Masih Banyak UMKM Indonesia Tidak Memperoleh Pendanaan Memadai

KIOS

Pelaku UMKM mitra KIOS. (Foto: istimewa/youngster.id)

youngster.id - Laporan terbaru dari Mambu mengungkapkan, lebih dari separuh (55%) usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia terbukti tidak dapat memperoleh pendanaan yang memadai pada setidaknya satu atau lebih kesempatan dalam lima tahun terakhir. Angka ini melonjak hingga lebih dari dua pertiga (67%) untuk kawasan Asia Pasifik secara umum.

Laporan dari platform perbankan cloud bertajuk ‘Small business, big growth’ ini mensurvei lebih dari 1.000 pemilik UMKM di seluruh dunia, termasuk UMKM dari Indonesia, yang mendirikan perusahaan dan mengajukan pinjaman dana usaha dalam lima tahun terakhir.

Managing Director APAC di Mambu Myles Bertrand mengatakan, temuan Mambu justru terungkap di tengah-tengah peningkatan jumlah institusi kredit alternatif. Bahkan di saat UMKM melirik bank-bank dan fintech nonkonvensional untuk mengatasi kendala umum. Peluang masuknya pemain baru jelas terbuka lebar karena mayoritas (93%) UMKM Indonesia mengaku siap berganti pemberi pinjaman untuk mendapatkan kemudahan modal pinjaman.

“Indonesia menjadi lahan subur bagi 62 juta lebih UMKM di mana hampir 99% di antaranya masuk dalam kategori usaha mikro. Semua usaha kecil ini merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, yang menyumbang hampir 60% PDB nasional dan menyerap tenaga kerja Indonesia sebesar 97%. Akan tetapi, akses dana usaha ternyata menjadi kendala besar bagi mereka. Hal ini tampaknya terjadi karena industri pinjaman dana usaha tidak mengikuti kemajuan teknologi seperti di bidang-bidang bisnis dan keuangan lainnya,” ungkap Myles dalam keterangan pers, Selasa (15/3/2022).

Menurut temuan Mambu, Lebih dari separuh (57%) UMKM Indonesia terpaksa mengandalkan modal pinjaman dari teman dan keluarga, dan 41% menggunakan dana pribadi dalam memulai bisnis mereka. Dari sekian UMKM yang tidak dapat memperoleh dana usaha yang cukup, 37% mengalami kesulitan arus kas, 37% tidak dapat meluncurkan produk atau layanan baru, dan 35% kesulitan mengangsur kembali pinjaman kepada kreditur.

Selain itu, hampir separuh (49%) dari UMKM Indonesia menyebutkan manfaat dan insentif pinjaman yang lebih baik sebagai alasan utama dalam berganti pemberi pinjaman. Sementara itu, 47% siap berganti ke opsi keuangan yang lebih baik dan 33% lebih memilih layanan pinjaman digital yang lebih baik , seperti menggunakan aplikasi seluler untuk mengelola proses peminjaman.

“Jika pemberi pinjaman ingin menarik perhatian pangsa pasar UMKM Indonesia, mereka mesti melakukan modernisasi proses pemberian pinjaman dan menerapkan teknologi baru dalam menyediakan solusi pinjaman yang bersifat personal, sederhana, dan mudah diakses. Dengan layanan pinjaman digital yang lebih baik, proses pengambilan keputusan dan pengurusan pinjaman pun akan menjadi lebih cepat. Artinya, dana usaha bisa langsung cair saat pemilik bisnis benar-benar membutuhkannya,” kata Myles lagi.

Untuk itu, menurut Myles, lembaga keuangan harus kreatif dan melakukan terobosan besar dalam mengatasi proses pengajuan pinjaman yang ribet dan berbelit. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa durasi pengajuan pinjaman menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemilik usaha kecil dalam memilih pemberi pinjaman. Meskipun suku bunga rendah menjadi pertimbangan utama bagi 95% UMKM dalam proses pengambilan keputusan, 93% juga menghendaki proses pengajuan pinjaman yang cepat, dan 86% menginginkan jadwal pelunasan yang berjangka waktu lama.

Terkait dengan perbaikan proses pengajuan pinjaman, 92% UMKM Indonesia menginginkan proses keputusan pinjaman yang lebih cepat, 90% tertarik dengan persyaratan agunan yang ringan atau bahkan tanpa agunan, dan 89% menghendaki syarat pinjaman yang lebih fleksibel.

Sementara itu CEO Retail Economics Richard Lim mengatakan, pandemi telah memicu perubahan besar dalam cara kita bekerja, bermain, dan berbelanja sehingga mempercepat demokratisasi digital. Akibatnya juga masih terasa di tengah-tengah masyarakat. Namun akses ke modal usaha merupakan bidang dengan laju digitalisasi yang sangat lambat.

“Pelaku bisnis yang berusaha meningkatkan skala usahanya dengan cepat dan juga cekatan dalam menangkap peluang, sering kali terbentur oleh proses pengajuan pinjaman yang berbelit-belit dan menguras tenaga. Proses pemberian pinjaman saat ini yang lamban dan tidak efisien, tidak lagi cocok dengan tren digital saat ini yang bergerak pesat dan dinamis,” katanya.

Kendala paling umum di seluruh dunia dalam mendapatkan dana usaha di kalangan UKM adalah sebagai berikut: modal awal yang tidak memadai (30%), urusan birokrasi dan administrasi dalam proses peminjaman yang bertele-tele (28%), dan arus kas yang tidak dipertimbangkan secara matang (27%).

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version