youngster.id - Asia Pasifik adalah satu-satunya wilayah yang dinantikan untuk pertumbuhan volume transaksi perhotelan pada tahun ini. Demikian laporan JLL terbaru Hotel Investment Outlook. Konsultan real estate internasional ini mengantisipasi tercapainya total volume transaksi untuk Asia Pasifik sebesar $9,5 milyar pada tahun 2019, angka ini meningkat 15 % dibanding dengan 2018.
“2018 adalah tahun pemulihan bagi pasar hotel utama di Indonesia dengan kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya yang hampir mencapai siklus akhir pembangunan sedangkan Bali memperlihatkan pemulihan yang sangat cepat dan substansial setelah terjadinya letusan Gunung Agung pada akhir tahun 2017. Sebagai akibatnya, volume transaksi di Indonesia meredam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.” kata Corey Hamabata, Senior Vice President, JLL Hotels & Hospitality Group dalam keterangannya, Senin (11/3/2019).
Menurut dia, tahun lalu, kegiatan transaksi didorong oleh perdagangan single-asset, yang menghasilkan 83% lebih dari total nilai US$8,3milyar yang diinvestasikan di wilayah ini. Para pengembang serta perusahaan pemodal swasta adalah pembeli terbesar, yang mendapatkan lebih dari setengah properti yang diperdagangkan.
“Tetapi, pada tahun ini, kami mencatat adanya pertumbuhan kegiatan dari para investor luar negeri serta tipe investor penanam modal dalam mengantisipasi pemulihan pasar-pasar ini. Dengan demikian, kami harapkan kegiatan transaksi akan meningkat pada tahun ini dan tahun-tahun berikutnya,” kata Corey lagi.
Dimulai pada tahun 2018, momentum investasi ini diharapkan dapat menjadi lebih cepat saat para investor mulai menjual aset dan menuju antisipasi meningkatnya bidang pariwisata, terutama di Jepang dan Singapura. Para pembeli yang paling dominan adalah dana ekuitas swasta Pan-Asian yang berhasil meningkatkan modal pada tahun lalu tetapi belum menyebarkannya. REITs yang sudah listing, terutama REITs Jepang, akan melirik pasar yang paling likuid di Asia untuk pembelian, sementara para konglomerat dan pemilik/penghuni akan lebih selektif dalam membeli di pasar utama.
“Meskipun terjadi serangkaian bencana alam, pasar hotel di Jepang tetap mampu menarik minat para investor dunia. Hampir 30 persen dari semua investasi di Asia Pasifik ditanamkan di Jepang, dengan ini Jepang menggeser China dari posisi puncak,” kata Nihat Ercan, Head of Hotel Investment Sales Asia, JLL’s Hotel & Hospitality Group.
Menurut laporan tersebut, sentimen investor di Jepang akan tetap tinggi dengan adanya Rugby World Cup dan Olimpiade Tokyo – saat ini pasar sudah mengalami pertumbuhan sebesar 8,7 persen dalam setahun di bidang pariwisata. Sama halnya, pasar hotel di Singapura berhasil menarik 7% lebih banyak wisatawan pada tahun kemarin, mendorong kenaikan positif RevPAR di semua skala kelas perhotelan. Di China, permintaan pariwisata melampaui penawaran — JLL mencatat pertumbuhan RevPAR dengan rekor tertinggi di seluruh kota-kota besar China pada tahun 2018, termasuk Chengdu yang naik 20%, Beijing naik 15%, Chongqing naik 13 % dan Wuhan 12%.
“Sementara kita berada di kondisi late-cycle dimana tingkat imbal balik tetap rendah dengan kemungkinan yang terbatas untuk tekanan lebih lanjut, kebanyakan investor tidak melihat adanya penurunan besar di masa mendatang. Setelah terjadi pelemahan pada kuartal terakhir tahun 2018, permintaan dan transaksi mulai meningkat di awal tahun ini. Tingkat suku bunga saat ini semakin stabil, jadi para investor dapat berkonsentrasi pada pertumbuhan income serta pasar yang memiliki fundamental kuat,” demikian kesimpulan Ercan.
JLL berharap para investor yang melirik pasar Asia Pasifik akan memperhitungkan berkurangnya kenaikan income sebagai faktor dalam asumsi valuasi mereka; tetapi, likuiditas di kota-kota besar serta tuntutan imbal balik yang lebih rendah justru akan mendorong meningkatnya volume transaksi. Pada sisi global, tingkat hunian hotel dan kinerja properti yang mendasarinya akan tetap kuat sementara industri traveling dan pariwisata bersiap untuk membukukan rekor tahunan. Semakin banyak investor yang mencari keuntungan lebih banyak mengalihkan pandangannya ke sektor hotel meskipun ada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih lamban serta ketidak-pastian geopolitik.
STEVY WIDIA