
(Perkembangan) Crowde aktif dalam program-agrikultur digital, media meliput hubungannya dengan petani dan investor. |
Peningkatan cakupan, visi besar, dan pengakuan sebagai salah satu fintech agritech. |
|
2024 |
Pengawasan dari OJK mulai meningkat; kasus kredit channeling fintech agrikultur, termasuk Crowde, menjadi perhatian regulator. |
Penanda pertama bahwa ada masalah serius di dalam operasional dan/atau tata kelola. |
|
2025 Oktober / 7 Nov |
OJK dalam konferensi pers menyampaikan: Crowde dicabut izin usahanya karena “status pengawasan khusus” dan tidak dapat menyehatkan kondisi perusahaan. |
Puncak kejatuhan: izin usaha dicabut, lalu platform harus berhenti beroperasi secara normal sebagai fintech P2P. |
Refleksi: Pelajaran dari Runtuhnya Sebuah Harapan
Kisah Crowde menyisakan pelajaran penting bagi ekosistem fintech agrikultur di Indonesia:
- Idealisme tidak cukup. Tanpa tata kelola yang kuat, sistem monitoring yang rapi, dan integritas data lapangan, janji membantu petani bisa berubah menjadi bumerang.
- Kerja sama dengan institusi besar bukan jaminan. Bahkan dengan dukungan perbankan besar, risiko fraud dan data fiktif tetap bisa terjadi jika verifikasi lapangan lemah.
- Fintech agrikultur memerlukan kontrol yang jauh lebih ketat. Lapangan yang tersebar, proses budidaya yang tidak seragam, dan kompleksitas rantai pasok membuat risiko moral hazard sangat tinggi.
- Regulasi seperti pemenuhan modal minimum bukan formalitas. Ia adalah fondasi kepercayaan sistem.
- Bagi petani dan investor, risiko tetap ada. Model teknologi tidak otomatis mengurangi risiko; ia hanya mengubah bentuknya.
Pada akhirnya, Crowde memperlihatkan betapa tipisnya batas antara inovasi dan krisis. Sebuah platform yang dibangun di atas idealisme pertanian modern bisa runtuh jika pondasi tata kelolanya rapuh. Dan ketika itu terjadi, yang paling terdampak bukanlah para pendiri atau investor institusi, tetapi petani kecil—mereka yang sejak awal menjadi alasan platform ini lahir. (*AMBS/diolah dari berbagai sumber)
