youngster.id - Indonesia Fintech Society (IFSoc) menyoroti perkembangan perkara yang dituduhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap seluruh perusahaan pinjaman daring (pindar) di Indonesia terkait penetapan batas atas suku bunga atau manfaat ekonomi pada Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (fintech lending) oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) di tahun 2018 silam.
IFSoc berpandangan masalah ini perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas dan obyektif khususnya menyangkut adanya kepentingan perlindungan konsumen dan penataan pelaku pasar.
Anggota Dewan Pengarah IFSoc yang juga merupakan mantan Komisioner OJK (2017-2022) Tirta Segara menjelaskan, penetapan ini bukanlah kartel. Menurutnya, kalau melihat ke belakang, saat itu OJK memberi arahan kepada AFPI untuk menata perilaku pasar lewat Code of Conduct.
“Langkah ini menjadi pijakan awal bagi diterbitkannya ketentuan batas atas manfaat ekonomi pindar yang langsung ditetapkan oleh OJK pada tahun 2023 dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) 19/SEOJK.06/2023. Hal ini juga telah dijelaskan dalam surat OJK kepada AFPI tanggal 16 Mei 2025. Tujuannya bagus, untuk melindungi konsumen dan masyarakat dari adanya suku bunga pinjol ilegal pada saat itu yang luar biasa tinggi,” papar Tirta, yang saat itu merupakan Komisioner OJK yang membidangi perlindungan konsumen.
Anggota Dewan Pengarah IFSoc lain, Syahraki Syahrir, menyampaikan pandangan senada. Syahraki menambahkan penetapan batas atas suku bunga ini membawa manfaat riil bagi masyarakat peminjam.
“Kita melihat suku bunga yang tadinya sangat tinggi akhirnya bisa terus diturunkan. Batas atas ini berfungsi sebagai pagar pengaman, sementara harga tetap bergerak mengikuti mekanisme pasar,” imbuh Syahraki.
Seperti diketahui, KPPU sedang menyelidiki dugaan kartel terkait penetapan batas atas suku bunga di industri fintech lending pada tahun 2018 silam–di saat marak pinjol ilegal yang menawarkan suku bunga sangat tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, OJK menginstruksikan AFPI untuk melakukan pengaturan batas atas suku bunga melalui code of conduct sebesar 0,8% per hari. Batas atas suku bunga kembali diturunkan menjadi maksimal 0,4% pada 2021, juga atas arahan OJK. Selanjutnya, ketentuan batas atas suku bunga ini diambil alih langsung oleh OJK melalui SEOJK 19/SEOJK.06/2023 sebesar maksimal 0,3% (pinjaman konsumtif) dan 0,1% (pinjaman produktif).
Menurut Tirta, penting dipahami bahwa yang ditetapkan adalah batas atas, bukan penyeragaman harga ataupun penetapan batas bawah. “Fakta menunjukkan ruang kompetisi sesuai mekanisme pasar tetap terbuka. Kenyataannya banyak pelaku tidak mematok bunga di level yang sama. Sehingga tidak tepat jika dikatakan adanya “kartel” di industri fintech lending,” kata Tirta.
Lebih jauh, Syahraki merekomendasikan agar KPPU bisa duduk bersama OJK untuk membahas persoalan ini. Apabila terbukti kebijakan tersebut menimbulkan distorsi pasar, maka lembaga terkait diminta mengevaluasi atau mencabut kebijakannya. Prioritasnya tetap harus konsumen.
“Kita memerlukan ekosistem yang melindungi peminjam dari praktik pinjaman eksesif sambil menjaga kompetisi agar mendorong inovasi dan akses pembiayaan yang lebih luas. Di sinilah pentingnya regulatory coherence antara otoritas sektor keuangan dan otoritas persaingan usaha,” pungkasnya.
IFSoc adalah forum diskusi kebijakan di wilayah teknologi finansial yang terdiri dari antara lain: sejumlah ekonom senior seperti Dr. Hendri Saparini, Dr. A. Prasetyantoko, Dr. Yose Rizal, jurnalis senior dan pemimpin industri fintech, praktisi tata kelola Syahraki Syahrir, perwakilan modal ventura Eddi Danusaputro, mantan Menkominfo Rudiantara, mantan Komisioner OJK Tirta Segara, serta mantan Asisten Gubernur BI Dyah Nastiti. (*AMBS).